Saya sedang berpakansi ketika mendengar berita ini. Kebetulan, tempat saya berpakansi adalah Wildwood, New Jersey. Ini adalah tempat pakansi untuk orang kebanyakan Amerika: kelas menengah bawah.
Nah, ketika berpakansi itulah saya mengintip TV di sebuah warung. Saya lupa channel apa itu. Holly crap! Saya langsung ternganga, ketika melihat wajah yang saya kenal di TV. Wajah itu, wajah Fadli Zon! Kemudian saya melihat ada orang Indonesia yang diperkenalkan oleh Donald Trump. Awalnya saya kira dia itu Harry Tanoesoedibjo. Ternyata bukan. Dia adalah Setya Novanto, Ketua DPR-RI, politikus Partai Golkar, yang mewakili daerah Nusa Tenggara Timur.
Untuk publik Amerika, tahun ini adalah awal dari tahun politik. Amerika akan memilih presiden pada November 2016. Saat ini sedang tahap ‘primaries,’ dimana dua partai besar: Republikan dan Demokrat sedang menyaring calon-calonnya. Agak berbeda dari biasanya, kali ini Republikan tidak memiliki calon yang kuat. Partai ini memiliki 17 kandidat. Sementara Partai Demokrat, sekalipun ada oposisi lewat Senator Sosialis dari Vermont, Bernie Sanders, agaknya pilihan sudah mengerucut kepada Hillary Clinton.
Kedua partai ini mewakili perspektif ideologi politik yang berbeda. Republikan umumnya dipandang sebagai partai orang kaya, konservatif, anti-pajak, anti-kekuasaan negara, selalu berpihak pada swasta, pro-pengusaha, sangat mengutamakan nilai keluarga dan agama. Sebagian besar konstituen Republikan adalah golongan umur tua, kulit putih, tinggal di wilayah selatan Amerika (the red states – atau sering diejek sebagai the third world of America).
Sebaliknya Demokrast adalah partai orang miskin, liberal, pro-pajak, tidak keberatan dengan kekuasaan negara asalkan tidak menelikung kebebasan individual, percaya pada public service, pro-welfare, tidak begitu peduli sama keluarga atau agama. Sementara konstituen demokrat umumnya muda, beragam ras dan etnis, perkotaan, dan kebanyakan tinggal di wilayah utara Amerika.
Saat inilah, Partai Republikan sedang mencari jiwanya. Mereka sudah menguasai Conggress. Tapi sudah dua kali mereka kalah dalam pemilihan presiden. Sekarang mereka sedang beradu gagasan untuk menunjukkan kepada pemilih konservatif siapa yang layak untuk mewakili partai dalam pemilihan presiden.
Disinilah masuk orang yang namanya Donald Trump. Dia memiliki banyak keunggulan yang sangat cocok dengan massa konservatif Republikan yang sedang frustasi dan marah saat ini. Mereka marah karena banyak hal. Mereka marah karena melihat Amerika yang berubah semakin jauh meninggalkan nilai-nilai konservatisme. Kebanyakan konstituen kulit putih dan tua ini masih tidak bisa menerima orang seperti Barack Obama menjadi presiden. Inilah ladang subur untuk lahirnya berbagai macam teori konspirasi.
Disinilah Trump masuk dengan ‘birtherism’-nya. Dia menjadi corong yang paling kuat yang meragukan Obama lahir di Amerika (dia lahir di Hawaii) dan dengan demikian sebenarnya tidak berhak untuk menjadi presiden AS. Hingga saat ini, sekalipun Obama sudah menunjukkan sertifikat kelahirannya, Trump dan pengikut britherism tetap tidak percaya. Kalau ditanya, Trump selalu menjawab, “Saya tidak tahu dia lahir dimana.” Sebuah jawaban yang sangat politis.
Namun bukan itu yang membuat Trump menjadi sangat kuat dalam proses primaries Partai Republikan. Pada awal kampanyenya, dia langsung menegaskan bahwa imirgan dari Mexico yang datang ke Amerika sebagian besar adalah pengedar narkoba, kriminal, dan pemerkosa. Tentu saja, ucapan ini memancing kemarahan keturunan Latino, imigran dari Amerika Selatan.Trump tidak mundur selangkah pun dari posisinya itu. Sebaliknya dia memperkeras agitasinya. Anehnya, para konservatif pendukung Partai Republikan justru senang. Rating Trump naik tinggi sekali di kalangan Republikan. Dia menjadi ancaman serius bagi kandidat-kandidat Republikan lainnya – yang sebetulnya sangat moderat.
Semua orang yang belajar politik Amerika tahu bahwa pendirian Trump tentang imigrasi adalah resep untuk kehancuran Partai Republik di pemilu nanti. Seorang kandidat presiden harus memenangi paling tidak 40% suara Latino. Mereka adalah konstituen yang kuat.
Trump juga dilihat dengan sangat sinis oleh publik di negara-negara sekutu Amerika, khususnya di Eropa. Untuk orang-orang Eropa, Trump adalah representasi dari semua hal yang buruk tentang Amerika: gendut, mulut besar, sombong, tidak peduli pada yang miskin, bahkan bila perlu mencekik yang miskin sampai ampas-ampasnya, dan (sialnya) berduit.
Nah, dalam konteks yang saya gambarkan panjang lebar inilah, anggota-anggota DPR Indonesia muncul. Sampai saat ini saya bertanya-tanya, apa yang membawa mereka ketemu dengan Donald Trump? Mengapa?
Kedua politisi Indonesia ini berada di New York dalam rangka The 4th World Conference of Speakers Inter Parliamentary Union (IPU). Namun di luar acara tersebut, mereka ternyata sempat makan siang dengan Trump di Trump Tower. Tidak bisa tidak ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa Trump, ditengah-tengah jadwal padat kampanye dan sebagai pengusaha ini menyempatkan diri untuk bertemu dua politisi Indonesia ini?
Sekitar dua minggu yang lalu, saya membaca kabar bahwa Harry Tanoesoedibjo sudah meneken persetujuan bisnis dengan Trump soal Bali Nirwana Resort, sebuah hotel dan lapangan golf yang dulu milik Bakrie. Hotel dan lapangan golf ini menuai kenangan pahit untuk masyarakat Bali karena sempat diprotes besar-besaran ketika dibangun. Lokasinya sangat dekat dengan Pura Tanah Lot.
Adakah Harry Tanoe yang memfasilitasi kunjungan ini? Harry Tanoe bukan orang asing untuk Trump. Kalau tidak salah, dia adalah pemegang lisensi kontes ratu-ratuan yang diorganisasi oleh Trump. Kita sungguh tidak tahu akan soal ini.
Yang paling mencengangkan adalah mengapa dua politisi Indonesia ini – bersama rombongannya ternyata – berdiri di belakang Trump ketika dia mengadakan konferensi pers? Sangat umum dalam kebudayaan politik Amerika, seorang politisi ketika berkampanye atau memberikan konferensi pers, menaruh orang-orang di latar belakangnya. Kadang itu juga menjadi simbol atas apa yang diperjuangkannya. Obama menaruh buruh-buruh makanan cepat saji ketika mengumumkan rencana untuk menaikkan upah minimum, misalnya.
Apakah Setya Novanto dan Fadli Zon ditaruh disana untuk memberikan ‘credential’ kepada Donald Trump bahwa dia pun punya pengalaman dalam politik luar negeri? Masih ingat kisah Sarah Palin yang bisa ‘melihat Russia dari balik tembok rumahnya di Alaska? Bandingkan dengan Trump yang mengenal ‘one of the most powerful men’ dari negara demokrasi yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Juga saya ternganga ketika Trump memperkenalkan Setya Novanto, “The speaker of the house of Indonesia, he's here to see me. Setya Novanto, one of the most powerful men and a great man … And his whole group is here to see me today. And we will do great things for the United States is that correct?" Saya tidak bisa lepas dari penggambarannya terhadap Setya Novanto, ‘one of the most powerful men.’ Untuk Trump yang sangat terkenal akan self-centered, uang dan kekuasaan, memiliki sekutu seperti Novanto itu tentu sangat tepat. Dan, ‘he is here to see me …’ dia ada disini untuk menemui saya! Untuk sowan saya! Luar biasa bukan?
“We will do great things for the United States is that correct?”
Ini sungguh suatu pernyataan tanpa tedeng aling-aling dari seorang politikus Amerika. Terlebih lagi, ini ditujukan kepada dua politisi Indonesia yang sowan kepadanya. Padahal sentiment anti-Amerika cukup tinggi di dalam publik Indonesia. Kedua wakil rakyat Indonesia ini ‘will do great things for the United States.” Bukan untuk Indonesia! Saya ulangi, “the great things for the United States!”
Dan, Novanto pun membebek dengan mengatakan, “Yes!”
Akhirnya, keluarlah pertanyaan yang spektakuler ini, pertanyaan yang khas Trump yang setiap tindakannya selalu berpusat pada dirinya sendiri dan selalu mengagungkan diri sendiri, "Do they like me in Indonesia?” tanya Trump.
Novanto pun mengembik, "Yes, highly."
Orang-orang Indonesia menaruh hormat yang setinggi-tingginya terhadap Donald Trump!
Kedua orang yang berdiri di belakang Trump, menjadi semacam mannequin untuk konferensi pers Donald Trump adalah pejabat-pejabat negara. Ketika berkunjung keluar negeri, mereka adalah duta negaranya. Dan, Donald Trump, adalah seorang politisi yang dengan kadar ide-ide politik yang paling rendah.
Dia memang pintar memprovokasi dan melakukan agitasi. Dengan pura-pura tidak tahu akan sertifikat kelahiran Presiden Obama, dengan rasismenya terhadap orang-orang imigran Latino, dengan pelecehannya terhadap perempuan, dengan miskinnya ide-idenya tentang masa depan Amerika, hampir pasti bahwa Trump tidak akan pernah menjadi presiden Amerika. Partai Republikan akan mengalami kemunduran beberapa dekade – atau bahkan akan habis sama sekali – bila Trump menjadi kandidat presiden mereka.
Ada dua kemungkinan mengapa dua politisi Indonesia ini mau berdiri di belakang Trump dan mau diperkenalkan kepada publik Amerika. Pertama, mereka tidak tahu. Mereka pikir pamor mereka akan naik juga jika tersangkut dengan nama Trump yang bilyuner itu (Harry Tanoesoedinjo sebenarnya lebih kaya dari Trump!). Kalau ini adalah alasannya maka kedua politisi Indonesia ini sudah melakukan ketololan luar biasa. Dalam politik, mayoritas pemilih biasanya suka untuk membenci mereka yang kaya dan berkuasa. Itulah sebabnya politisi senang pura-pura sederhana.
Dalam kategori ini, mereka mungkin suka saja. Saya kira, mereka pun terpengaruh pada kebudayaan selfie. Narsisme mereka terangsang ketika bersama dengan Trump. Yang mereka tidak perhitungkan adalah Trump mempergunakan mereka.
Kedua, yang lebih serius: mereka memang satu ide dengan Trump. Mereka menyempatkan diri untuk makan siang bersama. Kita tidak tahu apa yang mereka bahas. Semua orang tahu, dengan Trump, tidak ada makan siang yang gratis. Kalau Trump mengatakan, “We will do great things for the United States …” maka kita boleh menduga apa itu?
Jadi, kalau suatu saat Setya Novanto atau Fadli Zon bicara tentang kecintaannya terhadap Indonesia, Anda boleh ingat-ingat perjumpaannya dengan Donald Trump ini.
Sekalipun membikin rahang saya kecapean karena tidak henti-hentinya ternganga-nganga, toh saya menyempatkan diri untuk bersyukur. Saya bersyukur bahwa toh akhirnya warna kedua politisi ini kelihatan juga. Benar kata orang, perhatikan politisi ketika dia menjadi dirinya sendiri … Saya kira keduanya sedang menikmati pakansinya di New York dan menjadi dirinya sendiri: abdi yang baik untuk Amerika eh Trump.
Made Supriatma, seorang peneliti Indonesia asal Bali, tinggal di New Jersey, biasa menulis untuk Indo Progress, kandidat Ph.D dari Cornell University, Ithaca, New York.
No comments:
Post a Comment