Friday, December 06, 2024


"Andreas Harsono is not well known to the public but he is very well known among a small network of human rights activists, dissident scholars, Indonesian journalists, and foreign correspondents. He is often the fixer behind their stories – unacknowledged, unassuming, unselfish. Now he has shown just what a superb chronicler he is in his own right."

Clinton Fernandes of University of New South Wales University
on Andreas Harsono's book Race, Islam and Power

Andreas Harsono meliput dampak dari tsunami 2014 di Aceh. Ombak raksasa tersebut membunuh lebih 100,000 orang dan mengakhiri perang selama tiga dekade antara Gerakan Acheh Merdeka dan Indonesia lewat perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2015. ©Hotli Simanjuntak

Media dan Jurnalisme

Saya pernah bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) serta majalah Pantau (Jakarta) soal media dan jurnalisme. Saya suka menulis soal jurnalisme, mulai dari sejarah sebuah majalah mahasiswa di Salatiga sampai kebebasan pers di Asia Tenggara. Bill Kovach, guru jurnalisme, mendidik saya buat menjadi wartawan yang lebih baik ketika belajar di Universitas Harvard. Ini membuat saya suka buat berbagi pengalaman dan ilmu, dari etika sampai liputan.


Saya menerbitkan dua antologi –Jurnalisme Sastrawi (2005) bersama Budi Setiyono dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2011)—serta beberapa laporan termasuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (2013) serta "I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia (2021). Pada 2019, buku Race, Islam and Power terbit.

Sejak 2008, saya bekerja sebagai peneliti buat Human Rights Watch. Ia membuat saya banyak menulis soal diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia: minoritas dalam Islam termasuk Ahmadiyah dan Syiah; minoritas non-Islam termasuk Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu; minoritas agama kecil maupun agama baru macam Millah Abraham. 

Minoritas gender --termasuk perempuan serta LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer)-- juga sering saya bahas. Secara geografis saya juga banyak menulis minoritas etnik macam Aceh, Kalimantan, Jawa, Maluku, Timor serta Papua.

Perjalanan

Saya pernah jalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, lebih dari 80 lokasi, selama tiga tahun. Saya menulis tempat menarik. Saya juga sering menulis perjalanan di negeri jauh, dari Eropa sampai Amerika, praktis berbagai kota besar di Asia Tenggara. 

Cerita

Pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik. Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge, dekat Boston. Kedua anak saya lahir di Jakarta. Isteri saya, Sapariah Saturi, kelahiran Pontianak, pindah ke Jakarta buat bekerja. Mungkin kawan saya di luar Indonesia, paling banyak di New York sehingga saya sering berkunjung ke New York maupun kota-kota sekitarnya.



Thursday, December 05, 2024

Rasisme dan Penindasan di Papua Barat

Lima buku, yang diresensi Andreas Harsono, menerangkan sejarah penderitaan Papua Barat


An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua
Oneworld Academic: 2009

Updating Papua Road Map
Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2017

Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua
Deiyai, Jayapura: 2014

Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua
University of Hawaii Press: 2021

In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua
Duke University Press: 2022


Jika
Anda mengunjungi Perpustakaan Nasional Indonesia—yang merupakan rumah bagi 7,7 juta buku—dan melakukan pencarian dengan kata kunci “Papua Barat”, “Irian Jaya” atau hanya “Papua”, Anda akan menemukan sejumlah kecil dalam bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia: hanya 1.192 judul. Koleksi kecil ini tak hanya mencerminkan betapa sulitnya membaca dan memahami persoalan di Papua Barat, tapi juga betapa berhasilnya negara Indonesia dalam membatasi penelitian independen mengenai degradasi lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penderitaan masyarakat adat Papua.

Sejak akhir tahun 1960an, pemerintah Indonesia telah membatasi jurnalis asing dan pemantau hak asasi manusia internasional untuk mengunjungi wilayah yang militeristik ini, menurut Pieter Drooglever dalam bukunya, An Act of Free Choice: Decolonization and the Right to Self-Determination in West Papua. Ia tersedia di Perpustakaan Nasional.

Pada tahun 1999, parlemen Belanda minta agar Institut Sejarah Belanda di Den Haag membuat tinjauan mengenai dekolonisasi Papua Barat, dengan harapan bahwa jatuhnya Soeharto, yang telah menjadi presiden selama tiga dekade, akan membuka dialog antara Indonesia dan Papua Barat.

Drooglever, seorang sejarawan, ditunjuk untuk lakukan penelitian. Ia memeriksa arsip di Belanda, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa dan Australia, namun tak diberi akses ke Arsip Nasional di Jakarta. Ia juga mewawancarai orang Papua dan Indonesia yang pernah terlibat masa transisi pemindahan kekuasaan pada 1960an.

Drooglever menerbitkan bukunya, setebal 807 halaman dalam bahasa Belanda, 27 tahun kemudian, pada tahun 2005. Terjemahan bahasa Inggris diterbitkan pada tahun 2009 dan terjemahan bahasa Indonesia muncul pada tahun 2010.

Drooglever berharap bukunya dapat membantu warga Indonesia mencari solusi damai di Papua Barat, seperti yang terjadi di Timor Leste pada tahun 1999 melalui referendum yang diselenggarakan oleh PBB, dan di Aceh pada tahun 2004, dengan perjanjian yang ditandatangani di Helsinki, yang memberikan otonomi pada wilayah tersebut. Keinginan Drooglever belum terkabul.

Dalam An Act of Free Choice, Drooglever menulis bahwa Kerajaan Belanda, pada tahun 1950an, mencoba mendirikan pemerintahan yang fungsional di Dutch New Guinea, dilengkapi dengan sekolah, rumah sakit, keamanan, jalan raya dan fasilitas lainnya.

Mereka belajar dari kegagalan mereka di Hindia Belanda, yang proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, serta melawan kembalinya Belanda serta menjadi Republik Indonesia, yang berdaulat pada tahun 1949.

Kerajaan Belanda mendirikan pemerintahan di New Guinea dengan dua sarjana Belanda yang berpendidikan doktoral, serta pernah meneliti soal Papua Barat, sebagai gubernur.

Meskipun beberapa elite Papua pada awalnya menyambut baik gagasan integrasi dengan Indonesia, mereka berubah pikiran antara tahun 1950an dan 1960an ketika mereka menyaksikan negara tetangga tersebut bertransformasi dari republik yang progresif menjadi negara agresif yang didominasi militer. Persiapan menjadi negara berdaulat dimulai, dengan dukungan dari Belanda, agar Papua Barat pada akhirnya mandiri.

Namun Indonesia menyerbu Papua Barat pada tahun 1962; Belanda lantas ditekan oleh Amerika Serikat untuk berunding dan menandatangani Perjanjian New York setahun kemudian. Perjanjian ini mengatur adanya pemungutan suara, yang diawasi oleh PBB, yang memungkinkan warga Papua memutuskan apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau tidak.

Namun, seperti yang dijelaskan Drooglever dalam bab berjudul Under Jakarta's Thumb, United Nations Temporary Executive Authority, organisasi PBB khusus Papua Barat, terus-menerus dimanipulasi, ditekan, dan dibodohi oleh Indonesia.

Lambertus Nicodemus Palar, yang saat itu menjabat sebagai perwakilan Indonesia di PBB, New York, mengakui bahwa Soebandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia, tak menginginkan adanya referendum.

Ketika terjadi pergantian kekuasaan di Jakarta, Presiden Sukarno diganti Jenderal Soeharto, pemerintah Indonesia menyelenggarakan apa yang disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice), ketika hanya sekitar 1.000 delegasi yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan suara, semuanya memilih integrasi dengan Indonesia.

Sebagian besar orang asli Papua mengatakan hak mereka untuk memilih diingkari dan terus menuntut adanya referendum, bila bukan, negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia.

Meskipun gerakan kemerdekaan sebagian besar berlangsung damai, ada beberapa kelompok bersenjata yang sudah lama berdiri.

Saat ini, Papua Barat masih menjadi provinsi yang paling terbelakang dan paling miskin di Indonesia, dan pelanggaran hak asasi manusia masih banyak terjadi.

Buku lain yang tersedia di Perpustakaan Nasional adalah Updating Papua Road Map, buku terbitan 2019, yang merupakan update dari buku yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2009.

Para penulis buku ini mengecam pendekatan keamanan pemerintah Indonesia di Papua Barat, dan mendesak mereka untuk berdialog dengan berbagai kelompok Papua Barat. Muridan Widjojo, peneliti utama LIPI, menyatakan, “Dialog tidak membunuh siapa pun, dan jika gagal, selalu dapat dicoba lagi.”

Para kontributor Updating Papua Road Map memaparkan empat masalah utama di Papua Barat, dimulai dari marginalisasi orang asli Papua. Pendatang dari Indonesia—khususnya dari wilayah padat penduduk Pulau Jawa— membuat orang asli Papua sebagai minoritas di tanah mereka sendiri.

Program pembangunan tak hanya gagal memenuhi keperluan dasar masyarakat Papua dalam hal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi, namun juga menyebabkan kerusakan lingkungan.

Selain itu, pihak berwenang Indonesia menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan negara terhadap orang asli Papua, dan gagal menghukum para pelaku atau memulihkan hak-hak para korban.

Saat ini terdapat ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia.

Para penyusun Papua Road Map membujuk pemerintah Indonesia untuk menyetujui “Dialog Damai Papua” yang melibatkan peneliti LIPI dan beberapa tokoh Papua. Prosesnya dimulai tahun 2010 dan dipimpin oleh Widjojo dan Neles Tebay, seorang intelektual Papua dan pastor Katolik; mereka melakukan perjalanan dari satu kabupaten ke kabupaten lain di seluruh Papua Barat.

Upaya ini mencapai puncaknya pada konferensi publik pada bulan Juli 2011, di mana seorang menteri koordinator keamanan Indonesia menyampaikan pidato, yang menyambut gagasan dialog. Ratusan pemimpin Papua dari berbagai suku—pria dan perempuan, tua dan muda—berpartisipasi dalam acara yang berlangsung selama seminggu.

Konferensi tersebut diakhiri dengan terpilihnya lima pemimpin Papua, semuanya tinggal di pengasingan, untuk memimpin dialog dengan Indonesia. Kelimanya secara terbuka menganjurkan kemerdekaan dari Indonesia.

Tidak mengherankan, hal ini membuat marah para pejabat Indonesia, terutama setelah lima tokoh penting yang diperoleh dari konferensi tersebut, ikut pembentukan United Liberation Movement for West Papua, yang berbasis di Vanuatu pada tahun 2014.

Buku mendiang Filep Karma, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, belum ditemukan di Perpustakaan Nasional.

Karma mungkin tahanan politik paling terkenal di Papua Barat. Dia pertama kali ditangkap pada bulan Juli 1998 dan dipenjara selama hampir dua tahun karena memimpin protes di Pulau Biak di mana pasukan keamanan Indonesia menembak mati lebih dari 150 warga Papua. Dia kemudian dibebaskan setelah menerima abolisi dari Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada tahun 2004, ia kembali memimpin protes damai di Jayapura dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena “makar.” Ia dibebaskan pada November 2015 dan tenggelam saat menyelam dan mencari ikan pada November 2022.

Filep Karma, seorang aktivis Papua terkemuka, divonis 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004 di Abepura. Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang memutuskan bahwa penahanan atas Filep melanggar hukum internasional, dan menyerukan pembebasannya. Pemerintah Indonesia membebaskan Filep pada tahun 2015. Ia meninggal dalam kecelakaan saat menyelam pada 1 November 2022. © 2015 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Dalam bukunya, Karma mengenang bagaimana bisnis orang Papua berkembang pesat di Jayapura sebelum integrasi dengan Indonesia. Jayapura—yang saat itu sudah menjadi kota terbesar di Papua Barat—memiliki lebih dari dua puluh bioskop.

“Jayapura seperti Hong Kong,” kata Siegfried Zöllner, seorang misionaris Jerman, dalam memoarnya tentang kesan pertama terhadap kota tersebut pada tahun 1961.

Jayapura dijarah oleh tentara Indonesia yang menyerbu saat mereka tiba pada tahun 1962; Karma menemukan lemari baja, yang masih terdapat stempel rumah sakit Jayapura, di sebuah rumah sakit Surabaya di Jawa Timur beberapa tahun kemudian.

Dan perangkat keras bukanlah satu-satunya hal yang hilang dari Papua Barat. Karma menunjukkan bahwa pada tahun 1970an dan 1980an, militer dan polisi Indonesia menangkap dan menahan banyak anggota elite Papua, termasuk para pengusaha, menuduh mereka melakukan makar dengan menjadi “separatis” dan mengambil alih bisnis dan tanah mereka.

Ia berargumen bahwa rasisme yang sistematis adalah masalah mendasar Indonesia di Papua Barat: orang asli Papua, yang berkulit lebih gelap dan berambut keriting, dilihat berbeda. Orang Indonesia sering mengejek orang Papua, menyebut mereka “monyet” untuk menyiratkan bahwa mereka tertinggal dalam evolusi atau menggambarkan orang Papua sebagai orang malas, primitif, atau berbau busuk.

Bahkan flora dan fauna di Papua Barat telah terpinggirkan dan terlantar. Buku Sophie Chao, In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua, memperhatikan tanaman kelapa sawit, yang baru-baru ini diperkenalkan ke Papua Barat. Banyak etnis Marind, suku asli di Merauke di selatan Papua Barat, menganggap tanaman ini “asing dan invasif”.

Selain perampasan lahan dan pelanggaran hak asasi manusia di sekitar perkebunan kelapa sawit, Chao menemukan bahwa “tanaman asing” ini juga menghancurkan hewan asli dan habitat lokal mereka.

Di Merauke, tempat Chao melakukan penelitian antropologis, jumlah penduduk Papua kurang dari 40 persen dari total populasi. Ia menulis “... angka kematian tinggi, angka harapan hidup pada laki-laki adalah 35 tahun dan perempuan 38 tahun, dan angka infeksi HIV merupakan yang tertinggi kedua di Indonesia.”

Ia juga berargumentasi bahwa penggunaan kelapa sawit telah meningkatkan konflik bersenjata di Papua Barat secara besar-besaran.

Selain mendatangkan tanaman non-pribumi, pemerintah Indonesia juga mendorong transmigrasi skala besar sejak tahun 1970an, dengan memberikan subsidi kepada pemukim dan memicu konflik antar warga.

Banyak orang Papua yang mempersenjatai diri dengan busur dan anak panah untuk mempertahankan tanahnya. Kelompok militan belakangan juga memperoleh senjata api, sebagian besar dari pasar gelap, dan pasokan berasal dari aparat keamanan Indonesia.

Walaupun beberapa pihak mungkin mendapat keuntungan besar dari perkebunan kelapa sawit, masuknya industri ini telah melanggengkan masalah yang sudah lama ada di Papua Barat.

Teka-teki Papua Barat bukan hanya persoalan Indonesia; ia juga masalah hukum internasional. Dalam Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua, Camellia Webb-Gannon mempertanyakan alasan internasional untuk mengintegrasikan Papua Barat dengan Indonesia pada tahun 1969.

Uti possidetis juris adalah sebuah prinsip dalam hukum internasional yang mengatakan bahwa negara berdaulat yang baru seyogyanya dibentuk dengan mempertahankan batas-batas wilayah yang mereka miliki sebagai koloni sebelum kemerdekaan.

Prinsip tersebut diartikan bahwa Hindia Belanda, termasuk Papua Barat, akan menjadi Indonesia. Namun alasan ini masih menimbulkan masalah.

Webb-Gannon mengutip argumen Akihisa Matsuno, sarjana hubungan internasional yang menentang prinsip uti possidetis juris, dengan menunjuk pada referendum Januari 2011 yang menjadikan Sudan Selatan menjadi negara merdeka, lepas dari Sudan. Terdapat perbedaan etnis, bahasa, agama dan sosial antara Sudan Utara dan Selatan, serta kerajaan Inggris memerintah keduanya juga sebagai dua koloni yang terpisah.

Sejarah Sudan menunjukkan bahwa kurangnya integrasi, baik secara alami maupun historis, antar wilayah yang dikuasai oleh kekuatan kolonial yang sama, dapat digunakan untuk membenarkan pembentukan negara-negara yang terpisah. Batasan kolonial, seperti semua konstruksi buatan manusia, tidaklah mutlak.

Pengalaman Sudan bisa menjadi pelajaran bagi Papua Barat. Seperti yang diterangkan Drooglever dalam bukunya, Papua Barat memiliki sejarah pendudukan yang berbeda dari wilayah lain di Indonesia. Pendudukan Belanda di Papua Barat berlangsung lebih singkat dan seluruh pulau tersebut dibebaskan oleh militer Amerika Serikat pada tahun 1944.

Ada juga perbedaan agama: tidak seperti daerah lain di Indonesia, di mana Islam adalah agama dominan, agama Kristen memiliki pengaruh yang lebih besar di Papua Barat.

Sebagian besar masyarakat Papua dalam buku Webb-Gannon adalah bagian dari diaspora Papua. Andy Ajamiseba, yang tinggal di Vanuatu dan anggota Black Brothers, sebuah band rock Papua, bicara tentang bagaimana orang Papua memandang diri mereka, “Masalahnya di sini adalah identifikasi diri sendiri, identitas kami—kami bukan orang Indonesia. Mungkin kalau kami merdeka, keadaan perekonomian kami tidak sebaik di Indonesia, kami harus merangkak ke luar, tapi kami ingin menjadi diri sendiri. Saya orang Papua. Dengan segala hormat kepada orang Indonesia… kita adalah dua orang yang berbeda: kami bukan orang Indonesia; mereka bukan orang Papua.”

Benny Wenda, pemimpin United Liberation Movement for West Papua yang tinggal di Oxford, Inggris, menyangkal bahwa kemerdekaan yang dicari orang Papua bersifat metafisik atau spiritual. Merujuk pada perjuangan Indonesia untuk merdeka melawan kolonialisme Belanda, Wenda mengatakan, “Jika [orang Indonesia] hanya menginginkan kebebasan secara spiritual, mengapa mereka melawan Belanda?”

Morning Star Rising menjelaskan bahwa tak seluruh masyarakat Papua bersatu dalam tujuan dan taktik untuk merdeka dari Indonesia. Perpecahan sering kali terjadi, termasuk perselisihan tahun 1976 dalam Organisasi Papua Merdeka di hutan Keerom, dekat perbatasan dengan Papua New Nugini.

Persengketaan —akibat kesalahpahaman soal hubungan luar negeri dan juga etnis—meletus antara Jacob Prai, salah satu tokoh OPM dan orang asli Keerom, serta Seth Rumkorem, ahli militer OPM dari etnis Biak.

Sesudah perselisihan, kedua pria tersebut mencari suaka di Eropa. OPM mengalami kemunduran.  Rumkorem menetap di Belanda dan Prai tinggal di Swedia.

Webb-Gannon juga menjelaskan bahwa praktik pemekaran, yaitu pembentukan daerah administratif dan anggaran baru di Papua Barat secara cepat oleh pemerintah Indonesia, juga menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Papua. Pada Juni 2022, misalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia membagi Papua Barat, dari dua menjadi enam provinsi.

Langkah-langkah ini dipandang oleh banyak orang Papua sebagai taktik devide et impera, memecah belah dan menguasai, dimana sekelompok kecil orang Papua diberi kendali terbatas atas wilayah yang dimekarkan.

Namun gerakan Papua Barat berkisar pada, dan dapat mencapai, konsensus strategis secara berkala, termasuk dengan United Liberation Movement for West Papua, sebuah organisasi payung bagi beberapa kelompok pro-kemerdekaan.

Webb-Gannon menulis, “Berusaha mencapai konsensus melalui perdebatan dan ketidaksepakatan seperti yang dilakukan orang Papua Barat adalah hal yang demokratis; hal ini juga merupakan karakteristik utama gaya politik Melanesia, yang mencerminkan struktur sosial Melanesia yang secara tradisional bersifat acephalous [tanpa kepala].”

Di alinea terakhir bukunya, Drooglever menulis, “Kemungkinan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua bisa didapat dari ketertarikan Indonesia terhadap wilayah tersebut, karena Indonesia tak hanya memiliki tradisi pemerintahan militer dan otoriter, tapi juga interaksi yang berbudaya dan upaya untuk menyediakan pemerintahan yang baik. Kami hanya bisa berharap bahwa dua aspek terakhir akan lebih unggul.”

Perpustakaan Nasional mungkin tak memiliki banyak buku tentang Papua Barat, namun buku-buku seperti lima buku yang diulas di sini menggambarkan sejarah tersiksanya orang Papua. Mereka mengungkap tipu daya dan kebingungan yang dilakukan para pemimpin Indonesia untuk mencegah kritik internasional atas pelanggaran yang dilakukan saat Indonesia merebut wilayah yang kaya akan sumber daya alam ini. Orang Papua juga belajar dari kegagalan generasi tua; namun mereka terus mempertahankan hak mereka dan melawan pemerintahan Indonesia yang menindas.



Monday, December 02, 2024

Cerita dan Obituari

Berbagai cerita pribadi, tapi menarik, setidaknya bagi keluarga saya, soal pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik, mungkin juga kenalan lama.

Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge. Saya pernah bekerja buat suratkabar di Bangkok dan Kuala Lumpur, sering datang di dua kota tersebut. Saya juga bekerja untuk Human Rights Watch di New York. Banyak cerita muncul dari semua tempat ini. 

Saya menganggap diri saya "orang Jakarta." Kedua anak saya lahir di Jakarta. Saya kenal banyak gang dan cerukan di daerah Palmerah --lingkungan dimana saya tinggal sejak 1994. Saya tahu banyak sekali tempat makan yang maknyus di Jakarta. 

Saya mengatur bagian ini berdasarkan tahun penerbitan. Ia tentu mencakup masa kecil, remaja, kuliah sampai kehidupan dewasa saya, terutama di Jakarta.

2024

2023

2022

2021

2020

2016

2015

2014

2013

2012

Sunday, December 01, 2024

Intoleransi dan Berbagai Peraturan Diskriminatif terhadap Minoritas

Sejarah diskriminasi dari definisi sempit sampai “kerukunan beragama” di Indonesia.

Andreas Harsono

Patung Maria dan Yesus, masih berada dalam peti di paroki gereja St. Joannes Baptista di Parung, Bogor. Paroki ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan selama lebih dari dua dekade. Para penganut agama minoritas menghadapi berbagai kesulitan untuk mendapatkan izin bangunan di Indonesia, terutama sejak tahun 2006 ketika pemerintah memberlakukan peraturan “kerukunan umat beragama”.  © 2024 Andreas Harsono/Human Rights Watch


Pada 16 Agustus 1945, sehari setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang beranggotakan 21 orang selesai berdebat soal dasar negara Indonesia di Jakarta. Perdebatannya, apakah Indonesia, yang bakal menjadi negara baru, sebaiknya menjadi negara Islam atau negara sekuler.

Kesepakatannya, Islam tak menjadi agama negara, tapi dapat diartikan bahwa negara Indonesia punya tanggung jawab khusus untuk menegakkan Syariah Islam. Rancangan kalimat pertamanya berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mereka menyebut kalimat ini, bersama dengan empat sila lainnya, sebagai “Piagam Jakarta.”

Perdebatan Awal tentang Agama dan Negara

Rapat tersebut diadakan di rumah seorang laksamana Jepang yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada pagi hari tanggal 17 Agustus. Mereka menugaskan Soekarno dan Mohammad Hatta, dua anggota PPKI terkemuka, untuk menandatangani proklamasi "atas nama bangsa Indonesia." Pertemuan itu berakhir pada pukul 5 pagi.

Lima jam kemudian, Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi, yang menyatakan kemerdekaan Indonesia di halaman rumah Soekarno – beberapa blok dari kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda.

Proklamasi itu tak menentang Pasukan Sekutu, yang merencanakan kembalinya status quo di Hindia Belanda, tapi juga tak mengupayakan penyerahan kedaulatan dari Jepang. Bagaimanapun militer Jepang masih kuat, menduduki seluruh Indonesia, serta terikat dengan perjanjian kalah perang dengan Sekutu. Namun proklamasi tersebut membangkitkan energi dan emosi jutaan orang di wilayah bekas Hindia Belanda untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan, memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan kelelahan akibat kehidupan yang serba susah di bawah pendudukan Jepang sejak 1942.

Para pemuda, dengan telepon dan telegram, segera menyebarkan proklamasi tersebut. Radio dan surat kabar tak bisa memberitakan proklamasi karena berada di bawah sensor militer Jepang. Para pemuda mengirim informasi ke Bandung dan Yogyakarta. Mereka bergerak di sepanjang jalanan Jakarta, memasang spanduk dan mencoret-coret tembok dalam bahasa Inggris.

“We fight for freedom, sovereignty and independence.”

“Go to hell, imperialism! Merdeka!”

“We are free, Indonesia is free.”

“Indonesia will never again be the lifeblood of any nation.”

Tak lama kemudian kata “Merdeka” dipergunakan secara luas di berbagai kota Pulau Jawa, disusul Sumatra, dan seterusnya.

Di Jakarta, malam hari pada 17 Agustus, bertempat di Hotel des Indes yang elegan, beberapa utusan asal Indonesia timur, meliputi wilayah yang luas dari Kalimantan hingga Bali, dan Kepulauan Maluku, membahas draft konstitusi baru dan merasa terganggu dengan tujuh kata tersebut. Andi Pangerang Petta Rani, seorang bangsawan kesultanan Bone di selatan Sulawesi, mengatakan negara baru itu harus dipisahkan dari Islam. Samuel Ratu Langie, seorang tokoh Minahasa dari utara Sulawesi, setuju, “Indonesia Timur akan bergerak.”

Ratu Langie kemudian bersama Johannes Latuharhary dari Ambon, I.G. Ketoet Poedja asal Bali, Andi Pangerang Petta Rani, serta dua politisi asal Kalimantan, mendatangi sebuah asrama pemuda dan minta mereka, yang sebagian besar mahasiswa kedokteran, untuk menemui Mohammad Hatta dan menyampaikan bahwa jika rancangan konstitusi ini tak diubah, “Indonesia bagian Timur tidak akan bergabung dengan Indonesia.” Mereka menuntut negara Indonesia memisahkan urusan agama dan negara.

Kelompok tersebut akhirnya meminta tiga mahasiswa kedokteran – Piet Mamahit, Moeljo Hastrodipoero dan Tan Tjeng Bok – untuk menemui Hatta.

Hatta menemui mereka malam itu dan menganggap pesan tersebut penting untuk disampaikan kepada Soekarno. Para mahasiswa mengatakan bahwa ketentuan Syariat Islam akan membuat berbagai minoritas agama “... hidup sebagai warga negara kelas dua di Indonesia.”

Secara terpisah, Mohammad Hasan dari Aceh, anggota PPKI lainnya, juga mengatakan kepada Soekarno bahwa Samuel Ratu Langie telah menyampaikan bahwa Indonesia Timur takkan mau bergabung dengan Indonesia kecuali rancangan itu diubah.

Keesokan harinya, pada 18 Agustus, Mohammad Hatta, yang juga tidak setuju dengan negara berasaskan agama, bertemu dengan empat politisi –Mohammad Hasan dari Aceh, Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim, dan Kasman Singodimedjo, yang mewakili organisasi-organisasi keislaman di Pulau Jawa.

Hatta, seorang Muslim taat, percaya bahwa Islam dapat membantu Indonesia memperjuangkan keadilan sosial, namun juga punya keyakinan yang kuat pada pemisahan agama dan negara, yang bakal menghindar dari masalah-masalah kemasyarakatan yang tak ada selesainya. Reputasi ini membantu Hatta menyakinkan keempat politisi tersebut. Hasan menekankan pentingnya persatuan nasional. Sangat penting untuk tidak mendorong minoritas Kristen – “Batak, Minahasa, dan Ambon” – kembali ke pelukan Belanda melalui berbagai ketentuan yang diskriminatif. Mereka sepakat untuk menghapus frasa Syariat.

Sejarahnya, kerajaan Belanda mengambil alih pemerintahan di kepulauan ini sejak tahun 1800 setelah mereka lakukan nasionalisasi terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie – sebuah perusahaan raksasa di Amsterdam yang memonopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Hindia Belanda. Kerajaan Belanda, maupun VOC, juga berusaha mempertemukan berbagai kekuasaan para bangsawan dan kelompok agama, terutama Muslim dan Kristen, di Hindia Belanda.

Soekarno mengumumkan pencabutan Piagam Jakarta Islam dalam sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus. Badan ini adalah organisasi yang menciptakan panitia dengan 21 anggota tersebut. Sidang paripurna menyetujui lima prinsip, namun masih mencakup frasa mengenai “Ketuhanan yang Maha Esa.” Maka, Pancasila disetujui dan mencakup prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wahid Hasjim, anggota PPKI sekaligus pemimpin Nahdlatul Ulama, organisasi Islam di Indonesia, mengusulkan agar Kementerian Agama dibentuk sebagai pengganti Piagam Jakarta. Ia mengatakan bahwa Kementerian Agama akan menjadi “jembatan” yang menghubungkan negara dan Islam. Latuharhary menolak gagasan tersebut, tapi Soekarno dan Hatta menerimanya.

Definisi Berbahaya

Pada Januari 1946, Kementerian Agama didirikan dalam pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ini menandai dimulainya sebuah lembaga negara yang dirancang untuk melayani “umat Islam” – dengan sekolah dan universitas Islam, pengelolaan haji, dan urusan keislaman lainnya – namun juga memfasilitasi diskriminasi terhadap berbagai minoritas agama dan kepercayaan di Indonesia.

Namun, republik baru ini prioritasnya harus berhadapan dengan Sekutu pimpinan Inggris, yang mendaratkan pasukan di Indonesia pada Oktober 1945, tapi juga termasuk Netherland Indies Civil Administration buatan Belanda, yang terpaksa merundingkan peralihan kekuasaan dengan Republik Indonesia, antara 1947 dan 1949. Desakan Amerika Serikat serta dukungan dari Indonesia timur terhadap Republik Indonesia membuat Kerajaan Belanda kalah dalam diplomasi. Sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, pekerjaan awal Kementerian Agama adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan agama.

Pada tahun 1952, Kementerian Agama, di bawah Wahid Hasjim, menerbitkan sebuah definisi untuk membedakan antara “kepercayaan” dan “agama”. Dalam kosakata Indonesia, “kepercayaan” secara resmi digunakan untuk mencakup beberapa agama kecil dan gerakan spiritual. Kementerian menetapkan bahwa “kepercayaan” adalah “ide-ide dogmatis, yang terjalin dengan adat istiadat yang hidup dalam berbagai suku bangsa, terutama di antara mereka yang masih terbelakang, yang kepercayaan utamanya adalah adat istiadat nenek moyang mereka selama berabad-abad.”

Sementara “agama” didefinisikan menurut pemahaman Yahudi, Kristen, dan Islam. Jika sebuah komunitas ingin diakui sebagai “agama,” mereka harus mematuhi “kepercayaan monoteistik yang diakui secara internasional; diajarkan oleh seorang nabi melalui kitab suci.” Ini mendiskriminasi agama-agama non-monoteistik termasuk Hindu, Buddha, Konghucu, Zoroastrianisme serta ratusan agama lokal dan gerakan spiritual di Indonesia.

Di Pulau Bali, definisi tersebut menimbulkan kebingungan, bahkan pertikaian politik, di antara banyak orang Bali yang kepercayaan tradisionalnya memuja leluhur mereka, dewa-dewi setempat, dan banyak dewa dan dewi lainnya, termasuk yang berasal dari agama Hindu di India seperti Wisnu, Brahma, dan Siwa. Antropolog Prancis Michel Picard dalam esainya tahun 2021 menyatakan bahwa orang Bali pada mulanya "tidak memiliki nama generik untuk menunjukkan apa yang kelak menjadi agama mereka." Mereka hanya menggunakan istilah "agama Bali." Konstruksi agama Bali dibentuk oleh agama Islam dan Kristen "untuk menangkal tekanan penyebaran agama Islam dan Kristen," tulis Picard. Pada tahun 1952, mereka mengganti nama agama mereka menjadi "agama Hindu Bali", yang merujuk pada agama Hindu, dan mengadopsi nama "Sang Hyang Widhi" untuk menunjukkan satu-satunya Tuhan dari agama yang namanya diganti tersebut.

Di Kalimantan, suku Dayak mengambil langkah seperti orang Bali, dengan mengubah orientasi kepercayaan Kaharingan mereka ke agama Hindu agar tidak dikaitkan dengan agama Kristen atau Islam.

"Hindu telah membantu kami," kata seorang tokoh Dayak. 

“Mereka jadi payung bagi kami.”

Pada Juni 1964, di Kuningan, Jawa Barat, pemerintah setempat mengatakan pernikahan anggota Sunda Wiwitan, agama lokal di sebagian orang Sunda, sebagai perbuatan melanggar hukum. Langkah tersebut mendorong 5.000 penganut Sunda Wiwitan untuk beralih menganut agama Katolik. Mereka percaya bahwa bergabung dengan Gereja Katolik Roma akan menghindarkan mereka dari penganiayaan atas nama agama.

Seiring dengan semakin kuatnya Kementerian Agama, berbagai organisasi keagamaan bersaing untuk menguasainya. “Muslim tradisional” seperti Nahdlatul Ulama, dan “Muslim modernis” seperti Muhammadiyah, bersaing untuk mengisi berbagai posisi di kementerian itu dari jabatan menteri sampai posisi-posisi lain yang lebih rendah, dan di dalam berbagai lembaga pendidikan Islam.

Masalah yang dihadapi kelompok minoritas agama menjadi semakin parah pada Januari 1965 ketika Presiden Soekarno menerbitkan sebuah peraturan yang melarang orang untuk memusuhi agama atau melakukan penodaan agama, yang didefinisikan sebagai “penyalahgunaan” dan “penodaan” terhadap suatu agama. Soekarno menetapkan bahwa pemerintah akan menyalurkan “badan/aliran kebatinan… ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.” Peraturan tersebut, yang memberikan persetujuan resmi hanya kepada agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, segera dimasukkan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pasal 156(a), dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.

Peraturan ini menghadirkan dampak amat buruk hingga saat ini. Pasal penodaan agama telah digunakan untuk menyasar kelompok minoritas agama, termasuk Kristen, Ahmadiyah, Muslim Syiah, dan mudah dijadikan senjata politik. Ratusan orang telah ditahan dan diadili berdasarkan pasal ini sejak tahun 1968.

Agama di Bawah Pemerintahan Soeharto     

Pada Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, menggantikan Presiden Soekarno, memerintah dengan dukungan militer, menindas para penentang, merampas tanah-tanah subur, dan mengabaikan hak-hak rakyat. Ini adalah periode pembunuhan massal dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan militer Indonesia, organisasi paramiliter, dan militan Muslim, plus organisasi-organisasi Katolik. Mereka membunuh minimal satu juta orang, yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, maupun organisasi-organisasi onderbouw-nya, etnis Tionghoa, dan anggota serikat buruh, guru, aktivis, serta seniman.

Soeharto menghargai kebebasan beragama. Buku David Jenkins yang berjudul Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, menggali masa-masa awal kehidupan Soeharto. Apa yang terungkap adalah kisah seorang prajurit Jawa, yang bukan hanya seorang Muslim, tapi juga seorang penganut agama Kejawen. Soeharto juga membatasi kekuatan Islam politik. Pada tahun 1978, ia mendirikan sebuah direktorat dalam Kementerian Pendidikan untuk mengurus berbagai aliran kepercayaan, termasuk Kejawen, dengan berpidato di hadapan parlemen, “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan.”

Soeharto tak mendesak Kementerian Agama untuk mengurus agama lokal seperti Kejawen, Sunda Wiwitan dan Kaharingan, namun menempatkan mandat di bawah Kementerian Pendidikan, yang lantas berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1982, Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, seorang Muslim taat asal Aceh, mengeluarkan peraturan tentang seragam sekolah negeri yang melarang jilbab – penutup kepala, leher, dan dada yang dikenakan oleh banyak perempuan dan anak perempuan Muslim dalam menjalankan iman mereka. Ia mengeluarkan larangan tersebut di tengah meningkatnya pengaruh dari Timur Tengah, pertama-tama datang dari Iran, yang mempromosikan peraturan wajib jilbab bagi perempuan sebagai simbol keislaman.

Pada tahun 1991, Presiden Soeharto mulai merasa kehilangan dukungan militer, lantas mengubah pendekatannya terhadap kalangan Islam. Ia naik haji ke Mekkah, menunjukkan identitas keislaman, dan mendukung Ikatan Cendekiawan Muslim di Indonesia, tempat banyak aktivis Islam menyalurkan aspirasi politik. Ia juga memberi ruang lebih besar kepada Majelis Ulama Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan pedoman baru tentang seragam sekolah yang memperbolehkan "pakaian khas" –sekolah negeri seyogyanya mengizinkan guru dan siswa perempuan mengenakan jilbab. Ini adalah ruang yang melebar bagi Islam politik di Indonesia. Semuanya, guna melindungi kekuasaan Soeharto plus kekayaannya yang terkumpul lewat keluarga dan konco-konconya. Pada tahun 1998, setelah 33 tahun berkuasa, Soeharto terpaksa mundur dalam protes besar-besaran saat krisis ekonomi Asia. 

Diskriminasi dan Kekerasan Pasca-Soeharto         

Sesudah kemunduran Soeharto, Majelis Ulama Indonesia, menjadi lebih kuat serta makin tidak toleran. MUI menggunakan pengaruhnya untuk formalisasi Syariat Islam, sementara golongan militan Islam tak segan menggunakan kekerasan untuk mendorong agenda mereka, termasuk lakukan pengeboman dan penyerangan terhadap komunitas agama minoritas di Jawa serta apa yang dianggapnya musuh di Bali.

Pada tahun 2004, MUI mendukung Susilo Bambang Yudhoyono, seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat, untuk memenangkan pemilihan presiden, mengalahkan calon petahana, Megawati Soekarnoputri. Balasannya, Yudhoyono berjanji untuk mencari masukan MUI dalam pembuatan berbagai kebijakan pemerintah. Yudhoyono menyetujui tuntutan Syariat Islam pada lebih dari dua lusin provinsi berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Aceh, dengan dasar otonomi daerah. Pemerintahannya memperkuat Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) dengan memindahkannya dari Kementerian Agama ke Kejaksaan Agung. Ia mendorong terjadinya penuntutan dan pemenjaraan terhadap 125 orang dalam satu dekade kekuasaan Yudhoyono – peningkatan tajam dari hanya 8 kasus dalam tiga dekade selama pemerintahan Soeharto.

Pemerintahan Yudhoyono juga mendorong tumbuh suburnya berbagai peraturan daerah yang bernuansa Syariah, mulai dari peraturan wajib jilbab hingga aturan diskriminatif terhadap minoritas agama termasuk Kristen dan minoritas non-Sunni seperti Ahmadiyah dan Syiah. Peraturan wajib jilbab pertama dikeluarkan di Sumatera Barat pada tahun 2001. Aceh menyusul pada tahun 2002. Pada tahun 2023, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Indonesia memiliki 120 peraturan wajib jilbab. Aturan wajib jilbab ini memicu perundungan secara nasional dan menyebabkan banyak perempuan dan siswi mengalami tekanan psikologis. Anak perempuan yang diangga langgar aturan seragam dikeluarkan dari sekolah negeri atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara pegawai negeri sipil kehilangan pekerjaan atau mengundurkan diri untuk menghindari tekanan tiada henti untuk memakai jilbab.

Pada tahun 2006, pemerintahan Yudhoyono menerbitkan apa yang disebut aturan “kerukunan umat beragama.” Intinya, ia membuat pemerintah daerah untuk memberikan izin pendirian rumah ibadah. Peraturan tersebut menyatakan bahwa pembangunan harus didasarkan pada “kebutuhan nyata” dan “komposisi penduduk” di daerah tersebut. Antara lain, izin tersebut memerlukan rekomendasi dari Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama setempat.

Masalahnya sebagian besar ada pada FKUB. Gubernur, bupati, dan wali kota memutuskan siapa yang menjadi anggota FKUB. Menurut peraturan 2006, komposisi anggota FKUB –17 orang buat kabupaten atau kota serta 21 orang buat provinsi– semestinya "proporsional" dengan persentase keagamaan di setiap daerah, sehingga menciptakan forum yang sebagian besar didominasi oleh tokoh Muslim.

Jakarta, misalnya, berpenduduk 85 persen Muslim, yang berarti bahwa 85 persen dari 21 anggota haruslah Muslim. Sebagian besar kalangan minoritas di Indonesia, yang dominan Muslim Sunni, mengalami kesulitan untuk mendirikan atau memperbaiki rumah ibadah mereka, termasuk orang Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, serta Ahmadiyah dan Syiah, serta dalam jumlah lebih kecil, juga beberapa anggota Muslim Muhammadiyah dan Muslim Hambali ditutup masjid-masjidnya.

Aturan itu mengizinkan orang yang intoleran untuk menggunakan intimidasi dan kekerasan guna menutup apa yang mereka sebut sebagai "rumah ibadah tanpa izin." Tidak jelas berapa banyak gereja yang dipaksa ditutup karena Kementerian Agama tak menerbitkan data sejak tahun 2006. Menurut data dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, antara 1.500 hingga 2.200 gereja ditutup dalam hampir dua dekade. Istilah “kerukunan umat beragama” pada dasarnya adalah pemberian hak veto kepada mayoritas terhadap minoritas. Ia sejatinya bertentangan dengan kebebasan beragama dimana setiap warga negara punya hak yang setara tanpa pertimbangan mayoritas atau minoritas.

Pada tahun 2008, pemerintahan Yudhoyono mengeluarkan sebuah aturan anti-Ahmadiyah menyusul fatwa anti-Ahmadiyah tahun 2005 dari MUI, yang menyatakan bahwa organisasi keislaman tersebut adalah “sesat” dan dilarang menyebarkan ajaran mereka soal Islam. Fatwa  pertama MUI soal Ahmadiyah sebenarnya dikeluarkan pada tahun 1980 tetapi pemerintah Soeharto beranggapan, secara tepat, bahwa fatwa tersebut hanya untuk penggunaan internal di kalangan umat Islam. Pemerintah Soeharto tidak menganggap ini sebagai urusan negara. Sejak aturan 2008 keluar, berbagai militan Sunni menggunakannya untuk membenarkan serangan terhadap lebih dari 30 masjid Ahmadiyah di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Salah satu serangan mematikan meletus di Cikeusik, Pandeglang, pada Februari 2011, ketika lebih dari 1.500 militan Sunni menyerang sebuah rumah seorang warga Ahmadiyah, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya.

Berbagai aturan buatan Yudhoyono membuat banyak cendekiawan di Indonesia khawatir. Abdurrahman Wahid, anak Wahid Hasjim, juga seorang ulama Nahdlatul Ulama, serta mantan presiden, secara terbuka membela kelompok-kelompok agama minoritas, termasuk Ahmadiyah, dan menyalahkan pemerintahan Yudhoyono atas kekerasan tersebut. Pada tahun 2019, Wahid dan tiga ulama Muslim lainnya, ditambah tujuh organisasi non-pemerintah, mengajukan uji materiil atas pasal penodaan agama di Mahkamah Konstitusi. Mereka menginginkan pasal penodaan agama dicabut. Mereka berpendapat pasal penodaan agama lebih merupakan senjata politik daripada alat penegakan hukum dan telah digunakan untuk memicu amarah di kalangan umat Islam. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak uji materiil tersebut, dalam keputusan dengan suara 8-1 pada 19 April 2010, yang menyatakan bahwa pasal penodaan agama adalah pembatasan yang sah terhadap kebebasan beragama karena memungkinkan pemerintah “menjaga ketertiban umum."

Human Rights Watch pada tahun 2013 menerbitkan sebuah laporan berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia, yang mendokumentasikan kegagalan pemerintah Indonesia dalam menghadapi berbagai golongan militan Islam, yang melakukan pelecehan dan serangan terhadap rumah ibadah dan anggota kelompok minoritas agama.

Empat lembaga pemerintah telah berperan dalam pelanggaran hak dan kebebasan kelompok minoritas agama di negara ini – Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Majelis Ulama Indonesia.

Peningkatan Jumlah Aturan Diskriminatif di Masa Pemerintahan Jokowi

Kemenangan Joko “Jokowi” Widodo dalam pemilihan presiden pada tahun 2014 membawa harapan bagi banyak pembela hak asasi manusia dan pemuka agama progresif bahwa ia akan berupaya membela hak minoritas agama dan membatalkan berbagai tindakan regresif para pendahulunya. Jokowi tidak melakukan itu. Demonstrasi terbesar untuk mendukung pasal penodaan agama terjadi di bawah pemerintahannya saat sekutunya, Basuki Tjahaja Purnama, seorang Kristen yang menggantikannya sebagai Gubernur Jakarta, dituduh melakukan “penodaan” Islam. Kampanye kotor bermotif politik terhadap Basuki memicu lebih dari 500.000 orang menghadiri demonstrasi pada 2 Desember 2017.

Ma'ruf Amin, Ketua MUI, mengeluarkan sebuah pernyataan menentang Basuki, dengan menyatakan bahwa seorang non-Muslim seperti Basuki tidak semestinya mengomentari penafsiran Al-Quran. Pernyataan ini memberikan tekanan pada pemerintah Jokowi untuk mengakomodasi Muslim garis keras dan memenjarakan Basuki, yang mengubah peta politik di Indonesia dan semakin mendorongnya ke arah intoleransi agama.

Belakangan Jokowi merekrut beberapa orang yang terlibat dalam aksi demonstrasi untuk bergabung dengannya dalam masa jabatannya yang kedua, termasuk menunjuk Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden. Jokowi juga menunjuk Prabowo Subianto Djojohadikusumo, seorang jenderal Angkatan Darat yang diberhentikan karena terlibat dalam penculikan aktivis pada tahun 1990-an, untuk menjadi menteri pertahanan. Prabowo turut menyokong unjuk rasa tahun 2017 untuk mendukung pasal penodaan agama. Pada tahun 2024, Prabowo memenangkan pemilihan presiden untuk menggantikan Jokowi. Calon wakil presidennya adalah putra sulung Jokowi, Gibran Raka.

Peraturan wajib jilbab juga lebih banyak mengorbankan perempuan dan anak perempuan. Di ribuan sekolah negeri, anak perempuan non-Muslim juga dipaksa mengenakan jilbab. Pada Januari 2021, Elianu Hia membagikan sebuah video di Facebook yang merekam pertemuannya dengan guru dari putrinya di Padang, Sumatera Barat, saat guru tersebut mendesaknya agar membujuk putrinya, yang beragama Kristen, mengenakan jilbab. Video tersebut beredar luas, yang mengakibatkan Kementerian Pendidikan minta sekolah tersebut untuk mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap anak perempuan Kristen. Namun, boikot sosial di Padang terhadap Elianu Hia menyebabkan dia kehilangan usaha kecilnya.

Melanjutkan kebijakan luar negeri Yudhoyono, Jokowi mengarahkan para diplomat Indonesia untuk menampilkan Indonesia di mata internasional sebagai negara Muslim yang “moderat”, sebagai alternatif bagi Timur Tengah yang “lalim” dan “kacau”. Namun kenyataannya sangat berbeda. Jumlah peraturan yang diskriminatif terus bertambah selama pemerintahan Jokowi.

Pada Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat, dengan dukungan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Amin, mengesahkan KUHP baru. Bab tentang penodaan agama mengalami penambahan dari satu pasal menjadi enam pasal, meskipun dengan masa kurungan penjara lebih pendek yang menetapkan hukuman maksimal tiga tahun untuk penodaan agama, bukan lima tahun. KUHP juga mencakup sebuah pasal yang bisa dipakai buat pidanakan tindakan orang tidak beragama atau pindah agama. Siapa pun yang berupaya membujuk seseorang untuk menjadi penganut agama atau kepercayaan tertentu dapat dituntut dan dipenjara. KUHP baru tersebut merupakan kemunduran serius dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. KUHP ini menentang arus besar di dunia yang mengurangi penegakan hukum penodaan agama atau bahkan sama sekali menghapusnya.

KUHP baru tersebut juga menetapkan bahwa pemerintah akan mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" di Indonesia, yang tampaknya akan ditafsirkan untuk memperluas legalitas formal ke lebih dari 700 perda bernuansa Syariah di seluruh negeri. Banyak dari peraturan ini mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan, seperti menetapkan jam malam bagi perempuan, sunat perempuan, dan peraturan wajib jilbab. Banyak dari peraturan ini juga mendiskriminasi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Jalan Ke Depan

Pada Februari 2023, Nahdlatul Ulama membuat sebuah keputusan maju. Mustofa Bisri, seorang ulama senior Nahdlatul Ulama, di akhir sebuah konferensi di Sidoarjo, Jawa Timur, membacakan kesimpulan mereka: “Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia, atau negara khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.”

Nahdlatul Ulama memutuskan untuk mendukung piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dokumen pendirian PBB dan instrumen hukum internasional, dengan mengatakan bahwa PBB melayani semua orang secara setara, “tidak hanya umat Islam.” "

Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi “dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis," kata Mustofa Bisri.

Ahmad Suaedy, juga seorang tokoh Nahdlatul Ulama dan asisten Abdurrahman Wahid, menulis di The Jakarta Post, "... in Indonesia, whose constitution is not based on a particular religious identity but on the state ideology Pancasila and the state motto Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity), yet the Muslim majority is still often involved in discrimination by forcing the state to support them." Keputusan organisasi keislaman terbesar di Indonesia untuk mengembangkan pendekatan baru dengan mempertimbangkan Piagam PBB ini seharusnya membawa angin segar bagi kebebasan beragama di Indonesia.

Kini, apakah kaum minoritas agama di Indonesia akan menikmati hak yang setara, termasuk untuk menjalankan keyakinan agama mereka, akan bergantung pada apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia dan Nahdlatul Ulama untuk membalikkan delapan dekade diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka. Pemerintah Indonesia semestinya memulai dengan mencabut ratusan peraturan diskriminatif dan mengambil berbagai langkah untuk mempertanggungjawabkan kekerasan dan pelanggaran yang dialami oleh jutaan orang Indonesia hanya karena mereka menjalankan keyakinan mereka. Mereka juga harus mendefinisikan ulang apa yang dianggap Indonesia sebagai "agama," dengan menggunakan standar PBB, bukan definisi sempit buatan tahun 1952. 

 
Andreas Harsono bekerja untuk Human Rights Watch di Jakarta. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta pada tahun 1994, dan pada tahun 2003 ia turut mendirikan Yayasan Pantau, sebuah organisasi pelatihan jurnalis di Jakarta. Ia menyampaikan makalah ini pada International Interfaith Conference on Peace and Inclusive Communities yang diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada tanggal 21-23 November 2023.

Diterbitkan dalam bahasa Inggris: Sabine Hübner, Andar Parlindungan, Jochen Motte (eds.), Peace among the People. Interreligious Action for Peace and Inclusive communities. Dokumentasi konferensi Inter Religious Action for Peace and Inclusive communities di Jakarta, Indonesia, November 2023 (for human rights 24), Solingen: foedus-verlag 2024. Naskah ini diterjemahkan oleh Dhika Marcendy ke bahasa Indonesia. 

 
Referensi

Belford, Aubrey: “Borneo Tribe Practices Its Own Kind of Hinduism,” The New York Times, September 25, 2011.

Engelen, O.E. / Lubis, Aboe Bakar: Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997.

Harsono, Andreas: “Forced from Home for Protesting Indonesia’s Mandatory Hijab Rules,” Human Rights Watch, March 17, 2023.

Harsono, Andreas: Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia, Melbourne: Monash University Publication, 2019.

Hoesterey, Jim: “Saints, Scholars and Diplomats: Religious Statecraft and the Problem of ‘Moderate Islam’ in Indonesia,” in: Religious Pluralism in Indonesia: Threats and Opportunities for Democracy, Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 2021 (editor Chiara Formichi).

Human Rights Watch: “I Wanted to Run Away”. Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia, March 18, 2021.

Human Rights Watch: “Indonesia: Court Ruling a Setback for Religious Freedom,” April 19, 2010.

Iman C. Sukmana, Menuju Gereja Yang Semakin Pribumi: Analisis Konflik Internal Dalam Gereja Eks-ADS, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2011.

Jenkins, David: Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, Singapore: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2021.

Media Jatim, “Bacakan Rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Gus Mus: NU Tolak Negara Khilafah dan Dukung Piagam PBB,” February 7, 2023.

Nakamura, Mitsuo: “Nahdlatul Ulama in Indonesia, a New Era with the ‘New Gus Dur’, in: Islam Nusantara, Volume 4 No. 3, Jakarta 2023.

Noer, Deliar: Administration of Islam in Indonesia, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1978.

Picard, Michel: “Agama Hindu Under Pressure from Muslim and Christian Proselytizing,” in: Religious Pluralism in Indonesia: Threats and Opportunities for Democracy, Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 2021 (editor Chiara Formichi).

Suaedy, Ahmad: “A century of NU: Aswaja, 'fiqh' of civilization, a new platform of Islam,” in: The Jakarta Post, February 6, 2023. 

Tuesday, November 12, 2024

Laporan kepada Komnas Perempuan soal Susanna Harsono

Kami melaporkan kasus kematian adik saya, Susanna Harsono (1969-2024), kepada Komnas Perempuan di Jakarta hari Senin. Susan punya disabilitas psikososial sejak umur 23 tahun, saya duga, dia mengalami penyerangan seksual di rumahnya di Jember pada Minggu, 6 Oktober 2024, bersama seorang perawat dari Homecare Jember Raya (21 tahun), yang menjaga ibu saya (81 tahun), seorang pasien stroke dan dementia. 

Sesudah penyerangan, perawat merasa takut, absen kerja empat hari, lantas berhenti kerja pada 20 Oktober. 

Pada 10 Oktober, Susan minta dibawa konsultasi psikiatri di rumah sakit umum daerah Dr. Soebandi, dapat beberapa obat dan diminta tak terlalu banyak berpikir soal penyerangan seksual, lantas mengalami mental breakdown, masuk rumah sakit pada 28 Oktober, dan meninggal pada 5 November. 

Kami diterima oleh Komnas Perempuan serta diminta mengisi dua formulir, termasuk isian tentang organisasi pendamping --Gerakan Peduli Perempuan Jember serta LBH Jentera Perempuan Indonesia. Kedua organisasi ini sudah mendampingi Susanna sejak dua hari sesudah penyerangan. 

Mereka pernah wawancara Susan serta bicara dengan para tetangga maupun dengan seorang pendeta yang menjadi gembala buat Susan maupun lelaki yang diduga melakukan penyerangan. Kami juga sertakan beberapa dokumen sebagai bukti. 

Ini bukan sekedar mencari kebenaran dan keadilan terkait adik saya tapi juga soal perempuan dengan disabilitas serta perawat homecare di rumah-rumah. Mereka rentan mengalami kekerasan seksual. 

Saya ditemani Sapariah Saturi (isteri saya juga redaktur Mongabay Indonesia), Devana Aura (cucu keponakan isteri, mahasiswa Jentera Law School), serta Ruth Ogetay (seorang pekerja kesehatan etnik Papua, yang pernah merawat ibu saya di Jakarta). Mereka tentu kenal dekat dengan Susan termasuk Devana yang baru pindah dari Pontianak ke Jakarta pada 2023 serta sering menginap di rumah kami. 

Sunday, November 10, 2024

Laporan ke Polisi Jember soal Kematian Susanna Harsono

Saya melaporkan kematian adik saya, Susanna Harsono (1969-2024), ke polisi Jember pada hari Sabtu. Susanna seorang perempuan dengan schizophrenia paranoid. Saya menduga Susan mengalami penyerangan seksual pada 6 Oktober di rumahnya saat minta bantuan seorang lelaki, umur 56 tahun, yang dikenal Susan sejak sekolah menengah pertama, antar sekantong beras ke dalam rumah. 

Orang dengan disabilitas mental, termasuk Susan, punya toleransi yang berbeda terhadap kekerasan seksual daripada kebanyakan orang. Susan sangat terganggu dengan apa yang biasa disebutnya "pelecehan seksual."

Di Jember, saya juga bertemu dengan perawat yang menjadi saksi, sekaligus korban, penyerangan seksual tersebut. Perawat itu, umur 21 tahun, menangis ketika bicara soal Susanna. 

Dia tak sangka Susanna, yang mendampingi mama saya, pasien stroke, Metri W. Harsono, merasa tertekan secara kejiwaan sehingga kesehatan badan drop dan meninggal. Susanna dan perawat ini akrab karena sering bertemu di rumah. 

Saya ingin mencari kebenaran dan keadilan. Publik juga perlu tahu bahwa perempuan dengan disabilitas, rentan terhadap pelecehan seksual. Para perawat homecare, yang melayani pasien di rumah-rumah, juga rentan terhadap pelecehan seksual. 

Saya merasa dikuatkan oleh Gerakan Peduli Perempuan Jember: Sri Sulistiyani, Fitriya Fajarwati dan Suminah. Mereka mendukung saya lapor ke polisi. 

Rochmah Hidayati, koordinator Jember Raya Homecare, yang menyediakan jasa homecare terhadap mama saya, serta ⁨Sapariah Saturi⁩, isteri saya, juga ikut ke kantor polisi. Mereka menduga penyerangan seksual tersebut jadi trigger kesehatan Susan turun dengan cepat.

Saya tentu akan bolak-balik Jakarta-Jember buat mengikuti proses hukum maupun berbagai ikutannya. Saya mohon dukungan para sahabat dalam menjalani proses ini.

Chat antara Yohana Harsono, adik saya yang memantau kesehatan Susanna, dan perawat Fitrianing "Lely" Azizah, yang ikut menjaga Metri W. Harsono dan Susanna, pada 10 Oktober 2024. Lely mengantar Susan ke psikiater, sudah ada anjuran dari psikiater agar tak boleh banyak memikirkan "masalah ini."


Informasi terkait Susanna Harsono




Thursday, November 07, 2024

Susanna Harsono, Perempuan dengan Skizofrenia, Terbuka soal Kesehatan Jiwanya

Oleh Norman Harsono di Denpasar dan Andreas Harsono di Jember 

Susanna Harsono, seorang perempuan dengan skizofrenia paranoid, meninggal dunia sesudah mengalami kebingungan luar biasa, yang mempengaruhi keinginan makan dan minum, lantas masuk rumah sakit, namun tak tertolong serta menghembuskan nafas terakhir pada Selasa, 5 November, di RSUD Soebandi Jember, Jawa Timur. Ia menjelang ulang tahunnya ke-55.

Susanna menderita skizofrenia paranoia sejak tahun 1990, saat berusia 23 tahun. Dia sering menjalani terapi kejiwaan di beberapa rumah sakit kesehatan mental termasuk Menur (Surabaya), Lawang (Malang), serta Grogol (Jakarta). Dia mendengar "suara-suara" mendengung di kepalanya, dan kadang-kadang, bila tak minum obat, mengomel jika lapar atau mengantuk. 

Namun dia tidak menyembunyikan gangguan jiwanya. Dia selalu memperkenalkan diri sebagai orang dengan skizofrenia. Dia rajin berobat, setiap ada masalah, selalu menemui dokter, sehingga bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dia senang merajut, main piano, menari dan menyanyi.

“Ce Susan dikenal di semua rumah sakit di Jember. Orangnya suka cerita, sering sekali datang ke rumah sakit,” kata Rochmah Hidayati dari Homecare Jember Raya. 

Susanna kelahiran Jember pada November 1969 dari pasangan Ong Seng Kiat dan Metri W. Harsono. Dia lahir kembar bersama Rebeka Harsono, terpaut hanya setengah jam, yang juga dapat diagnosa gangguan jiwa.

Mereka berdua sekolah dasar di SD dan SMP Aletheia Jember, lantas SMA Katolik Santo Paulus Jember. Sesudah lulus, Susanna meneruskan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, namun merasa tak cocok setelah satu semester. Pada 1989, dia pindah ke Asian Institute for Liturgy and Music di Manila, belajar selama dua tahun. Namun dia drop out. Dia balik ke Indonesia, sempat kuliah setahun di Akademi Seni Karawitan Indonesia di Surakarta, namun juga gagal, sampai dia terdiagnosa skizofrenia. 

Rebeka kuliah di Universitas Gadjah Mada, antara 1988 dan 1992. Ini juga yang mendorong Metri pindah ke Yogyakarta, menemani Susanna dan Rebeka, plus dua adik mereka. 

Setiap tahun, terutama November dan Desember, Susanna tinggal di Jember bersama papanya. Pasangan Ong Seng Kiat dan Metri Harsono hidup terpisah sejak 1988. Di Jember, Ong Seng Kiat –biasa dipanggil Sengkek– adalah pedagang alat listrik juga pernah usaha pertanian. Sengkek meninggal pada Juli 2013 di Jember. 

Sejak terdiagnosa disabilitas psikososial, kegiatan Susanna adalah membantu pekerjaan di rumah serta bepergian ke Jember, maupun Jakarta, dimana ada saudara-saudaranya tinggal. 

Susanna juga penggemar kuliner. Seleranya tinggi, seringkali dia minta dimasakin atau dibelikan makanan: bakso, empek-empek, nasi rawon, pizza, black pepper steak, melted brownies, dan lain-lain. 

Perawatan Dementia

Ketika mamanya mulai terkena dementia, perlahan-lahan mulai kehilangan daya ingat dan daya pikir, Susanna merawat Metri di Jember, beberapa kali masuk rumah sakit, serta ketika Metri terkena stroke, hanya berbaring di ranjang sejak Januari 2024.  

Di Jember, dia mendampingi mamanya, bersama beberapa perawat dari Jember Raya Homecare, yang setiap hari mendampingi Metri, di rumah mereka, Jalan Samanhudi IV, Jember. 

Pada pertengahan Oktober 2024, Susanna berkali-kali mengatakan bahwa dia mengalami “pelecehan seksual” pada 6 Oktober di rumahnya. Pelakunya, diduga seorang lelaki, umur 56 tahun, yang juga sekolah menengah sama, serta warga gereja sama. Susanna minta bantuan dia mengantar sekarung beras ke rumah dari gereja. 

Korban satunya adalah perawat homecare, usia 21 tahun, yang biasa merawat Metri. 

Susanna kenalan dengan penyanyi Atiek CB, seorang sahabat keluarga Harsono, yang peduli dengan kesehatan mental. Mereka bergurau soal bagaimana bikin rekaman musik

Si perawat menceritakan kejadian saat si lelaki datang ke rumah, mulanya bersalaman, hendak kenalan, lantas merangkul, “Tangannya mau kemana-mana, mau ke dada saya, saya tepis.”

“Mulutnya di kuping saya, kayak mau mencium.”

Dia lari ke Indomaret, sekitar 800 meter dari rumah, menangis dan gemetar. 

Menurut Susanna, si lelaki merangkulnya dan mendekatkan pinggul. Tangannya menyentuh buah dada. Susanna merasa terganggu. 

“Aku tidak mau pacaran. Aku bilang.” 

“(Nama pelaku), saya tidak ada niat ke sana. Saya tidak ada nafsu. Saya cuma minta tolong diantar beras.” 

Kejadian berlangsung sekitar 15 menit sampai pelaku mengikuti perawat ke Indomaret. Kedua korban segera melaporkan kejadian tersebut kepada Jember Raya Homecare, perusahaan dimana si perawat bekerja, maupun kepada keluarga Harsono. Rochmah Hidayati langsung datang ke tempat kejadian, bicara dengan perawat. Sapariah Harsono, isteri dari Andreas, wawancara perawat dan merekamnya. Yohana, adiknya Susanna, menghubungi pendeta dari gereja tersebut. 

Dalam dua surat permintaan maaf, si lelaki membantah melakukan penyerangan seksual, tapi mengakui lakukan “pelecehan seksual.” Dalam surat terpisah, pendeta menilai lelaki tersebut sebagai anggota gereja yang “taat ibadah” serta anaknya sedang belajar di theologi. Dia memberi sanksi dengan tak boleh menerima sakramen perjamuan kudus di gereja selama enam bulan. 

Si perawat memutuskan berhenti bekerja pada 20 Oktober serta tak mau bahas kejadian tersebut. Dia trauma dan merasa aib buat keluarganya. Minggu kedua, Susanna sering sebut frasa “pelecehan seksual” bahkan percobaan pemerkosaan, menurut beberapa tetangga dan keluarga. Dia terlihat kesal sekali, sering jalan dan duduk sendirian, menurut beberapa tetangga. 

Sejak minggu keempat Oktober, Susanna mengunci diri dalam kamar, lampu dimatikan, makan dan minum terbatas. Kesehatan menurun drastis. Fitrianing Azizah, seorang perawat yang menunggu di rumah, membawanya ke ruang gawat darurat RSUD Jember pada 30 Oktober. 

Menurut Fitrianing, “Saat itu sore jam 5 kondisi Ce Susan sudah lemas di dalam kamar, dengan keadaan telanjang dari perut ke bawah dan penuh dengan air kencing dan pup dan darah dari bibirnya yg digigitin. Sekitar jam 17.30 saya bawa Ce Susan dengan ambulan ke IGD RS Soebandi.” 

Susanna Harsono ikut foto bersama kelas menulis di Yayasan Pantau dengan pengampu Janet E. Steele di Jakarta pada Juli 2023.

Hasil laboratorium maupun scan organ, menunjukkan bahwa kesehatan fisiknya menurun drastis karena dia kekurangan makan dan minum. Para dokter memutuskan menaikkan daya tahan tubuh Susan, pakai infus dan sonde, serta hendak mengirimnya ke rumah sakit kesehatan jiwa di Lawang, bila stabil. 

Orang dengan disabilitas mental punya toleransi yang berbeda terhadap kekerasan daripada orang biasa. Susanna juga orang Kristen yang kolot. Dia menolak menonton film dengan adegan orang berpacaran. Dia misalnya keberatan dengan film Hollywood “Barbie” karya Greta Gerwig karena ada orang berpakaian minim –udara sepanas apapun harus berpakaian panjang. Pelecehan seksual tersebut sangat mengganggu dirinya. 

“Susan adalah satu-satunya dari keluarga yang terus-menerus mendampingi mama, hidup bersama mama, sejak mulai kena dementia, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, sampai bulan lalu. Kepergiannya bikin kaget. Mama masih ada, ironisnya, anak yang merawatnya sudah pergi duluan,” kata Yohana Harsono. 

Saudara kandung yang ditinggalkan, selain Andreas, Rebeka dan Yohana, juga Debora Harsono di Ambon, serta Heylen Harsono di Jakarta. Saudara lainnya termasuk Deasy Wega Hariyanti dan Hardian Harsono, dari pernikahan kedua Ong Seng Kiat dengan Winarti, serta Febrina Harsono dan Dani Hariyanto dari pernikahan ketiga dengan Lasmiyati. 


Norman Harsono adalah keponakan dari Susanna Harsono. Andreas Harsono adalah kakak dari Susanna Harsono. Mereka tinggal di Jakarta. 

Tuesday, November 05, 2024

Racism and repression in West Papua

Mekong Review

Five books, reviewed by Andreas Harsono, describe West Papua's tormented history

An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua
Oneworld Academic: 2009

Updating Papua Road Map
Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2017

Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua
Deiyai, Jayapura: 2014

Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua
University of Hawaii Press: 2021

In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua
Duke University Press: 2022

If you visit Indonesia’s National Library—home to 7.7 million physical books—and do a search with the keywords “West Papua”, “Irian Jaya” or even simply “Papua”, you’ll find a rather modest number of results in Dutch, English and Indonesian: just 1,192 titles. The thin collection reflects not only how complicated it is to unpack and analyse the West Papua conundrum but also how successful the Indonesian government has been at restricting independent research on environmental degradation, human rights abuses and the suffering of Indigenous Papuans.

Since the late 1960s, the Indonesian government has severely restricted foreign journalists and international rights monitors from visiting the highly militarised area, as Pieter Drooglever chronicles in his book, An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua, available in the National Library. In 1999, the Dutch parliament requested that the Institute of Netherlands History in The Hague produce a comprehensive review of the decolonisation of West Papua, hoping that the fall of Suharto, who’d been president for three decades, would open up dialogue between Indonesia and West Papua.

Drooglever, a historian, was appointed to lead the study. He examined archives in the Netherlands, the United States, the United Nations and Australia, but wasn’t given access to Indonesia’s National Archives in Jakarta. He also interviewed Papuans and Indonesians who’d been involved in the transitional period in the 1960s. He published his 807-page book in Dutch twenty-seven years later, in 2005. An English translation was published in 2009 and the Indonesian translation appeared in 2010. Drooglever hoped his book would help Indonesians seek a peaceful solution in West Papua, as had happened in Timor-Leste in 1999 with a United Nations–organised referendum, and in Aceh in 2004, with an agreement signed in Helsinki granting the territory special autonomy. His wish has not yet come to pass.

In An Act of Free Choice, Drooglever writes that the Dutch Kingdom had, in the 1950s, tried to establish a functional administration in “Dutch New Guinea” with schools, hospitals, security, roads and other facilities. They were learning from their failures in the Netherlands Indies, which declared independence in 1945, fought against returning Dutch forces and became the sovereign Republic of Indonesia in 1949. The Dutch Kingdom set up an administration in New Guinea with two highly educated Dutch scholars holding top executive posts. Although some of the Papuan elite initially welcomed the idea of integration with Indonesia, they changed their minds between the 1950s and 1960s as they watched the neighbouring country transform from a progressive new republic to an aggressive military-dominated state. Preparations began, with support from the Dutch, for West Papua to eventually become a self-governing administration.

Indonesia invaded West Papua in 1962; the Dutch were pressured by the United States into negotiating and signing the New York Agreement a year later. This agreement provided for a plebiscite, supervised by the United Nations, that would let Papuans decide if they wanted to join Indonesia. But, as Drooglever describes in a chapter entitled ‘Under Jakarta’s Thumb’, the United Nations Temporary Executive Authority was continually manipulated, pressured and fooled. Lambertus Nicodemus Palar, then the Indonesian representative to the United Nations, openly admitted that Subandrio, the Indonesian foreign minister, didn’t want a plebiscite. Instead, the Indonesian authorities organised a referendum known as the Act of Free Choice, in which about 1,000 government-selected delegates voted for a merger with Indonesia. Most Papuans say they were denied their right to choose and continue to demand a separate nation. Although the independence movement is largely peaceful, there are some long-standing armed groups. Today, West Papua remains Indonesia’s most underdeveloped and poverty-stricken province and human rights abuses are rife.


Another book available in the National Library is the 2019 Updating Papua Road Map, a follow-up to a 2009 book published by the Indonesian Institute of Sciences (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, or LIPI). The volume’s authors criticise the Indonesian government’s security approach in West Papua, urging them to hold a dialogue with West Papuan groups instead. Muridan Widjojo, the lead researcher, notes: “These dialogues do not kill anyone, and if failed, we could always try again.”

Contributors to Updating Papua Road Map describe four main problems in West Papua, starting with the marginalisation of Indigenous Papuans. Settlers from Indonesia—particularly from the densely populated Java—have made indigenous people a minority in their own lands. Development programmes have not only failed to meet Papuans’ basic needs in terms of education, health and economic welfare, but have also caused environmental destruction. Furthermore, the Indonesian authorities have turned a blind eye to state violence against Papuans, failing to punish perpetrators or restore the rights of victims. There’s now a deep mistrust, among Papuans, of the Indonesian authorities.

The authors of Updating Papua Road Map managed to persuade the Indonesian government to agree to a non-governmental Papua Peace Dialogue involving LIPI researchers and some Papuan civil society leaders. The process started in 2010 and was led by Widjojo and Neles Tebay, a Papuan intellectual and Catholic priest; they travelled from one regency to another throughout West Papua. This effort culminated in a public conference in July 2011, where a senior Indonesian security minister delivered a keynote speech welcoming the idea of dialogue. Hundreds of Papuan leaders from different tribes—men and women, young and old—participated in the week-long event. The conference ended with the election of five Papuan leaders, all living in exile, to lead the dialogue with Indonesia. The five openly advocated independence from Indonesia. Unsurprisingly, this upset Indonesian officials, especially after the prominence that these five individuals gained from the conference contributed to the setting up of the Vanuatu-based United Movement for the Liberation of West Papua in 2014.


You won’t find the late Filep Karma’s book, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua (As If We’re Half Animal: Indonesian Racism in the Land of Papua) in the National Library. Karma was perhaps West Papua’s most well-known political prisoner. He was first arrested in July 1998 and jailed for nearly two years for leading a protest on Biak Island at which Indonesian security forces gunned down more than 150 Papuans. He was later released after receiving presidential amnesty. In 2004, he led another peaceful protest in Jayapura and was sentenced to fifteen years in prison for treason. He was released in November 2015 and drowned while on a diving trip in November 2022.

In his book, Karma recalls how Papuan businesses thrived in Jayapura prior to integration with Indonesia. Jayapura—then already the largest city in West Papua—had more than twenty movie theatres. “Jayapura was like Hong Kong,” Siegfried Zöllner, a German missionary, wrote in his memoir about his first impression of the city in 1961.

Jayapura was looted by invading Indonesian soldiers upon their arrival in 1962; Karma describes finding steel cupboards, still bearing Jayapura hospital stamps, in a Surabaya hospital in East Java years later. And hardware wasn’t the only thing West Papua lost. Karma points out that, in the 1970s and 1980s, the Indonesian military and police imprisoned members of the Papuan elite, accusing them of committing treason by being “separatists” and taking over their businesses and lands. He argues that entrenched racism is the underlying problem: Papuans, with their darker skin and curly hair, look different. Indonesians often mock Papuans, calling them “monkeys” to imply that they’re lagging behind in evolution or describing Papuans as lazy, primitive or foul-smelling.

Even West Papua’s flora and fauna have been marginalised and displaced. Sophie Chao’s book, In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua, focuses primarily on oil palms, only recently introduced into West Papua. Many ethnic Marind, the indigenous tribe in Merauke in West Papua’s south, consider the crop “alien and invasive”. Apart from land grabs and human rights abuses around oil palm plantations, Chao finds that the “foreign plant” is destroying native animals and their local habitats.

In Merauke, where Chao did her anthropological research, Papuans make up less than 40 per cent of the population. She writes that “mortality rates are high, life expectancies are 35 years for men and 38 for women, and HIV infection rates are the second highest in Indonesia”. She also argues that the introduction of oil palms has significantly increased armed conflict in West Papua. Apart from importing this non-native plant, the Indonesian government has also encouraged large-scale transmigration since the 1970s, subsidising settlers and triggering conflict between communities. Many Papuans have armed themselves with bows and arrows to defend their land. Militant groups have also acquired firearms, mostly from the black market, with supplies coming from Indonesian security officers. While some might be profiting handsomely from oil palm plantations, the introduction of this industry has perpetuated West Papua’s long-standing problems.


The West Papua conundrum is not just a local question; it’s also one of international law. In Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua, Camellia Webb-Gannon forcefully questions the international rationale to integrate West Papua with Indonesia in 1969. Uti possidetis juris  is a principle in international law which says that newly formed sovereign states should retain the internal borders they had as a colony prior to independence. In this case, the principle was taken to mean that the Netherlands Indies, including West Papua, would become Indonesia. Yet this question is nowhere near settled.

Webb-Gannon cites the arguments of Akihisa Matsuno, an international relations scholar who challenged the legitimacy of uti possidetis juris by pointing to the January 2011 referendum that foregrounded South Sudan becoming an independent state. There were significant ethnic, linguistic, religious and social differences between North and South Sudan, and the British ruled them as separate colonial entities. Therefore, Sudan’s history suggests that a lack of integration, whether natural or historical, between areas ruled by the same colonial power can be used to justify the establishment of separate states. Colonial boundaries, like all other man-made constructs, aren’t as absolute as they are sometimes made out to be.

The Sudan experience could be particularly instructive in the case of West Papua. As Drooglever underlines in his writing, West Papua had a different history of occupation from the rest of Indonesia. The Dutch occupation of West Papua was shorter and the entire island was liberated by the US military in 1944. There are religious differences too: unlike much of the rest of Indonesia, where Islam is the dominant religion, Christianity has more influence in West Papua.

Most of the Papuans in Webb-Gannon’s book are part of the diaspora. Andy Ajamiseba, based in Vanuatu and a member of the Black Brothers, a Papuan rock band, talks about how Papuans see themselves: “The issue here is that identification of ourselves, our identity is—we are not Indonesian. Maybe when we become independent, the situation may be [that] our economy is not as good as [it was] under Indonesia, we have to crawl out, but we want to be ourselves. I am a Papuan. In all due respect to the Indonesians… we are two different people: we are not Indonesians; they are not Papuans.”

Benny Wenda, a leader of the United Movement for the Liberation of West Papua who is currently living in Oxford, England, denies that the freedom Papuans seek is primarily metaphysical or spiritual. Referring to the Indonesian struggle for merdeka (independence) against Dutch colonisers, he says: “If [Indonesians just] wanted freedom spiritually, why did they fight against the Dutch?”

Morning Star Rising doesn’t pretend that all Papuans are united in goals and tactics. A major split is frequently traced to a 1976 feud within the Free Papua Movement (Organisasi Papua Merdeka, or OPM) in the jungles of Keerom, near the border with Papua New Guinea. Conflict—involving a misunderstanding about foreign relations and also ethnicity—erupted between Jacob Prai, the scholar of the group and a native Keerom, and Seth Rumkorem, the movement’s military man and an ethnic Biak. Both men later sought refuge in Europe. The movement suffered a mild setback with Rumkorem living in the Netherlands and Prai in Sweden.

Webb-Gannon also describes the practice of pemekaran, the rapid creation of new administrative and budgetary units in West Papua by the Indonesian government, which has caused disunity in the Papuan community. In June 2022, for instance, the Indonesian parliament divided West Papua, previously governed as two provinces, into six administrative areas. These moves are widely viewed by many Papuans as a ‘divide and rule’ tactic in which a small minority of Papuans are given limited control over divided regions.

Despite this, West Papuan politics revolves around, and can achieve, periodic strategic consensus, including with the United Movement for the Liberation of West Papua, an umbrella organisation for some of the pro-independence factions. Webb-Gannon writes: “Working toward consensus through debate and disagreement as West Papuans do is democratic; it is also a key characteristic of Melanesian political style, which reflects Melanesia’s traditionally acephalous [leaderless] social structures.”

In his book’s final paragraph, Drooglever writes: “The possibilities for a better future for the inhabitants of western New Guinea can also be found in Indonesia’s interest in the area, for Indonesia not only has a tradition of military and authoritarian rule, but also of cultured interaction and efforts to provide good government. We can only hope that the latter two aspects gain the upper hand.”

The National Library may not contain a lot on West Papua, but books like the five reviewed here describe its tormented history. They reveal the trickery and obfuscation by Indonesian leaders to stave off international criticism for its abuses while capturing this naturally rich territory. Papuans have also learned from the failures of the older generations; they continue to defend their rights and resist oppressive Indonesian rule.


Andreas Harsono works for Human Rights Watch. He has covered West Papua since the 1996 kidnapping of international biologists in the Central Highlands.