Departemen Ilmu Komunikasi dan Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI bekerja sama dengan UNESCO Perwakilan Jakarta, mengadakan peluncuran dan bedah buku “Tsunami Aceh: Komunikasi di Tengah Bencana” yang berlangsung hari Jumat (10/03) di gedung AJB Bumiputera Kampus FISIP Depok.Para pembahas buku terdiri atas, Dr.Ibnu Hamad (penulis), Drs.Zulkarimein Nasution, MSc dan Drs.Awang Ruswandi M.Si (akademisi) Farid Gaban (wartawan) Andreas Harsono (Komunitas Pantau) dan Arya Gunawan (UNESCO Perwakilan Jakarta).
Buku yang ditulis setahun setelah peristiwa bencana tsunami Aceh terjadi ini, mencoba merekam ulang serta “menghadirkan kembali” pengalaman para jurnalis yang meliput bencana tersebut, suka dukanya sewaktu hendak berangkat maupun selama kegiatan peliputan.
Ibnu Hamad (40), staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, mencoba menuangkan peristiwa seputar bencana tersebut dengan mewawancarai 10 nara sumber (jurnalis) dari berbagai media cetak/elektronik Jakarta maupun yang berada di Aceh. Mulai dari mewawancarai hingga menjadi tulisan, diselesaikannya hanya dalam jangka waktu 3 minggu.
Zulkarimein Nasution melihat dari aspek lain, bahwa tugas dan fungsi jurnalis di saat-saat amat darurat, tidak lagi cukup seperti biasanya. Pada situasi luar biasa, kehadiran wartawan di lokasi bencana bukan sekedar perlombaan untuk mendapatkan berita besar yang akan diekspos besar-besaran pula. Muncul pelbagai tuntutan yang mengharuskan para wartawan untuk mempertimbangkan hal-hal yang selama ini rasanya tidak terlintas di pikiran mereka. Misalnya wartawan merupakan calon yang potensial terkena secondary traumatic Stress Disorder. Karena menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak pernah melihatnya. Suatu hal yang selama ini tidak begitu menjadi perhatian karena lebih terfokus pada keprofesionalan tugas.
Sementara Farid Gaban, sebagai seorang jurnalis jika melihat suatu peristiwa luar biasa, maka yang lebih diprioritaskan adalah jiwa kemanusiaan yang lebih ditonjolkan, daripada profesionalitas pekerjaan, karena wartawan juga seorang manusia yang punya hati dan punya rasa.
Sementara Andreas Harsono setelah membaca buku “Tsunami Aceh” menilai, betapa pimpinan media cetak/elektronik tidak siap dengan segala kemungkinan untuk meliput suatu bencana yang luar biasa. Begitu juga para wartawannya, membekali diri dengan persiapan seadanya. Berbeda dengan media luar negeri, mereka senantiasa membekali diri dengan baik, misalnya dibekali dengan peta lokasi dan berbagai informasi tentang wilayah yang menjadi bencana. Dengan demikian tidak bisa disalahkan kalau akhirnya orang dalam mencari informasi lebih mempercayai media asing.
No comments:
Post a Comment