Andreas
Harsono
Gatra minggu keempat Juni 2014
Ketika Bagir
Manan, seorang pensiunan hakim dan kini ketua Dewan Pers, bicara soal Obor
Rakyat, dia berpendapat, "Sampai saat ini kita tidak temukan perusahaan
ini diselenggarakan badan usaha berlandas hukum. Oleh itu karyanya tidak
di-cover undang-undang pers …. Alamat bohong, semua redaksi nama samaran,"
ujarnya.
Menurut Bagir Manan, Dewan Pers
melindungi media jika persyaratan terpenuhi. "Ini tidak memenuhi sehingga …
di luar jangkauan Dewan Pers." Singkatnya, Dewan Pers mempersilahkan
polisi bertindak.
Namun Darmawan Sepriyossa dari
Obor Rakyat menulis mereka “partisan … tidak cover both sides” namun “ … media
partisanlah yang selalu mengiringi atau turut serta dalam sejarah kebangkitan sebuah
negara.”
Darmawan mencontohkan Suara Independen, penerbitan tanpa izin zaman
Orde Baru, ketika beberapa wartawan mereka dihukum penjara pada 1995 karena melanggar
pasal 154 KUHP (menyebarkan kebencian terhadap pemerintah) serta UU Pokok Pers
1982 (terbit tanpa izin).
Selain Darmawan ada Setyardi
Budiono. Keduanya pernah kerja buat majalah Tempo. Setyardi dikeluarkan dari
Tempo karena soal keuangan. Pada 2007, duet ini menyerang Tempo ketika Tempo bikin
investigasi penggelapan pajak Asian Agri, menurut Metta Dharmasaputra dalam
buku Saksi Kunci.
Salah satu cara pandang
terhadap jurnalisme adalah menghitung apakah Obor Rakyat memenuhi 10 elemen
jurnalisme. Ini analisis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam dua buku mereka The Elements of Journalism dan Blur: How to Know What's True in the Age of
Information Overload.
1. Menurut Kovach dan
Rosenstiel, kewajiban utama jurnalisme adalah mencari kebenaran. Rasanya repot
membela Obor Rakyat ketika mereka fitnah kandidat presiden Joko Widodo sebagai
bukan Muslim.
2. Loyalitas utama jurnalisme
adalah pada warga negara. Darmawan menulis loyalitasnya kepada " ...
kalangan Muslim, mayoritas
yang ironisnya justru tak pernah menjadi tuan di negerinya sendiri."
Made Tony Supriatma dari Indoprogress menulis bahwa argumentasi Darmawan bahaya,
“Kondisi mental inilah yang memberikan pembenaran (orang) melakukan kekerasan.
Orang Hutu di Rwanda --yang mayoritas-- merasa menjadi korban orang Tutsi. Mereka
menyembelih orang Tutsi dengan pembenaran bahwa semua penderitaan Hutu karena
orang Tutsi.”
3. Esensi jurnalisme adalah
disiplin verifikasi. Darmawan mengakui dia tak lakukan cover both sides. Suara
Independen, terbitan Aliansi Jurnalis Independen, sebaliknya adalah media
yang berusaha verifikasi.
4. Wartawan boleh berpihak
namun harus independen, menurut Kovach dan Rosenstiel. Pada 1995, ketika
bersaksi buat Tri Agus Susanto Siswowiharjo, redaktur penerbitan Kabar dari Pijar, wartawan senior
Atmakusumah Astraatmadja bicara soal "jurnalisme advocacy.” Maksudnya, ingin perubahan atau penyadaran atau semacam warning bahwa ada sesuatu yang harus
diubah. Advokasi tak salah tapi ia harus independen. Siswowiharjo orang independen, bukan bayaran, Kabar dari Pijar penerbitan sederhana. Saya belum tahu apakah Obor
independen dari kubu Prabowo S. Djojohadikusumo dan Hatta Rajasa.
5. Wartawan harus membuat
dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Darmawan mengatakan Obor Rakyat
mau memantau Jokowi karena media tak kritis terhadap Jokowi. Media yang mana? TV
One dan MNC bela kandidat Prabowo, menurut Reuters.
Bahkan Jokowi kalah dari segi pemberitaan televisi. Memantau politisi juga
tidak lewat fitnah.
6. Wartawan harus memberi forum
bagi publik untuk menguatkan demokrasi. Obor Rakyat tak memberi tempat untuk
penguatan demokrasi. Obor malah membahayakan proses pemilihan umum di
Indonesia. Taufik
Basari dari kubu Jokowi menuduh Obor melanggar UU Pemilihan Umum tahun 2008
dengan kampanye hitam.
7. Wartawan harus berusaha
membuat hal penting jadi menarik dan relevan. Obor Rakyat tentu saja tak taat
elemen ini. Obor malahan sensasional.
8. Wartawan harus membuat
berita yang komprehensif dan proporsional. Obor tak proporsional.
9. Jurnalisme harus mendengarkan
hati nurani karyawannya. Saya belum bisa menilai apa duet tersebut memberi
tempat kepada hati nurani.
10. Warga punya tanggungjawab
terhadap jurnalisme.
Kalau dilihat dari teori Kovach
dan Rosenstiel, saya kira, Obor tak terlihat sebagai produk jurnalisme.
Namun masih banyak hal belum
terungkap. Bagaimana kaitan Setyardi dengan orang Istana Merdeka? Velix Wanggai?
Andi Arief? Apa kaitan Obor Rakyat dengan pekerjaan Setyardi sebagai komisaris
perusahaan negara? Berapa rupiah mereka habiskan buat percetakan 100,000
eksemplar? Sistem distribusinya berapa rupiah? Mengapa pesantren sengaja diberi
gratis? Siapa lagi terlibat dalam Obor?
Walau bukan jurnalisme,
bukankah Darmawan-Setyardi bebas berpendapat? Mereka punya hak mencerca Jokowi
bukan? Mereka berhak curiga Jokowi keturunan Cina Singapura? Tidakkah mereka
berhak menulis Jokowi bukan Muslim? Mereka berhak mengatakan Jokowi akan angkat
Muslim Syiah sebagai menteri agama? Mereka boleh kecam Jokowi bela Ahmadiyah,
Kristen, Syiah dan seterusnya? Mereka berhak ungkapkan sektarianisme dan
rasialisme?
Saya kira prinsip kebebasan
berpendapat harus dihormati di Indonesia.
Kalau duet tersebut
dikriminalkan, bagaimana dengan ribuan pemakai sosial media? Tiap hari saya baca
status Facebook berisi fitnah. Setiap menit ada olok-olok terhadap Prabowo
maupun Jokowi di Twitter. Kompasiana, sebagai tempat blogger, banyak berisi
fitnah.
Kalau mau, polisi bisa pakai
KUHP buat jerat mereka. Sederhana sekali. KUHP memuat sejumlah pasal soal pencemaran
nama baik. KUHP melarang seseorang sengaja mengeluarkan pernyataan, lisan
maupun tertulis, yang mencemarkan reputasi orang lain. KUHP juga mengandung
pasal siar kebencian (hate speech). Hukumannya
penjara.
Tapi harus dibedakan antara free speech dan hate speech.
Kritik adalah free speech. Olok-olok calon presiden
adalah free speech. Kritik terhadap
Jokowi ingkar janji sebagai gubernur Jakarta adalah free speech. Human Rights Watch berpendapat
hukuman pidana adalah penyelesaian yang
tak sebanding dengan pencemaran reputasi seseorang. Human Rights Watch
mengusulkan para pejabat di Indonesia sebaiknya dilarang mengajukan tuntutan
pidana soal free speech. Jokowi
maupun Jusuf Kalla tak perlu mengajukan gugatan soal nama baik.
Hate speech adalah perbuatan kriminal, menurut International Convenant on Civil and Political Rights. Negara punya
tanggungjawab melarang serta menghukum pelaku siar kebencian terhadap etnik,
agama atau bangsa. Hate speech punya
tiga unsur: menyiarkan kebencian terhadap agama, etnik atau bangsa tertentu; mendorong
diskriminasi; serta menganjurkan kekerasan.
Obor Rakyat mungkin tak
menganjurkan kekerasan namun ia mengandung unsur kebencian dan diskriminasi
terhadap non-Muslim. Kalau pun Jokowi orang Kristen atau keturunan orang Cina
Singapura, apakah dia tak berhak untuk mencalonkan diri sebagai presiden? Obor
Rakyat tersirat menganjurkan diskriminasi terhadap warga Kristen dan etnik
Tionghoa. Singkatnya, Obor Rakyat bukan persoalan mengolok-olok Jokowi, tapi
menyiarkan kebencian terhadap non-Muslim maupun minoritas Ahmadiyah dan Syiah
di Indonesia.
Andreas Harsono menulis buku “Agama” Saya Adalah Jurnalisme serta terlibat penterjemahan dua buku Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel ke Bahasa Indonesia.
No comments:
Post a Comment