Senin ini aku tiba di airport Sentani untuk memulai perjalanan bab terakhir buku From Sabang to Merauke. Naik pesawat Garuda Indonesia, berangkat dari rumah di Senayan pukul 2:00 dan pesawat terbang pukul 3:45. Cukup berat mata. Kami singgah di Makassar dan Biak. Sepanjang jalan, lebih banyak tidur mendengarkan lagu-lagu rock klasik dari MP3 Samsung. Aku baru bangun sesudah Biak.
Di Jayapura, tinggal di guest house Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P3W) Gereja Kristen Injili di Tanah Papua di daerah Padang Bulan. Seorang teman kuliah, Abraham Ondi, yang bekerja untuk sinode GKI Papua, merekomendasikan aku tinggal disini. Tempatnya enak. Sebuah bangunan dua tingkat. Tanah luas. Ada kebun sayur dengan bayam, pepaya, bunga dan lain-lain. Semua karyawan perempuan kecuali sopir. Ini organisasi didirikan 1962 untuk melatih para aktivis perempuan gereja.
Aku tinggal di lantai dua. Di luar jendela, semuanya hijau, ada suara serangga malam hari. Juga tidur tanpa AC. Di belakang rumah ada bukit tinggi. Isinya cuma hutan. Ini pertama kalinya aku tidur di ruangan tanpa AC sejak pindah dari rumah Bumi Serpong Damai pada 1999 untuk menuju Cambridge, Amerika.
Angin malam masuk. Aku wawancara banyak orang di Jayapura ini. Dari aktivis hingga tentara, dari wartawan hingga orang biasa. Aku membawa segepok buku dan dokumen dari Jakarta.
Aku juga menggali sejarah Organisasi Papua Merdeka yang bergerak sejak 28 Juli 1965. Mereka intinya sebuah jaringan orang-orang Papua yang hendak mempertahankan kedaulatan Papua dari "aneksasi" Indonesia.
Mereka sendiri menyatakan Papua merdeka pada 1 Desember 1960. Namun Presiden Soekarno menyebutnya "negara boneka buatan Belanda."
Pada 1963, Indonesia menyerbu Papua Nieuw Guinea dari Belanda dan mengganti namanya jadi "Papua Barat" dan belakangan "Irian Jaya." Orang Papua tetap menyebut tanah mereka Papua. "Bangsa Papua" punya bendera "Bintang Kejora" dengan lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang nasional burung mambruk. Slogan mereka, "One People, One Soul."
Belanda angkat kaki dari Papua. Perserikatan Bangsa-bangsa memutuskan diadakan Act of Free Choice. Ini diadakan pada Juli-Agustus 1969. Namun Indonesia memanipulasi voting ini. Indonesia hanya memilih sekitar 1,100 orang Papua dan menganggapnya sebagai representasi dari seluruh populasi Papua, yang ada sekitar 800,000. Indonesia juga membunuh serta memenjara orang-orang Papua yang ingin berdiri sendiri sebagai satu bangsa. Soekarno memperkenalkan istilah "kembali ke pangkuan ibu pertiwi" untuk Papua dan Indonesia. Cita-cita Soekarno dilanjutkan Presiden Soeharto dengan cara yang berlipat lebih kejam lagi.
Macam-macam deh masalah hari ini. Dari ketidakpuasan terhadap praktek UU Otonomi Khusus No. 21/2001 terhadap Papua maupun berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Disini juga berkembang isu "Papua asli" serta bagaimana membuat kriterianya. Aku mempelajari seberapa kuat nasionalisme Papua.
Ada juga cerita soal orang mabuk. Tiga lelaki Papua mabuk dekat kamar pada Minggu pagi. Mereka baku minum dan baku nasehat. Teriak-teriak. Aku lihat mereka pegang satu botol besar alkohol berisi carian biru. Minumnya, pakai gelas bekas minuman air mineral. Lucu deh. Seorang di antaranya kaki buntung.
Hari Minggu, aku sempatkan belanja souvenir di Pasar Sentral Jayapura di daerah Hamadi. Beli kalung kerang dari Wamena. Ia mengikat leher. Cakep sekali. Aku lihat Dr. Benny Giay, anthropolog dari Sekolah Tinggi Theologia Walter Post, memakai kalung ini. Juga beli kalung dari tulang burung kasoari serta noken (tas anyaman akar kayu).
Belanda angkat kaki dari Papua. Perserikatan Bangsa-bangsa memutuskan diadakan Act of Free Choice. Ini diadakan pada Juli-Agustus 1969. Namun Indonesia memanipulasi voting ini. Indonesia hanya memilih sekitar 1,100 orang Papua dan menganggapnya sebagai representasi dari seluruh populasi Papua, yang ada sekitar 800,000. Indonesia juga membunuh serta memenjara orang-orang Papua yang ingin berdiri sendiri sebagai satu bangsa. Soekarno memperkenalkan istilah "kembali ke pangkuan ibu pertiwi" untuk Papua dan Indonesia. Cita-cita Soekarno dilanjutkan Presiden Soeharto dengan cara yang berlipat lebih kejam lagi.
Macam-macam deh masalah hari ini. Dari ketidakpuasan terhadap praktek UU Otonomi Khusus No. 21/2001 terhadap Papua maupun berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Disini juga berkembang isu "Papua asli" serta bagaimana membuat kriterianya. Aku mempelajari seberapa kuat nasionalisme Papua.
Ada juga cerita soal orang mabuk. Tiga lelaki Papua mabuk dekat kamar pada Minggu pagi. Mereka baku minum dan baku nasehat. Teriak-teriak. Aku lihat mereka pegang satu botol besar alkohol berisi carian biru. Minumnya, pakai gelas bekas minuman air mineral. Lucu deh. Seorang di antaranya kaki buntung.
Hari Minggu, aku sempatkan belanja souvenir di Pasar Sentral Jayapura di daerah Hamadi. Beli kalung kerang dari Wamena. Ia mengikat leher. Cakep sekali. Aku lihat Dr. Benny Giay, anthropolog dari Sekolah Tinggi Theologia Walter Post, memakai kalung ini. Juga beli kalung dari tulang burung kasoari serta noken (tas anyaman akar kayu).
Giay sering menulis soal demitologisasi sejarah Papua. Pada pengantar buku Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM karya Socratez Sofyan Yoman, Giay menulis, "Setelah menduduki Papua Barat, Indonesia memperkenalkan sejarah Indonesia dan menggiring orang Papua untuk menerima sejarah Indonesia sebagai sejarahnya, karena terkait dengan semangat Indonesianisasi rakyat Papua. Maka proses pemaksaan sejarah Indonesia ke atas rakyat Papua dimutlakkan."
"Akibatnya, semua upaya orang Papua untuk menggali dan mengangkat sejarah Papua Barat dicurigai dan diawasi, sehingga sejarah Indonesia di Papua Barat dan sejarah Papua Barat di Indonesia, dikelola oleh penguasa Indonesia dan dijaga sebagai barang yang berbahaya dalam rangka membangun kekuasaan di Papua Barat."
Aku juga sempat jalan-jalan di Jayapura, sendirian naik "taxi" (kalau di Pulau Jawa disebut "angkutan kota"). Aku merasa makin hafal Jayapura. Aku juga sempat jatuh sakit di Jayapura. Pergi ke rumah sakit Dian Harapan di daerah Waena. Dokter mengatakan aku terkena radang tenggorokan, diberinya antibiotika, obat batuk dan pilek. Dokternya tertarik ketika tahu aku sudah jalan-jalan di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Jayapura, selama tiga tahun.
Macam-macam deh isi perjalanan tiga tahun ini. Kecelakaan di Gunung Kelimutu di Pulau Flores. Mau ditembak milisi Timor Leste dekat Kupang. Dicegat beberapa kali oleh tentara Indonesia dan gerilyawan di Aceh. Dicurigai sebagai wartawan gadungan di Pulau Tidore. Dikira pendeta di Tobelo, Pulau Halmahera. Entah berapa kali dianggap pengusaha Tionghoa. Dekat Pulau Buton, kapal menabrak karang. Kini jatuh sakit di Jayapura.
Tak terasa perjalanan buku ini, yang aku mulai dari Aceh pada Juli 2003, makin mendekati tujuan akhirnya: Merauke.
"Akibatnya, semua upaya orang Papua untuk menggali dan mengangkat sejarah Papua Barat dicurigai dan diawasi, sehingga sejarah Indonesia di Papua Barat dan sejarah Papua Barat di Indonesia, dikelola oleh penguasa Indonesia dan dijaga sebagai barang yang berbahaya dalam rangka membangun kekuasaan di Papua Barat."
Aku juga sempat jalan-jalan di Jayapura, sendirian naik "taxi" (kalau di Pulau Jawa disebut "angkutan kota"). Aku merasa makin hafal Jayapura. Aku juga sempat jatuh sakit di Jayapura. Pergi ke rumah sakit Dian Harapan di daerah Waena. Dokter mengatakan aku terkena radang tenggorokan, diberinya antibiotika, obat batuk dan pilek. Dokternya tertarik ketika tahu aku sudah jalan-jalan di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Jayapura, selama tiga tahun.
Macam-macam deh isi perjalanan tiga tahun ini. Kecelakaan di Gunung Kelimutu di Pulau Flores. Mau ditembak milisi Timor Leste dekat Kupang. Dicegat beberapa kali oleh tentara Indonesia dan gerilyawan di Aceh. Dicurigai sebagai wartawan gadungan di Pulau Tidore. Dikira pendeta di Tobelo, Pulau Halmahera. Entah berapa kali dianggap pengusaha Tionghoa. Dekat Pulau Buton, kapal menabrak karang. Kini jatuh sakit di Jayapura.
Tak terasa perjalanan buku ini, yang aku mulai dari Aceh pada Juli 2003, makin mendekati tujuan akhirnya: Merauke.
7 comments:
hebat, ditunggu cerita selanjutnya :d
saya sangat menunggu terbitnya buku tersebut.bagaimana sebuah peristiwa serius, mendasar, berhubungan dengan "sejarah bangsa", diliput dan diulas oleh seorang wartawan yang "tegas" dengan prinsip-prinsip jurnalisme. semoga cepat selesai dan jaga kesehatan selalu, Mas!
Suatu pemaparan perjalanan yg singkat dan tegas dengan detil seperlunya.
Keluarga di sini mendoakan mas dalam kehidupan dimanapun berada.
Biarlah Sang khalik terus memperindah perjalanan Mas!
Oh yah... kabar beredarnya buku barunya tetap dinanikan!
Ia pasti meletakan warna hidup Mas, hingga dinikmati indah bak b pelangi.
Sukses dalam cinta dan cinta!
ralat
1. Suatu pemaparan perjalan yang singkat dan
tegas dengan detail seperlunya.
2. Kabar beredar buku Mas tetap dinantikan.
3. Ia pasti meletakan warna hidup Mas indah
pelangi.
4. Sukses dalam cita dan cinta!
Saya tunggu bukunya. Sudah penasaran nih!
bernie hurek,
surabaya
Untuk Fitri, Hedi, Billy, Pierre dan Hurek,
Terima kasih untuk semua komentarnya. Saya sudah kembali ke Jakarta setelah dua minggu jalan di Papua.
Saya kini mengerjakan satu laporan untuk sebuah seminar di Kuala Lumpur tentang bajak laut. Serta satu laporan panjang untuk sebuah media di Washington DC. Ceritanya, harus cari uang lagi nih.
Begitu urusan duit selesai, saya akan duduk menulis dan menulis hingga buku selesai. Papua akan jadi bab ketujuh.
Ini dukanya jadi penulis pemula. Kita harus bekerja sekalian mencari uang. Saya senantiasa usaha pekerjaan sampingan ini tak mengganggu pekerjaan utama dalam buku.
Lucu juga ya. Pekerjaan sampingan menghasilkan uang. Sedang pekerjaan utama sama sekali tak membantu keuangan.
Terima kasih karena sudah menulis dan membantu membuka wawasan bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum muda agar melihat republik ini tidak hanya dari konsep yang dibangun oleh penguasa.
Tetapi dari sudut pandang dan konsep yang telah ada di masyarakat setiap pulau di nusantara.
Charles Roring
Post a Comment