Thursday, December 10, 2009
Bermain di Dunia Fantasi
Norman Harsono mulai memasuki masa libur tahunan pada 7 Desember 2009. Dia mengisi liburan dengan membeli satu set buku karya Arthur Conan Doyle (1859-1930). Isinya, cerita soal detektif swasta Sherlock Holmes. Norman memang mengagumi cara kerja Holmes: deduksi. Mungkin ini terkait dengan kesukaan Norman terhadap pelajaran ilmu pengetahuan. Aku tak pernah kuatir dengan mata pelajaran ini. Norman selalu dapat salah satu nilai tertinggi di sekolah untuk pelajaran science. Sherlock Holmes juga menggunakan pemikiran deduksi, ilmiah, guna menarik kesimpulan.
Namun melihat Norman membaca Sherlock Holmes juga "bikin cemas." Anak ini membaca dengan kecepatan tinggi. Dia bisa habiskan dua atau tiga buku dalam sehari. Satu buku berisi sekitar satu lusin cerita pendek. Norman cerita dengan mudah plot demi plot yang muncul dari 221B Upper Baker Street: tempat tinggal Sherlock Holmes di London dimana dia sering diskusi dengan sahabatnya Dr. John Watson. Dalam waktu seminggu, semua karya Doyle sudah dilahap Norman. Padahal Doyle menciptakan semua karyanya dari 1886 hingga 1927, selama 31 tahun. Beberapa karya bahkan dibaca ulang oleh Norman karena ada bagian dimana dia kurang mengerti.
Aku senang saja melihat Norman membaca. Walau aku pernah marah karena dia membaca sambil jalan di tempat umum. Aku kuatir dia kena tabrak orang. Tapi aku ingat pengalaman masa kecil dimana sering diomeli Papa bila membaca buku terlalu lama. Aku tak mau mengomeli Norman. Dia sangat intense bila membaca. Pikirannya bisa masuk ke khayalan dalam buku. Sulit mengganggu Norman bila dia sudah membaca. Kebetulan pula, serial televisi yang disukainya adalah Monk, tentang seorang detektif San Fransisco, yang jagoan membongkar kejahatan. Serial Monk diciptakan oleh Andy Breckman dan diperankan aktor Tony Shalhoub
Suatu pagi, Norman bangun, sesudah sarapan, dia tanya apakah dia bisa diajak pergi ke Dunia Fantasi. Aku dengan senang hati menerima ajakan Norman. Ini selingan penting untuk dunia membaca dia. Sapariah dan Sri Mulyani, pengasuh Norman sejak dia kelas dasar satu, juga dimintanya ikut. Kami datang pada hari Rabu dengan asumsi hari kerja dan Dunia Fantasi tak begitu ramai. Kami sering capek antri di Dunia Fantasi. Suatu permainan bisa antri hingga satu jam.
Ternyata harapan kami sia-sia. Dunia Fantasi tetap penuh. Kami hanya ikut permainan-permainan yang kurang populer. Antrian ringan. Kini Norman yang datang ke Dunia Fantasi bukan Norman kecil. Dia seorang remaja umur 12 tahun. Dia tak sabar menunggu antrian. Dia juga menolak diminta berpose. Jerawatnya juga mulai muncul.
Namun lumayan juga seharian ini bisa bermain di Dunia Fantasi. Aku juga jengkel lihat tumpah ruah pengunjung Dunia Fantasi. Ini belum lagi dengan para perokok yang sibuk merokok sambil antri. Aku kira Jakarta memerlukan tempat bermain alternatif. Kami terpaksa meninggalkan Dunia Fantasi lebih awal karena tak banyak yang bisa kami ikuti dengan antrian-antrian super panjang. Norman mengomel sesorean. Dia lagi berpikir bagaimana cara bisa bermain roller coaster atau ontang-anting tanpa terkena asap rokok dan antrian panjang?
No comments:
Post a Comment