Friday, November 22, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Bhineka Tunggal Ika ala Jerman

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 22 November 1991

SALAH satu kenyataan
yang menarik perhatian saya di Jerman adalah fenomena kota terbesar di Jerman, ternyata bukan ibukotanya. Bonn ternyata tidak termasuk lima kota terbesar di seluruh Jerman. Kota-kota semacam Berlin, Hamburg, München, Frankfurt, dan Koln jauh lebih besar dari ibu kota Bonn. Baik dalam jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah perputaran uang, tenaga terdidik dan lainnya. 

Kota-kota itu jauh lebih unggul. Biarpun sekarang sudah ada persiapan memindahkan ibukota ke Berlin, sesudah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur, tetapi perpindahan tersebut bukan karena alasan dimensi kota melainkan alasan historis.

Ini menarik karena jauh berbeda dengan di Indonesia. 

Di Indonesia yang namanya Jakarta, jauh menjulang ke atas, sementara kota-kota yang lain tertinggal di bawah. Uang semua terpusat di Jakarta. Sarjana-sarjana pada lari ke Jakarta. Kantor-kantor pusat pemerintahan maupun perusahaan ada di Jakarta. 

Barang-barang lengkap ada di Jakarta. Dampaknya, selain daerah menjadi tidak menarik, tidak sedikit kekecewaan yang menjelma menjadi pemberontakan kepada Jakarta.

Di Jerman sebuah event yang bersifat international ternyata bisa diadakan di daerah yang bukan merupakan pusat pemerintahan. Pameran produksi, pameran kebudayaan, acara kesenian, konferensi, pertandingan olahraga dan lainnya tidak harus diadakan di pusat pemerintahan. 

Fasilitas-fasilitas juga tidak harus terletak di pusat. Sebuah contoh: lapangan udara terbesar di seluruh Eropa terletak di kota Frankfurt di Laender (negara bagian) Hessen. Ibukotanya adalah Wiesbaden. Lapangan udara itu terletak bukan di pusat pemerintahan daerah. Kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah misalnya, lapangan udara terbesar justru terletak di Pekalongan. Bukan di Semarang. 

Dan masih banyak contoh lain untuk menunjukkan bagaimana ratanya pusat-pusat kekuasaan politik, ekonomi, kebudayaan, maupun teknologi di Jerman. Perbedaan inilah yang membuat saya ingin tahu mengapa pertumbuhan daerah-daerah di Jerman bisa begitu merata? 

Sedangkan di Indonesia tidak.

Desentralisasi

Selama hampir dua bulan “keluyuran” di Jerman, dan mengetahui beberapa fakta tentang Jerman, saya pikir ini semua bisa terjadi antara lain karena sistem pemerintahan yang terdesentralisasikan. 

Di Jerman ada semboyan semacam “Bhineka Tunggal Ika” --Einheit in der Vielfalt. Biarpun berbeda-beda dan terpisah-pisah tetapi tetap tunggal juga. Dari utara sampai selatan, dari barat sampai timur, biarpun bersatu, tetapi Jerman adalah negara-negara yang saling terpisah.  

Dalam negara makmur tersebut keragaman nya tidak kalah banyak dengan keragaman yang ada di Indonesia. Bedanya, di Indonesia keragaman terletak pada jumlah etnis, agama, dan bahasa (daerah). Di Jerman keragaman terletak pada sejarah dan struktur politik masing-masing daerah. 

Keragaman itu tidak diwujudkan dalam bentuk negara kesatuan. Tetapi justru diwujudkan dalam sebuah bentuk negara yang menghormati keragaman. Masing-masing daerah diberi kewenangan yang tinggi untuk mengatur nasibnya sendiri.

Sejak zaman raja-raja, sama dengan sejarah Indonesia, Jerman memang sudah terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang independen satu dengan yang lainnya. Kecuali dalam masa kediktatoran Nasionalis Sosialis 1933-1945, yang sentralistis dibawah kepemimpinan Adolf Hitler. Sistem yang desentralistis ini pula yang saya lihat pada Jerman hari ini.

Pada Jerman modern, struktur politiknya adalah struktur yang menomorsatukan desentralisasi.

Meminjam ungkapan seorang cendekiawan Jerman, Dr Konrad Reuter, “The architects of the Basic Law wanted to avoid setting up huge central authorities that would take decisions affecting people in far-away places.” Undang-undang dasar ini sengaja untuk mencegah orang-orang di Bonn menentukan semua aspek kehidupan daerah-daerah. 

Kemerdekaan ‘Laender’

Berdasarkan undang-undang dasar itulah, Jerman memiliki 16 “negara” (setelah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1989). Dalam bahasa resmi, keenam belas “negara” itu bisa dinamakan sebagai Laender. Mereka keberatan kalau disebut sebagai negara bagian dan juga keberatan kalau disebut provinsi. 

Sebuah Laender terbagi dalam beberapa kreis. Sedangkan yang menjadi wadah atau payung dari 16 Laender itu adalah bund (negara federal), kepala negara bund adalah seorang Presiden. Sedangkan kepala pemerintahan adalah Kanselir. Setiap Laender dipimpin oleh seorang presiden lengkap dengan kabinetnya masing-masing.

Dalam praktiknya, pemerintahan bund bertugas menangani misalnya urusan luar negeri, pertahanan, mata uang, besaran (berat, panjang dan sebagainya) atau masalah tapal batas. Sedangkan wewenang Laender misalnya pada persoalan pendidikan tinggi, media massa, film, konservasi alam, tata ruang, perencanaan daerah, registrasi, pembuatan KTP (ID card), paspor dan sebagainya. 

Tentu saja, ada beberapa persoalan yang bisa tumpang tindih, tetapi itu pun diatur secara rinci. Misalnya dalam soal keuangan, proyek-proyek yang harus dibiayai bersama tentunya akan dibiayai bersama-sama. Dan itu semua diatur oleh undang-undang. 

Tetapi biarpun demikian tidak berarti antara Laender-Laender dan bund selalu akur. Ketika saya berada di Laender Niedersachsen, salah satu Laender di Jerman bagian utara, saya menemukan adanya sengketa panas antara pemerintah pusat dengan pemerintah Laender. 

Persoalannya adalah nuklir. Pemerintah Niedersachsen berkeberatan dengan keberadaan empat pembangkit listrik nuklik maupun sebuah tempat pembuangan limbah nuklir di wilayahnya. Alasan mereka, terutama dari orang-orang Umwelt ministerium (kementerian lingkungan hidup), proyek-proyek itu terlalu bahaya bagi masyarakat sekitar. 

Sementara para pejabat dari pusat berpendapat sebaliknya. Pejabat pusat mengatakan, bahwa teknologi yang dipakai di sana merupakan jaminan tidak akan terjadinya bahaya apa-apa.

Dalam pertentangan itu, untuk memenangkan argumentasi, mereka harus mengacu pada undang-undang yang berlaku. Yang hanya tertulis kurang lebih, “Proyek-proyek hanya bisa berjalan apabila tidak membahayakan masyarakat.” Karena itulah, kedua pihak sibuk mencari bukti-bukti ilmiah, bahwa proyek itu berbahaya atau tidak berbahaya.

Berbagai pertemuan diadakan untuk membahas persoalan ini. Pers juga rajin sekali untuk menyiarkan isu tersebut. Konflik ini juga melibatkan penduduk Niedersachsen.

Di kantor lingkungan hidup, yang dipimpin oleh Monika Griefahn, yang sempat saya temui --menterinya masih muda, pernah ikut Greenpeace, popular dan menarik simpati--  saya melihat ada ratusan ribu tanda tangan warga setempat, yang menolak proyek nuklir. Griefahn mengusulkan tenaga matahari dan angin buat sumber energi. Dia juga mengusahakan waste management yang lebih baik agar air limbah dan sampah bisa daur ulang. 

Di sinilah saya melihat bagaimana pejabat-pejabat daerah dengan gigih mempertahankan kepentingan wilayahnya. Mereka tidak takut dituduh, tidak mementingkan kepentingan umum. 

Partai-partai politik sangat rajin untuk menggalang massa pemilihnya karena partai adalah bagian terpenting dari proses pengambilan keputusan. 

Di Jerman hanya ada empat partai besar, yang mampu mengirimkan wakil-wakilnya ke parlemen di Bonn: CDU (Christlich Demokratische Union Deutschlands), SPD (Sozialdemokratische Partei Deutschlands), FDP (Freie Demokratische Partei), dan Die Gruenen atau “Partai Hijau.” Die Gruenen menjadikan entry point partai adalah lingkungan hidup atau alam hijau. 

Dalam pemahaman saya, partai-partai itu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampilkan wajah yang demokratis dan akrab dengan persoalan masyarakat. SPD misalnya, secara tradisional adalah partainya para buruh. Ia didirikan tahun 20-an sampai hari ini SPD masih bisa dekat dengan massanya. Griefahn politikus SPD.

CDU adalah partai Kristen tengah --bukan fundamentalis. Ini partai moderat yang berusaha menampung pemikiran seluas mungkin. Ia didirikan di Berlin pada 1945 sesudah Sekutu mengalahkan rezim Hitler. 

FDP adalah partai yang lebih kecil dari CDU maupun SPD. Ia sering jadi penengah antara dua partai besar tersebut sekaligus menentukan siapa yang berkuasa sebagai kanselir karena kursi FDP bisa berubah ikut SPD atau CDU. 

Die Gruenen partai paling kecil namun ide soal lingkungan hidup --dari energi terbarukan sampai daur ulang-- membuat mereka diperhitungkan. Siapa sih yang tak mau peduli pada lingkungan yang tetap baik, kalau bisa lebih baik, buat anak dan cucunya? 


Catatan Perjalanan dari Jerman

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991


No comments: