Masa liburan ini saya sekeluarga berkunjung ke satu pemakaman sederhana di kota Batu, sekitar satu jam dari Malang. Satu makam dengan batu nisan kecil. Satu makam dengan tanah longsor. Ia adalah makam Munir bin Said Thalib, salah satu orang besar dari negara bernama Indonesia.
Anisa binti Said Thalib, kakak kandung almarhum, menemani kami berkunjung ke makam. Di samping makam Munir adalah makam ibunda mereka, Jamilah, yang meninggal tahun lalu, lima tahun sesudah anaknya meninggal diracun arsenik, dalam pesawat Garuda Indonesia, jurusan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004.
Anisa binti Said Thalib duduk di antara nisan adik dan ibunya. Anisa lahir setahun lebih tua daripada Munir. Ibunda mereka, Jamila, meninggal dunia tahun lalu, lima tahun sesudah kepergian Munir.
© 2009 Sapariah Saturi
Kami membersihkan rumput. Kami mengenang keberanian Cak Munir. Mbak Anisa juga cerita soal longsor beberapa waktu lalu sehingga makam Cak Munir terkena. Pinggiran makam rontok. Kami juga jalan-jalan ke rumah keluarga Said Thalib, menikmati kripik dan mengobrol dengan Mbak Anisa.
Cak Munir kelahiran Batu, 8 Desember 1965, setahun lebih muda daripada Mbak Anisa. Ketika kecil, menurut Anisa, Munir badan kecil dan rambut merah. Mungkin karena rambut merah, Munir sering dijadikan olok-olok kawan-kawan dia. Dia lulus pendidikan hukum di Universitas Brawijaya, Malang, dan merintis karir di LBH Surabaya. Munir lantas menjadi seorang pejuang hak asasi manusia.
Saat menjabat koordinator Kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang, yang diculik pada 1997-1998. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Kopassus. Setelah diktator Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan mantan komandan Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan diadilinya 11 anggota Kopassus.
Munir dibunuh sesudah jatuhnya diktator Soeharto, pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Sejak 2005, tanggal meninggalnya Munir, 7 September, dicanangkan sebagai hari pembela hak asasi manusia, atau dalam bahasa Inggris, disebut human rights defender.
Anisa mengatakan keluarga Said Thalib tak mau bila makam dijadikan tidak sederhana. Ini soal kepercayaan dan adat keluarga. Namun soal tempat lain untuk memperingati Munir, Anisa minta saya berhubungan dengan abang sulung mereka.
© 2009 Sapariah Saturi
Saya usul kepada keluarga Said Thalib agar orang diizinkan bikin sebuah monumen guna mengenang keberanian, pengetahuan serta pengorbanan Cak Munir di bidang hak asasi manusia. Saya kira menarik bila ia dibangun di taman kecil, Jl. Imam Bonjol, kota Batu, terletak antara makam maupun rumah keluarga. Tujuannya, tempat merenung untuk tahu betapa beratnya menegakkan hukum dan menghormati hak asasi manusia.
Munir, saya kira, salah satu putra terbaik kota Batu. Monumen ini harus bisa menjadi salah satu daya tarik kota Batu. Orang akan datang ke Batu bukan saja untuk wisata agro --apel dan jambu-- namun juga datang ke monumen hak asasi manusia. Merenung. Monumen ini seyogyanya bisa jadi tempat orang belajar soal prinsip negara-hukum, soal pentingnya kebebasan sipil dan demokrasi. Kebebasan sipil meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, kebebasan pers dan sebagainya.
Titarubi, seorang seniman Jogjakarta, kenalan lama saya, mengatakan lewat Facebook, ide ini sebaiknya dilombakan sehingga banyak seniman yang ikut terlibat, "... berupa sketsa dan konsep, juga puisi pendek, tentang perjuangan hak asasi manusia. Lalu yang menang kita carikan dananya untuk membuat monumen dan taman kecil dengan plakat puisi tersebut." Menurut Tita, sepuluh atau 20 konsep terbaik bisa dibuatkan pameran dan bukunya.
No comments:
Post a Comment