Andreas Harsono
Suara Merdeka, 13 Oktober 1989
MENJAMURNYA lagu-lagu pop berirama dangdut di Indonesia belakangan ini sebenarnya bukan gejala yang terlalu luar biasa. Gejala meledaknya penjualan album “Duh Engkang” (Itje Trisnawati), "Dokter Cinta” (Evie Tamala), “Dimana Ada Kamu Disitu Ada Aku” (Heidy Diana) dan sebagainya, sebelumnya biasa-biasa saja kalau mengingat bahwa dangdut dengan segala penilaian terhadap musik tersebut memang mempunyai karisma yang luar biasa untuk selalu memukau sebagian besar rakyat di Indonesia.
Ledakan dangdut tahun 1989 ini juga tidak bisa dibilang istimewa, karena ledakan serupa juga pernah terjadi pada akhir tahun 70-an dan secara periodik juga terulang di sepanjang tahun 1980-an.
Dangdut memang musik yang begitu meresap pada selera sebagian besar penduduk di Indonesia. Dangdut ada dimana saja. Dangdut juga akrab dengan beberapa lapisan masyarakat di Indonesia. Dengan kemampuan hidupnya, yang mengandalkan diri pada pemusik-pemusik kelas pasar malam sampai pemusik sekaliber Rhoma Irama, dangdut secara tradisional sudah merupakan jaminan akan merupakan hiburan yang terdistribusi dengan baik. Ledakan kali ini membuktikan (untuk kesekian kalinya), bahwa musik dangdut pun ternyata punya nilai keindahan yang bisa disetarakan dengan jenis musik lainnya.
Bayangkan saja, Rhoma Irama pernah berkeliling ke-50 kota di seluruh Indonesia hanya untuk berpesta pada lokasi-lokasi tertentu yang dinilai cukup kaya untuk menampung puluhan ribu penggemarnya. Sampai saat ini belum ada pemusik lain yang memecahkan rekor tersebut. Kalau Iwan Fals tidak dilarang melanjutkan pertunjukan kelilingnya, barang kali hanya dia yang bisa bersaing dengan Rhoma.
Memang mengukur dangdut tidak sama dengan mengukur Rhoma Irama. Tapi itu tetap tidak mengurangi prestasi sekian ratus kelompok-kelompok kecil yang tersebar di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan lainnya, yang selalu siap untuk menghibur penduduk setempat dengan pertunjukkan langsung (live show) musik dangdut.
Ribut-ribut soal menganasnya musik dangdut dalam jalur lagu pop belakangan ini, lebih tepat kalau dipersempit menjadi pembahasan mengenai bagaimana pribadi semacam Judhi Kristiantho atau Heidy Diana, yang tidak biasa memproduksi atau menyanyikan lagu dangdut, membawakan “Dimana Ada Kamu Disitu Ada Aku,” justru laris dan menimbulkan dangdut-mania. Karena begitu album Heidy Diana menembus angka penjualan yang menggiurkan, seperti biasanya gaya berdangdut-ria itu segera ditiru produser lain. Dengan kata lain ledakan dangdut kali ini, lebih enak kalau bukan musik dangdut itu sendiri yang dikutak-kutik. Tapi menukik lebih tajam, bagaimana ledakan itu bisa terjadi?
Peran Produser
Dalam pemikiran saya, gejala ini paling tepat kalau dilihat dari kepentingan produser. Seperti yang berlaku pada persaingan dalam pasar bebas, dalam bisnis musik juga ada naik-turunnya selera pasar lagu pop. Dan produser, sebagai pemilik modal, adalah pihak pertama yang akan meraba naik turunnya selera pasar.
Tahun 1988 lalu, ketika lagu era manis berkisah cinta, dengan menyanyi berwajah ayu, bermimik sendu dengan musik sederhana, mulai terasa mulai membosankan, sosok Arie Wibowo yang berceloteh tentang "Madu dan Racun," menjadi titik balik yang secara mencengangkan membuat perubahan-perubahan besar selera pasar. Arus pun jadi penuh dengan lagu-lagu mirip “Madu dan Racun.”
Demikian juga dengan era keroyokan semacam “Hening” (Chrisye, Rafika Duri dan Trio Libels), “Jangan Menambah Dosa” (7 Bintang), atau “Kemesraan” (Iwan Fals dan kawan-kawan). Pada awal tahun 1989, lagu-lagu ini naik daun, secara tidak terduga bisa dibalik oleh lagu dangdut. Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan selera pasar selalu naik turun dan sulit diramalkan dengan ketepatan yang baik, apa yang akan dibeli konsumen keesokan hari.
Boleh jadi, larangan pemerintah terhadap apa yang disebut “lagu cengeng” pada bulan Agustus 1989 membuat para produser mencari selamat dengan menampilkan lagu-lagu keroyokan, yang liriknya bukan saja tidak “cengeng” tapi bahkan tidak bertemakan cinta. Ini terjadi karena dengan melibatkan beberapa penyanyi, lirik pun akan menjadi lebih sulit kalau secara emosional harus mengekspresikan cinta.
Masalah cinta antara sepasang anak manusia, biasanya bersifat individualistis, “dunia milik kita berdua” sehingga dalam lirik lagu pun akan lebih pas kalau dinyanyikan seseorang atau sepasang penyanyi. Tapi yang jelas bukan keroyokan.
Lagu keroyokan “Hening” misalnya, bercerita akan alam semesta. Lagu "Rock Kemanusiaan: Katakan Kita Rasakan” bercerita soal solidaritas sesama manusia. “Esok Penuh Harapan” (Billboard All Stars) bercerita soal semangat menempuh kehidupan. Tema-tema macam ini, tentu jauh berbeda-beda dengan tema percintaan, yang selama ini mendominasi hampir seluruh lirik lagu pop yang ada di Indonesia. Bersama seorang teman, saya pernah secara statistik menghitung lirik lagu pop di tahun 1989 yang bertemakan cinta, hasilnya 86 persen dari lagu pop yang ada di Indonesia berlirik cinta antara laki-laki dan perempuan.
Tapi era lagu keroyokan tidak akan pernah berkepanjangan. Konsumen cepat atau lambat akan merasa jenuh, melihat gaya-gaya itu juga. Padahal mau kembali kepada lagu-lagu sendu khawatir dilarang Kementerian Penerangan atau minimal harus dilakukan dengan ekstra hati-hati sedangkan mau menciptakan lagu-lagu baru, yang liriknya tidak “bercinta,” kebanyakan para pecinta lagu, produser, musikus Indonesia, tampaknya juga belum begitu terbiasa.
Kalau di Eropa musik mengekspresikan persoalan sehari-hari. Sting yang bernyanyi tentang lingkungan hidup. U2 bisa berceloteh soal kebosanan seorang ibu muda terhadap ritme kehidupan kota besar, pembunuhan massal Irlandia Utara, penjatuhan bom atom di Hirosima, pembunuhan terhadap Martin Luther King dan tema-tema lainnya, yang bisa dilakukan di negara maju. Di Indonesia para pemusiknya memang tidak terbiasa untuk membuat lirik lagu yang mencoba mendekati persoalan-persoalan keseharian yang dihadapi oleh orang kebanyakan. Di Indonesia, para pencipta lagu cuma terlatih menciptakan lirik bertemakan cinta. Padahal mencipta lirik cinta untuk saat-saat seperti ini, bisa dengan mudah dikategorikan “cengeng” dan serba susah memang.
Dalam situasi beginilah, economic animal macam Judhi Kristiantho, dengan naluri bisnis yang tinggi, mengadakan eksperimen dan memproduksi album Heidy Diana, saya duga, tanpa ada biaya produksi yang terlalu tinggi dan spekulasi seadanya, namun mengeruk uang besar. Memang tetap bernafaskan cinta tapi lebih aman dari jangkauan batasan “cengeng” yang sudah dikonotasikan dengan lagu pop lembut tersebut. Diproduksikan oleh keberhasilan “Evi Tamala dengan “Dokter Cinta” atau Itje Trisnawati dengan "Duh Engkang”. Maka meluncurkan dangdut secara lebih deras. Sukses, tentu saja.
Pelajaran
Peristiwa ini seyogyanya memberikan pelajaran, bahwa dangdut yang selama ini diremehkan dan diabaikan oleh kaum elit di negeri ini (terutama oleh para kritikus musiknya), ternyata memiliki keindahan yang pas untuk Indonesia. Apa yang indah, tidak selalu harus datang dari Eropa dan abad 18. Apa yang indah. Tidak selalu harus dimainkan dengan normal yang njelimet. Apa yang indah, tidak selalu harus dengan musik berkekuatan ribuan watt, gitar melengking, drum menggebu dan peralatan musik yang canggih.
Musiknya Beethoven tidak harus selalu enak di telinga seorang penduduk Gunung Kidul. Mick Jagger, boleh jadi kebanggaan anak-anak muda, tapi tidak semua anak muda menggemari musik rock. Jazz dari Amerika belum tentu bisa diterima di Irian Jaya. Pendek kata, nilai-nilai keindahan suatu karya musik sangat tergantung pada ruang dan waktu dimana musik itu berada.
Meledaknya dangdut kali ini membuktikan, nilai kehidupan musik dangdut, ternyata disukai oleh cukup banyak orang di Indonesia, yang dengan setia menjadi penggemarnya. Para konsumen ternyata bisa menikmati musik dangdut.
Nah, yang tetap jadi masalah, bagaimana dangdut juga bisa memecahkan “lingkaran setan lirik bercinta”?
Mampukah para seniman dangdut, tanpa harus meniru gaya berdakwahnya Rhoma Irama, mencuatkan tanggung jawab sosialnya dengan berceloteh soal kemasyarakatan yang lain? Soal runyamnya urusan telepon, soal penggusuran tanah, sogok-menyogok, perusakan lingkungan hidup dan sebagainya?
Musik pop yang sekarang ada di Indonesia, termasuk dangdut, akan menjadi lebih baik, kalau tidak sekedar berbisik-bisik soal cinta, patah hati, ciuman pertama, atau kesepian tinggal pacar.
Andreas Harsono, adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
No comments:
Post a Comment