Pada 1993, pertama kali saya bertemu Asmara Nababan di Komnas HAM ketika masih bertempat di kantor Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta. Waktu itu, direktur jenderal adalah Baharuddin Lopa, orang Mandar, sarjana hukum, yang merangkap jadi sekretaris jenderal Komnas HAM. Lopa memakai kantor tersebut sebagai sekretariat Komnas HAM.
Lopa menerima puluhan buruh dari PT Duta Busana Danastri dari Palmerah, Jakarta. Mereka protes karena upah dan lembur tak dibayar sesuai standar. Saya meliput sebagai reporter harian The Jakarta Post.
Asmara Nababan sedikit terlambat. Dia masuk pakai sandal kulit, bawa tote bag, akrab menyapa dan menyalami semua orang.
Dia langsung duduk dekat Baharuddin Lopa. Acara dengan buruh berlangsung seru.
Ketika tanya-jawab, Lopa bertanya dengan dialek Mandar kental, bertanya langsung. Lopa tampaknya membaca The Jakarta Post sehingga minta saya menulis apa yang didiktekannya dengan pelan.
Beritanya besok memang menyentak. Saya menulis bahwa para buruh perempuan ini juga diperiksa bila hendak cuti haid termasuk pembalut. Ini bikin geger sampai Levi’s Strauss, perusahaan blue jeans San Francisco, memutuskan kontrak dengan Duta Busana Danastri.
Ia awal perkenalan saya dengan kedua orang ini. Kami sering bertemu. Lopa logat Mandar, Nababan logat Batak. Kadang mereka traktir saya makan nasi bungkus pesanan Lopa.
Ini berlangsung sampai Presiden Soeharto turun pada Mei 1998. Reformasi membuka pintu sejarah Indonesia. Banyak daerah ingin mendapatkan lebih banyak suara secara politik, ekonomi, budaya, sosial dari kekuasaan pusat di Pulau Jawa.
Dalam buku saya, “Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia,” saya hitung setidaknya 90,000 orang meninggal dalam berbagai kekerasan pasca-Soeharto.
Mereka sering jadi tempat saya bertanya, mulai dari kekerasan di Aceh sampai Timor Leste. Lopa memberi saya banyak informasi soal Xanana Gusmao, tahanan politik Indonesia, yang paling terkenal. Lopa zakelijk terhadap Xanana tapi juga tahu Xanana harus diperlakukan dengan baik.
Sedihnya, Lopa meninggal ketika berada di Riyadh, Arab Saudi, pada Juli 2001. Saya kaget sekali. Nababan meninggal di Guangzhou, Tiongkok, pada Oktober 2010.
Dua orang yang berbeda dari penampilan. Baharuddin Lopa rapi dengan seragam atau jas hitam. Asmara Nababan kemana-mana pakai tote bag, baju longgar tak pernah dimasukkan. Saya salut dengan kedua orang awal Komnas HAM ini. Mereka membela hak asasi orang tanpa peduli suku, agama, keyakinan, kelas sosial, pekerjaan, pendidikan. Indonesia menjadi lebih terhormat, lebih menjaga hak asasi manusia, berkat dua orang ini.
Penulis: Andreas Harsono, Human Rights Watch
No comments:
Post a Comment