Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono
Pada 24 Maret 2011 saya mengajar dua sesi soal "new media" di harian Fajar, Makassar. Ini dilanjutkan dengan sebuah wawancara tentang kebebasan pers di Indonesia. Wawancara dimuat satu halaman penuh pada edisi 28 Maret 2011. Ana Rusli dari Aliansi Jurnalis Independen mengambil gambar harian Fajar ini.
RUNTUHNYA rezim Suharto membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pekerja pers mulai memiliki akses yang begitu mudah dalam mendapatkan informasi untuk kepentingan publik. Begitu juga perusahaan pers tumbuh subur bagaikan jamur. Sayangnya, kebebasan pers tersebut belum mampu dimaknai dengan benar oleh kalangan tertentu, khususnya pejabat pemerintahan yang menjadi sumber informasi. Imbasnya, tidak sedikit pekerja pers yang menjadi korban. Lalu bagaimana pandangan Yayasan Pantau mengenai kebebasan pers Indonesia? Berikut penjelasan Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono saat berbincang dengan wartawan FAJAR Hamsah Umar.
Bisa Anda gambarkan seperti apa pers saat ini?
Menurut hasil riset soal indeks kebebasan pers dari Reporters Sans Frontieres, tingkat kebebasan pers di Indonesia dalam kurung 10 tahun terakhir, menunjukkan kalau kebebasan pers kita makin buruk. Padahal pada zaman pasca-Suharto, ada kecenderungan pers sedikit lebih baik.
Apa yang menjadi tolak ukur menilai kebebasan pers memburuk?
Ada beberapa penelitian menyebutkan kebebasan pers di Indonesia makin buruk 10 tahun terakhir karena berkembangnya kekerasan terhadap wartawan, mulai dari penyerangan ruang redaksi hingga terjadi pembunuhan pada wartawan. Ini mengisyaratkan bahwa kekerasan terhadap wartawan makin hari makin meningkat, dan tentu saja itu pertanda buruk bagi kebebasan pers kita di Indonesia.
Kekerasan terhadap wartawan ini, tidak hanya berdampak pada wartawan maupun keluarganya, terutama yang dibunuh karena menjalankan tugas, tapi lebih dari itu, kekerasan terhadap wartawan akan menghambat publik untuk mendapatkan informasi.
Dari segi hukum, seperti apa pendapat Anda?
Kalau ditinjau dari segi hukum, saya juga berpendapat bahwa kebebasan dalam mendapatkan informasi juga buruk. Pada zaman Hindia Belanda ada 35 pasal yang bisa menggiring orang dipenjara karena berekpresi, baik itu berupa tulisan maupun bentuk lainnya. Dari 35 pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Kemudian pada zaman Suharto berkuasa, regulasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal, dengan ancaman hukuman seumur hidup. Setelah Suharto turun, di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM, pasalnya kembali dinaikkan menjadi 42 pasal. Ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara. Singkat kata, 10 tahun setelah Suharto jatuh, pasal yang bisa menjerat orang karena berekpresi ada lebih 130 pasal.
Terkait kekerasan terhadap wartawan, apa penyebabnya sehingga bisa terjadi?
Ada macam-macam penyebab sehingga kebebasan pers tidak berjalan sesuai harapan kita. Salah satu penyebabnya karena kurang mengertinya sebagian kalangan tentang prosedur jurnalistik. Kalau misalnya ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan atau terhadap wartawan, mereka menempuh caranya sendiri. Salah satunya adalah melakukan kekerasan.
Padahal, kalau ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan, kalangan yang merasa tidak puas ini bisa mengadukan wartawan ke media bersangkutan atau ke Dewan Pers. Kalau dia adalah wartawan elektronik bisa melalui KPI. Prosedur inilah yang tidak dimengerti masyarakat.
Dalam kasus wartawan dibunuh, kasusnya menjadi makin tidak jelas dimana penegak hukum tidak menghukum pelaku yang telah melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Siapa saja contohnya?
Pada 2010 lalu, ada tiga wartawan kita yang dibunuh, namun sampai sekarang pelakunya tidak dijerat. Dia adalah Adriansyah Matra'is, wartawan asal Merauke, Papua, Ridwan Salamun di Tual, dekat Ambon, dan Alfred Mirulewan dari Pulau Kisar. Di sini saya melihat bahwa ada kekebalan hukum dari pelaku kekerasan terhadap wartawan. Ardiansyah misalnya, kematian dianggap bunuh diri. Akibatnya pelaku dibiarkan bebas tanpa ada hukuman.
Catatan Interview ini dimuat harian Fajar di Makassar satu halaman penuh. Saya membaca versi online dan menaruhnya di blog saya. Ada sedikit perbedaan antara versi Fajar dan blog. Saya lakukan beberapa perbaikan ejaan. Misalnya, saya menaruh nama lengkap Reporters Sans Frontiers maupun menaruh kata "pasca" di depan nama Suharto.
Beberapa produk hukum, yang saya sebutkan dalam interview, mungkin guna menghemat tempat, tak disebut oleh Fajar. Saya menaruh tiga buah produk hukum tersebut dalam interview ini. Saya juga sebutkan soal ketiadaan byline sebagai salah satu kelemahan potensi kontrol masyarakat terhadap media. Suratkabar sebaiknya menaruh byline. Terima kasih untuk Hamsah Umar dari harian Fajar yang sudah bikin interview panjang ini.
Bisa Anda gambarkan seperti apa pers saat ini?
Menurut hasil riset soal indeks kebebasan pers dari Reporters Sans Frontieres, tingkat kebebasan pers di Indonesia dalam kurung 10 tahun terakhir, menunjukkan kalau kebebasan pers kita makin buruk. Padahal pada zaman pasca-Suharto, ada kecenderungan pers sedikit lebih baik.
Apa yang menjadi tolak ukur menilai kebebasan pers memburuk?
Ada beberapa penelitian menyebutkan kebebasan pers di Indonesia makin buruk 10 tahun terakhir karena berkembangnya kekerasan terhadap wartawan, mulai dari penyerangan ruang redaksi hingga terjadi pembunuhan pada wartawan. Ini mengisyaratkan bahwa kekerasan terhadap wartawan makin hari makin meningkat, dan tentu saja itu pertanda buruk bagi kebebasan pers kita di Indonesia.
Kekerasan terhadap wartawan ini, tidak hanya berdampak pada wartawan maupun keluarganya, terutama yang dibunuh karena menjalankan tugas, tapi lebih dari itu, kekerasan terhadap wartawan akan menghambat publik untuk mendapatkan informasi.
Dari segi hukum, seperti apa pendapat Anda?
Kalau ditinjau dari segi hukum, saya juga berpendapat bahwa kebebasan dalam mendapatkan informasi juga buruk. Pada zaman Hindia Belanda ada 35 pasal yang bisa menggiring orang dipenjara karena berekpresi, baik itu berupa tulisan maupun bentuk lainnya. Dari 35 pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Kemudian pada zaman Suharto berkuasa, regulasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal, dengan ancaman hukuman seumur hidup. Setelah Suharto turun, di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM, pasalnya kembali dinaikkan menjadi 42 pasal. Ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara. Singkat kata, 10 tahun setelah Suharto jatuh, pasal yang bisa menjerat orang karena berekpresi ada lebih 130 pasal.
Terkait kekerasan terhadap wartawan, apa penyebabnya sehingga bisa terjadi?
Ada macam-macam penyebab sehingga kebebasan pers tidak berjalan sesuai harapan kita. Salah satu penyebabnya karena kurang mengertinya sebagian kalangan tentang prosedur jurnalistik. Kalau misalnya ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan atau terhadap wartawan, mereka menempuh caranya sendiri. Salah satunya adalah melakukan kekerasan.
Padahal, kalau ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan, kalangan yang merasa tidak puas ini bisa mengadukan wartawan ke media bersangkutan atau ke Dewan Pers. Kalau dia adalah wartawan elektronik bisa melalui KPI. Prosedur inilah yang tidak dimengerti masyarakat.
Dalam kasus wartawan dibunuh, kasusnya menjadi makin tidak jelas dimana penegak hukum tidak menghukum pelaku yang telah melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Siapa saja contohnya?
Pada 2010 lalu, ada tiga wartawan kita yang dibunuh, namun sampai sekarang pelakunya tidak dijerat. Dia adalah Adriansyah Matra'is, wartawan asal Merauke, Papua, Ridwan Salamun di Tual, dekat Ambon, dan Alfred Mirulewan dari Pulau Kisar. Di sini saya melihat bahwa ada kekebalan hukum dari pelaku kekerasan terhadap wartawan. Ardiansyah misalnya, kematian dianggap bunuh diri. Akibatnya pelaku dibiarkan bebas tanpa ada hukuman.
Begitu juga dengan Ridwan Salamun. Meski pelakunya sudah diproses hukum, tapi di pengadilan Ambon dia dinyatakan bebas. Saya kira polisi harus bekerja keras untuk mengungkap setiap pelaku kekerasan yang menghambat kebebasan pers.
Jika seperti ini, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?
Saya kira, pemerintah perlu mencabut undang-undang yang bersifat represif, termasuk macam-macam pasal karet di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 yang melarang berekspresi dengan simbol Gerakan Acheh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka dan Republik Maluku Selatan. Banyak aturan yang represif mengakibatkan orang masuk penjara, termasuk ibu Prita Mulyasari, yang dianggap mencemarkan nama sebuah rumah sakit dan dokter-dokter. Karenanya, menurut saya, undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak benar, harus dicabut.
Terakhir, bisa Anda memberi tanggapan mengenai anggapan kebebasan pers kebablasan?
Anggapan seperti itu, saya kira, ada benarnya juga. Itu juga diakui beberapa kalangan pekerja pers. Oleh karena itu, saya kira media juga harus melakukan introspeksi diri. Salah satu alasan kenapa wartawan dianggap kebablasan karena banyak prosedur kerja yang dilakukan secara tidak benar, termasuk media online. Karena mengejar informasi yang sifatnya up to date, pokoknya cepat, mereka terkadang mengabaikan prosedur kerja yang semestinya dilalui.
Sekalipun demikian, pemerintah dan masyarakat juga tidak boleh ambil tindakan kekerasan. Lebih penting lagi, agar pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan, tidak main hakim sendiri dalam menyikapi persoalan yang dihadapi.
Kalau ada kesalahan dalam pemberitaan, silahkan melakukan kritik. Perlu disebutkan nama media dan wartawan yang memuat berita yang dianggap keliru. Pengelola media juga saya kira perlu memperjelas nama wartawannya, pakailah byline, sehingga masyarakat lebih mudah melakukan kontrol terhadap media dan wartawan. (hamsah.fajar@gmail.com)
Jika seperti ini, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?
Saya kira, pemerintah perlu mencabut undang-undang yang bersifat represif, termasuk macam-macam pasal karet di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 yang melarang berekspresi dengan simbol Gerakan Acheh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka dan Republik Maluku Selatan. Banyak aturan yang represif mengakibatkan orang masuk penjara, termasuk ibu Prita Mulyasari, yang dianggap mencemarkan nama sebuah rumah sakit dan dokter-dokter. Karenanya, menurut saya, undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak benar, harus dicabut.
Terakhir, bisa Anda memberi tanggapan mengenai anggapan kebebasan pers kebablasan?
Anggapan seperti itu, saya kira, ada benarnya juga. Itu juga diakui beberapa kalangan pekerja pers. Oleh karena itu, saya kira media juga harus melakukan introspeksi diri. Salah satu alasan kenapa wartawan dianggap kebablasan karena banyak prosedur kerja yang dilakukan secara tidak benar, termasuk media online. Karena mengejar informasi yang sifatnya up to date, pokoknya cepat, mereka terkadang mengabaikan prosedur kerja yang semestinya dilalui.
Sekalipun demikian, pemerintah dan masyarakat juga tidak boleh ambil tindakan kekerasan. Lebih penting lagi, agar pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan, tidak main hakim sendiri dalam menyikapi persoalan yang dihadapi.
Kalau ada kesalahan dalam pemberitaan, silahkan melakukan kritik. Perlu disebutkan nama media dan wartawan yang memuat berita yang dianggap keliru. Pengelola media juga saya kira perlu memperjelas nama wartawannya, pakailah byline, sehingga masyarakat lebih mudah melakukan kontrol terhadap media dan wartawan. (hamsah.fajar@gmail.com)
Catatan Interview ini dimuat harian Fajar di Makassar satu halaman penuh. Saya membaca versi online dan menaruhnya di blog saya. Ada sedikit perbedaan antara versi Fajar dan blog. Saya lakukan beberapa perbaikan ejaan. Misalnya, saya menaruh nama lengkap Reporters Sans Frontiers maupun menaruh kata "pasca" di depan nama Suharto.
Beberapa produk hukum, yang saya sebutkan dalam interview, mungkin guna menghemat tempat, tak disebut oleh Fajar. Saya menaruh tiga buah produk hukum tersebut dalam interview ini. Saya juga sebutkan soal ketiadaan byline sebagai salah satu kelemahan potensi kontrol masyarakat terhadap media. Suratkabar sebaiknya menaruh byline. Terima kasih untuk Hamsah Umar dari harian Fajar yang sudah bikin interview panjang ini.
Kolom Bisnis Indonesia
Macam-macam Naskah soal Jurnalisme
No comments:
Post a Comment