Andreas Harsono
Eksponen, 14-16 Desember 1989
Banyak alasan untuk menyimpulkan bahwa Soe Hok Gie benar-benar lain dari yang lain, untuk tidak berlebihan menyebutkannya istimewa ataupun luar biasa, dari kalangan generasi muda. Bukan saja dikarenakan dia mati muda, ketika umurnya baru 27 tahun lewat dua hari. Tapi seperti halnya Chairil Anwar, sang penyair Indonesia, meski ia mati semuda itu namun merasa hidupnya relatif banyak yang telah diperbuat, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan orang banyak.
Dari nama saja jelas ia keturunan Cina, Tapi berbeda dengan rata-rata atau umumnya orang sejenis dia, Hok Gie tidak terjun ke arena bisnis ataupun olahraga, melainkan ke arena perjuangan yang jauh lebih luhur, melawan yang batil, menegakkan yang hak, demi kepentingan bangsa Indonesia, yang amat dicintainya. Bahkan demi kemanusiaan.
Yang membuat Hok Gie lain dari yang lain pula, ia tidak cuma tenggelam dalam renungan demi renungan di antara tumpukan buku-buku di kamar studinya. Ia tidak cuma mengunyah teori-teori dan pendapat-pendapat para pakar, ia tidak cuma ngomong melulu thok, akan tetapi juga terjun ‘in action’ ke front perjuangan. Sebaliknya, ia tidak pula hanya ‘in action’, tapi juga berpikir dan menggunakan otak.
Dan yang lebih membuat Hok Gie terbilang ‘langka’, ia berpikir dan bereaksi, boleh dikatakan tanpa pamrih. Meski tampil sebagai pemenang, ia tidak mabuk kemenangan, tidak memanfaatkan kemenangan itu untuk memperkaya diri atau untuk sebuah kursi kekuasaan. Bahkan dalam kemenangan itu, Hok Gie masih juga memikirkan dan berbuat untuk kepentingan bekas musuh-musuhnya yang berhasil dikalahkan.
Mengenang 20 tahun tewasnya Soe Hok Gie, sang pejuang kemanusiaan itu, Andreas Harsono dari Universitas Satya Wacana, Salatiga, menulis untuk Eksponen. Foto Hok Gie terakhir dimasa hidupnya, yang melengkapi tulisan Andreas Harsono ini, dipinjam dari Leila Ch. Budiman, istri Dr. Arief Budiman (d/h Soe Hok Djin), yang tak lain tak buka kakak ipar Soe Hok Gie.
Berani, Jujur dan Berperikemanusiaan
KALAU kehidupan manusia bisa dibagi oleh tiga buah titik, yakni titik kelahiran, titik perkawinan dan titik kematian, maka Soe Hok Gie adalah manusia yang belum melewati titik perkawinan ketika titik kematian telah datang. Memang Soe Hok Gie, yang kelahiran 14 Desember 1942 itu, masih muda karena menghirup uap beracun di puncak gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969. Umurnya baru 27 tahun lewat dua hari ketika kematian itu datang padanya.
Soe Hok Gie adalah anak muda yang lahir di zaman perang. Masa remajanya adalah masa di mana Indonesia sedang pada puncak pola kehidupan politik yang liberal. Ini memungkinkan Hok Gie seperti pola pertumbuhan pemudi-pemuda Indonesia generasi enam puluhan, menjadi anti kekuasaan asing, merasa kurang senang dengan pola pemerintahan Presiden Sukarno yang penuh slogan-slogan.
Buat Hok Gie, generasi Sukarno adalah generasi yang hidupnya diwarnai dengan sikap anti kolonialisme, berkehendak untuk merdeka secara politik dari penjajahan Belanda dan gandrung akan persatuan Indonesia. Tapi belum siap untuk mengisi kemerdekaan. Ini berbeda dengan generasi Soe Hok Gie, generasi yang mulanya berharap untuk memetik buah kemajuan kemerdekaan Indonesia. Tapi yang ada hanyalah kekecewaan. Ternyata kemerdekaan politis saja belum cukup. Cita-cita dan idealisme generasi Soe Hok Gie akhirnya harus berbenturan dengan keadaan negara yang nyata. Mereka dipaksa untuk membunuh idealismenya. Korupsi merajalela, mencari pekerjaan perlu koneksi, para pejabat gila kekuasaan, hukum diputar-balik, pendek kata, jalannya negara belum teratur. Kebobrokan-kebobrokan macam itulah yang dihadapi generasi Hok Gie.
Ketika lulus dari sekolah menengah (salah satu yang terbaik di Jakarta), Hok Gie masuk menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. Sebuah universitas yang belakangan menjadi pusat dan simbol perlawanan kaum intelektual terhadap rezim Sukarno dimana Soe Hok Gie ikut berperan aktif. Tapi perlu diingat bahwa keikut-sertaan Hok Gie dalam perjuangan tersebut bukan berdasar minat terhadap kekuasaan, tapi berdasarkan pertimbangan moral. Perumpamaan yang sering dipakainya dan juga sering dipakai oleh Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie --kekuatan mahasiswa hanya kekuatan moral.
PERAN moral macam itulah yang dilakukan Soe Hok Gie dalam penentangan terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Pada pengantar buku harian Soe Hok Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran, Daniel Dhakidea membenarkan keterlibatan Hok Gie dalam apa yang disebut sebagai “Gerakan Pembaruan Indonesia” yang dipimpin oleh Profesor Sumitro Djojohadikusumo dari Singapura. Sebagai case officer, Hok Gie bertugas melakukan penetrasi dan infiltrasi ke dalam kalangan kaum cendekiawan. Tentunya gerakan yang bermaksud “memperbaharui” pemerintahan Indonesia tersebut harus berhadapan dengan kekuatan negara yang dipimpin oleh Sukarno.
Dalam kerangka tugas inilah, Hok Gie kemudian mempunyai hubungan dengan kalangan Angkatan Darat, yang tidak puas dengan gaya pemerintahan presiden Sukarno. Dari peran ini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya mahasiswa tidak mempunyai kekuatan-kekuatan seperti yang selama ini diromantiskan. Yang terjadi sebenarnya adalah aliansi mahasiswa dengan kekuatan-kekuatan politik nyata yang ada. Dan ini sangat tergantung pada seberapa jauh kualitasnya. Pada tahun duapuluhan, mahasiswa Sukarno, Moh. Hatta, Abdulmadjid, Sjahrir dan lainnya, juga banyak berhubungan dengan berbagai kekuatan politik yang ada.
Sukarno dengan PN-nya, Hatta dengan Perhimpunan Indonesia-nya. Dan ini terulang lagi dengan pemuda Sukarni, Adam Malik, Wikana pada tahun empatpuluhan.
Demikian halnya Hok Gie yang kemudian banyak berperan sebagai penghubung antara para demonstran dan pihak Angkatan Darat dalam demonstrasi-demonstrasi anti Sukarno. Semua tetap dalam kerangka kerja sama (baca: perlindungan) dari Angkatan Darat mulai dari pencetusan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura), protes kenaikan harga bahan bakar, penghambatan terhadap jalannya sidang kabinet, berusaha menemui menteri-menteri dan lainnya. Ini berlanjut sampai keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret kepada Mayor Jendral AD Suharto, menjadi makin kokoh dan perlahan-lahan peran presiden Sukarno susut ke belakang digantikan Suharto.
Tapi sebagai pihak yang “menang”, Soe Hok Gie tidak lantas ikut “memperkokoh” kepuasan materi pribadinya. Begitu demonstrasi usai, Hok Gie kembali masuk kampus. Merampungkan skripsinya, menjadi dosen serta menulis di berbagai terbitan di negeri ini. Dan kekuatan moral itu muncul kembali ketika ketidakberesan ternyata muncul juga dengan pemerintah baru. Sekali lagi Hok Soe Gie tergerak rasa kemanusiaannya. Tetapi kali ini berhadapan dengan penguasa yang berbeda. Sekali lagi Hok Gie melancarkan kritiknya. Tapi kali ini lain.
Dua artikel bersambung di harian Mahasiswa Indonesia (Bandung), akhir bulan Desember 1967, tentang pembunuhan besar-besaran yang terjadi di pulau Bali, saya duga adalah tulisan Hok Gie dengan nama samaran "Dewa." Di situ dibeberkan bagaimana tuduhan sebagai PKI bisa disalah-digunakan untuk membunuh orang lain, perempuan-perempuan muda diperkosa dengan tuduhan Gerwani dan sebagainya. Pembunuhan 80,000 orang di Bali tanpa alasan jelas. Bahkan banyak di antaranya yang dulu mengaku paling Nasakom, balik membunuh orang lain sebagai komunis.
Pada kesempatan lain Hok Gie adalah satu-satunya orang Indonesia, pada 1967, yang berani menulis secara terbuka tentang penderitaan dan ketidakadilan yang diterima oleh ribuan tawanan politik, yang dipenjara tanpa pengadilan dan ditaruh dalam kamp-kamp konsentrasi, serta penderitaan dari anak istri dari tahanan politik itu, sebagai buntut dari dihancurkannya kekuatan-kekuatan politik Orde Lama.
Menurut Benedit Anderson dari Cornell University, ini adalah sesuatu yang luar biasa. Pada zaman di mana setiap orang yang “berbau” PKI atau Sukarnois akan diperlakukan dengan jelek sekali, Soe Hok Gie dengan berani dan jujur membela ketidakberdayaan mereka.
Memang ketika PKI masih jaya. Soe Hok Gie termasuk salah satu pemuda yang tidak bisa menyembunyikan ketidak-senangannya terhadap organisasi raksasa tersebut. Lalu PKI dihancurkan. Hok Gie merasa tidak tega dan memandang tidak benar. Rasa ibanya muncul melihat mereka ditindas. Lalu Hok Gie menyerang kebobrokan dan kebengisan golongan yang baru muncul sebagai pihak yang menang. Pertimbangannya tidak lain hanya: kemanusiaan.
Hok Gie juga menulis tentang pemerintah yang dinilainya tidak menarik. Lalu secara terang-terangan Hok Gie pernah mempertanyakan keberadaan agama dengan konteks zaman saat ini. Kebebasan pers, kekecewaan masyarakat, pelacuran intelektual, Surat Bebas G30S, kehancuran PKI dan sebagainya.
Bagaikan lakon koboi dalam film-film Holywood, yang datang menolong penduduk sebuah kota mengusir bandit-bandit dari kota tersebut. Tapi ketika bandit-bandit telah pergi dan sang koboi akan ditawari jabatan sebagai sheriff, sang koboi justru telah menghilang. Menerima ucapan terima kasih pun tidak dikehendakinya. Itulah kekuatan mahasiswa. Dan bagi mahasiswa enampuluhan macam Soe Hok Gie, mahasiswa seharusnya berani menolak jabatan sebagai anggota Parlemen seperti koboi menolak jabatan sheriff.
Bukan hanya menulis, Hok Gie juga mencurahkan pemikiran – pemikiran lewat berbagai macam aksi. Dia membela Yap Thiam Hien, salah satu mantan tokoh Baperki (sebuah organisasi yang dekat dengan kekuatan Orde Lama), ketika Yap ditangkap dalam aksi penganyangan PKI. Hanya karena Yap dinilainya benar.
Pekerjaan terakhir yang dilakukan sebelum naik ke Gunung Semeru adalah mengirim bedak dan pupus buat wakil-wakil mahasiswa di Parlemen. Dengan ucapan, supaya mereka mampu "berdandan lebih cantik di hadapan penguasa." Tentu ini sebuah simbol belaka bahwa wakil-wakil mahasiswa tersebut tidak berbuat lain selain memperkaya diri sendiri (antara lain dengan ikut cicilan mobil). Sebuah tindakan yang berani, tapi membuat Hok Gie makin terpencil dari teman-temannya.
Hok Gie tidak puas dengan hanya membantu menegakkan suatu kekuasaan baru, dengan harapan kekuasan baru lebih bersih dari yang lama, tapi terus-menerus melontarkan pandangan-pandangannya terhadap jalannya kekuasaan tersebut. Di sinilah nilai lebih dari seorang Soe Hok Gie. Dia pernah bermain begitu dekat dengan kekuasaan. Dianggap berjasa, keluar sebagai pihak yang menang, punya banyak kesempatan untuk mendapat kemakmuran. Tapi dia lebih memilih menjaga jarak dengan kekuasaan dan berpaling pada perannya sebagai intelektual yang bebas dan mengabdi pada cita-citanya sendiri: yakni kemanusiaan.
Kemungkinan Mempublikasikan Karya-karyanya
SOE HOK GIE bukanlah cendekiawan yang lahir dari sekedar sebuah kamar studi. Pengalamannya luas, kemampuan berkomunikasi hebat, tulisan-tulisannya muda dimengerti, kalimatnya pendek-pendek, argumentasinya mendasar dan informasi yang dikuasainya seperti tidak habis-habisnya. Pembacanya bukan orang-orang sekolahan. Tulisan Hok Gie tersalurkan pada berbagai macam koran mulai dari Mahasiswa Indonesia (Bandung), Sinar Harapan, Indonesia Raya, Kompas, majalah Komunikasi, jurnal Indonesia (Cornell University) dan lainnya.
Harsja Bachtiar mengatakan Hok Gie sebagai cendekiawan yang ulung yang terpikat ide, pemikiran dan terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya. Meskipun demikian. Soe Hok Gie tidak dapat dikatakan sebagai seorang sarjana dalam arti sempit karena Hok Gie kurang sabar dalam mempelajari persoalan-persoalan sejarah secara teratur dan teliti.
Tapi dari ini semua, ada satu gambaran yang jelas dari manusia Soe Hok Gie. Dia mau mengenali ilmu, masuk sebuah universitas, belajar sesuai kurikulum tapi ini tidak membuat Hok Gie untuk berhenti belajar dari kondisi masyarakat yang sebenarnya. Dinamika Hok Gie mencerminkan antusiasismenya untuk selalu “bersatu” dengan kenyataan sehari-hari, tidak mengasingkan dirinya di antara buku-buku saja.
KALAU pada tahun enam puluhan Hok Gie kemudian terlihat dalam gerakan politik Profesor Sumitro, bisa jadi semua itu dijalankannya ketika studi yang dilakukannya menuntut terjunnya Hok Gie dalam kancah perebutan kekuasaan. Studi terus-menerus sementara di luaran tidak terjadi perubahan apa-apa, tentu saja, bukan pilihan yang dikehendaki manusia semacam Soe Hok Gie. Dia jelas tidak menyukai keadaan sosial politik di tahun enampuluhan.
Bahkan sejak kecil Hok Gie sudah tidak puas dengan keadaan sekitarnya. Kontras yang tajam antara seorang rakyat jelata (bukan pengemis), yang makan kulit mangga, sementara dua kilometer dari satu “sang paduka” asyik makan-makan dengan istri-istrinya, membuat Hok Gie mengeraskan hati, "Generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau”.
Entah apakah ini sikap yang tepat buat seorang intelektual, yang jelas Hok Gie memilih hasil pemikiran-pemikirannya untuk modal “turun ke jalan” memberantas kejahatan. Dan itu dilakukan sampai akhir hayat.
Sikap cendekia Hok Gie juga ditunjang dari hubungannya yang luas dengan berbagai kalangan keilmuan. Mulai cendekiawan di Universitas Indonesia, kalangan pers, kelompok cendekiawan, perwira militer sampai ilmuwan di luar negeri. Hok Gie punya teman banyak di kalangan ini. Benedict Anderson misalnya, doktor ahli Indonesia dari Universitas Cornell, mengutip kata-kata Hok Gie pada tempat yang terhormat dalam thesisnya Revolusi Pemoeda yang baru-baru ini diterbitkan oleh Sinar Harapan:
Simpatiku adalah untuk mereka
yang telah mengorbankan
segala-galanya
untuk kemerdekaan
bangsa, negara dan rakyat
Indonesia, mereka yang
berada di sisi kiri dan kanan ....
TULISAN-TULISAN Hok Gie kebanyakan bersumber dari isu kehidupan sehari-hari, dan dari sana dikembangkan secara menarik sebelum sampai pada titik akhir berupa pemecahan, kesampulan atau sekedar pertanyaan. Cara penulisannya memikat, pembaca biasanya terpengaruh oleh apa yang ditulisnya. Reaksinya biasa dua macam. Makin mengiyakan ide-ide dan pemikiran Hok Gie atau makin membenci radikalismenya.
Di harian Kompas tahun 1969 misalnya, Hoe Gie pernah menulis tentang pemerintah awal berdirinya Orde Baru yang kerjanya cuma mencari utang, sebuah isu sehari-hari pada waktu itu guna pulihnya ekonomi Indonesia, dan berangkat dari kepulihan ekonomi itulah dilaksanakan pembangunan, "Cita-cita yang tak kalah besarnya … agar masyarakat desa Indonesia (yang merupakan sebagian besar rakyat Indonesia) dapat menikmati hidup yang lebih layak”.
Tapi pekerjaan raksasa tersebut dilaksanakan secara kurang menarik (dibandingkan zaman Sukarno yang begitu kharismatik itu). Artinya, banyak rakyat indonesia yang acuh tak acuh terhadap rencana besar tersebut (baca: Pembangunan). Hampir tidak ada komunikasi yang dimengerti rakyat. Pragmatisme pemerintah akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja rakyat.
Di sinilah kritik Soe Hok Gie terhadap Pemerintahan Orde Baru waktu itu. Dan buktinya jelas, kritik itu bisa diterima dan propaganda pembangunan jadi menggebu-gebu.
Pembaca tulisan Hok Soe Gie juga bisa membaca kisah perjalanan Hok Soe Gie di Amerika Serikat. Cerita perjalanannya (11 Oktober 1968 sampai 14 Desember 1968) yang dimuat dalam harian Indonesia Raya dan Sinar Harapan, mungkin salah satu penulisan kisah perjalanan ke Amerika Serikat yang terbaik yang pernah ditulis oleh orang Indonesia. Dia menulis tentang tipe mahasiswa Asia di Amerika Serikat, tentang masalah kaum kulit hitam, kekuatan hitam dan “bahaya kuning”, agama dalam kehidupan masyarakat Amerika, konservatisme pada beberapa kalangan masyarakat Amerika, Perang Vietnam dan sebagainya.
Misalnya mengenai kehidupan keagamaan. Hok Gie mendapatkan hal-hal baru di Amerika. Di kota Salem, dia melihat poster yang menganggap Yesus Kristus, tokoh sentral dalam agama Kristen, sebagai kriminal. Di Texas, pastor-pastor membuat resolusi (seperti layaknya partai politik) agar Uskup Agung mengundurkan diri. Pernyataan-pernyataan "God is Dead" (Tuhan Mati) muncul dimana-mana.
Saat itu Amerika dilanda oleh hippieism, Flower Generation sedang hebat-hebatnya. Kebebasan berekspresi, mulai dari keyakinan agama, kehidupan seksual, sikap politik dan sebagainya, dipompa kuat. Di bidang ideologi, aliran New Left (Kiri Baru) baru muncul. Tokoh macam Hok Gie Minh, Fidel Castro, Che Guevara, Nehru masih terlihat sebagai tokoh-tokoh baru yang menyegarkan. Menarik sekali untuk melihat cara pandang seorang pemuda Indonesia terhadap gerakan 1968 yang melanda Amerika itu.
Skripsinya Simpang Kiri dari Sebuah Djalan tentang kegagalan Partai Komunis Indonesia di tahun 1948, juga merupakan studi yang mendalam terhadap persoalan-persoalan sejarah. Meskipun ini agak aneh, kenapa Hok Gie, yang anti Sukarno, anti Partai Komunis Indonesia, yang dekat dengan militer kanan, tapi skripsinya justru mengenai gerakan golongan kiri di Indonesia?
Demikian pula dengan skripsi sarjana mudanya, Di Bawah Lentena Merah, membeberkan studi yang intensif terhadap Serikat Islam Semarang sebagai awal “merah-nya” Serikat Islam, bibit pergerakan komunisme di Indonesia. Kenyataan ini tentu menarik. Apakah Hok Gie terpengaruh pola pengembangan New Left yang saat itu tengah melanda dunia terutama di kalangan mahasiswa? Atau mungkin ada alasan lain?
TERLEPAS dari pertimbangan itu, alangkah baiknya kalau kedua skripsi Soe Hok Gie bisa di terbitkan secara umum. Karena di balik nama Soe Hok Gie, bobot keilmuan kedua karya tersebut tak kalah gamblang dan menarik dengan penulisnya sendiri. Ada banyak informasi yang bisa digali dari kedua buku tersebut. Antara lain dari hasil ketekunan Hok Gie dalam mempelajari koran-koran awal tahun tigapuluhan, seperti Soeara Ra’jat (Surabaya), Sinar Hindia, Sinar Djawa dan sebagainya, menghasilkan cerita yang dramatis tentang pergolakan dan pemogokan buru di zaman kolonial Belanda.
Simpang Kiri dari Sebuah Djalan menggambarkan episode-episode pergolakan Indonesia sesudah kemerdekaan tahun 1945. Secara umum, sejarah itu tentu akan banyak gunanya bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran politik bangsa dan negara Indonesia.
Kalau salah satu penerbit besar macam LP2ES bekerja sama dengan Yayasan Mandalawangi bersedia menerbitkan buku harian Hok Gie, kenapa tidak dengan menerbitkan karya-karyanya yang lain?
Kumpulan artikel Soe Hok Gie juga menarik untuk dipublikasikan, paling tidak untuk melengkapi buku Catatan Seorang Demonstran. Konteks cerita di buku harian Hok Gie itu akan lebih lengkap bila ada buku-buku lain, yang bisa menjelaskan siapa Hok Gie itu dan apa pikirannya. Apalagi dalam buku hariannya, Hok Gie sering menceritakan proses terciptanya sebuah artikel.
Dengan membaca karangan Hok Gie, sekaligus bisa melihat fenomena dunia pers di awal pertumbuhan Orde Baru. Kebebasan pers waktu itu relatif masih baik. Pertumbuhan ekonomi dipacu dengan gariah. Dunia internasional baru melewati fase perkembangan kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga dipimpin tokoh-tokoh kharismatik macam Sukarno, Gamal Nasser, Mao Zedong dan lainnya. Tulisan-tulisan Hok Gie mencerminkan keadaan negara, saat transisi kepemimpinan, sebuah negara sedang berkembang. Kemerdekaan politik ternyata tidak menjawab kebutuhan masyarakat akan negara yang adil dan makmur. Lantas rakyat menentukan kehendak lain yakni rencana pembangunan ekonomi secara cermat.
Pendek kata, berbicara mengenai Hok Gie maupun tulisan-tulisannya, tidak akan pernah habis-habisnya. Idenya kaya sekali. Di balik ide itupun masih ada ide-ide yang lain. Kini duapuluh tahun setelah kematian pendekar muda itu, kenapa tidak mencoba menularkan keistimewaannya melalui penerbitan buku-bukunya?
***
Menghadap Bung Karno dengan jas pinjaman, “Aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin negara karena begitu immoral”