Thursday, April 17, 2025


"Andreas Harsono is not well known to the public but he is very well known among a small network of human rights activists, dissident scholars, Indonesian journalists, and foreign correspondents. He is often the fixer behind their stories – unacknowledged, unassuming, unselfish. Now he has shown just what a superb chronicler he is in his own right."

Clinton Fernandes of University of New South Wales University
on Andreas Harsono's book Race, Islam and Power

Andreas Harsono meliput dampak dari tsunami 2014 di Aceh. Ombak raksasa tersebut membunuh lebih 100,000 orang dan mengakhiri perang selama tiga dekade antara Gerakan Acheh Merdeka dan Indonesia lewat perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2015. ©Hotli Simanjuntak

Media dan Jurnalisme

Saya pernah bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) serta majalah Pantau (Jakarta) soal media dan jurnalisme. Saya suka menulis soal jurnalisme, mulai dari sejarah sebuah majalah mahasiswa di Salatiga sampai kebebasan pers di Asia Tenggara. Bill Kovach, guru jurnalisme, mendidik saya buat menjadi wartawan yang lebih baik ketika belajar di Universitas Harvard. Ini membuat saya suka buat berbagi pengalaman dan ilmu, dari etika sampai liputan.


Saya menerbitkan dua antologi –Jurnalisme Sastrawi (2005) bersama Budi Setiyono dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2011)—serta beberapa laporan termasuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (2013) serta "I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia (2021). Pada 2019, buku Race, Islam and Power terbit.

Sejak 2008, saya bekerja sebagai peneliti buat Human Rights Watch. Ia membuat saya banyak menulis soal diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia: minoritas dalam Islam termasuk Ahmadiyah dan Syiah; minoritas non-Islam termasuk Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu; minoritas agama kecil maupun agama baru macam Millah Abraham. 

Minoritas gender --termasuk perempuan serta LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer)-- juga sering saya bahas. Secara geografis saya juga banyak menulis minoritas etnik macam Aceh, Kalimantan, Jawa, Maluku, Timor serta Papua.

Perjalanan

Saya pernah jalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, lebih dari 80 lokasi, selama tiga tahun. Saya menulis tempat menarik. Saya juga sering menulis perjalanan di negeri jauh, dari Eropa sampai Amerika, praktis berbagai kota besar di Asia Tenggara. 

Cerita

Pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik. Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge, dekat Boston. Kedua anak saya lahir di Jakarta. Isteri saya, Sapariah Saturi, kelahiran Pontianak, pindah ke Jakarta buat bekerja. Mungkin kawan saya di luar Indonesia, paling banyak di New York sehingga saya sering berkunjung ke New York maupun kota-kota sekitarnya.



Wednesday, April 16, 2025

"Guru juga bisa stress dengan wajib jilbab"

Pernyataan dibacakan dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza ul Haq di Jakarta. Pertemuan ini dimintakan oleh Forum Berbagi, sebuah pelayanan online buat para korban dan penyintas perundungan jilbab. 



Nama saya, Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, menulis laporan, “I Wanted to Run Away”: Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia terbitan Maret 2021. 

Sejak April 2021, saya ikut bantu Forum Berbagi mendengar keluhan para ibu dan ayah, juga anak-anak mereka, yang mendapat diskriminasi lewat aturan wajib jilbab. 

Idenya datang dari seorang psikolog Bandung dengan puluhan pasien perempuan karena perundungan dan pemaksaan jilbab.

Di Forum Berbagi, kasusnya bermacam-macam. Banyak murid pindah sekolah negeri. Ada yang pindah ke sekolah swasta. Sedihnya, di sekolah negeri kedua ada yang dapat perundungan juga. Ada yang home schooling, frustasi dengan sekolah negeri. Ada guru yang dipindah, ada kenaikan pangkat ditunda atau mengundurkan diri. Guru juga bisa stress dengan wajib jilbab. Ada ibu dilarang masuk sekolah, ambil rapor, karena tak pakai jilbab. Ada beberapa keluarga terancam kehilangan rumah.  Ada yang pindah daerah. 

Banyak yang merasa cemas. Mereka cemas bila busananya dianggap kurang. Forum Berbagi menganjurkan berobat dengan bantuan psikolog, kadang juga psikiater. Mereka mengalami anxiety. Mereka mengalami trauma. Mereka mengalami body dismorphic disorder. Beberapa korban, perempuan dewasa, yang alami perundungan sejak kecil, masuk rumah sakit jiwa, antara 2 sampai 3 minggu.

Saya sering dapat telepon sesudah tengah malam guna mendengar kekecewaan mereka. Kecewa pada guru. Kecewa pada keluarga. Kecewa pada negara. 

Saya sendiri pada September 2022, minta bantuan psikolog karena sulit tidur. Konsultasi selama dua tahun. Kini kami menjadi lebih kuat secara kejiwaan. 

Saya usul Kementerian pendidikan bergerak lebih sigap buat mengatasi perundungan dan pemaksaan jilbab. Berikan pelatihan kepada para guru. Berikan sanksi kepada pelanggar. Review semua aturan yang memberi peluang perundungan jilbab. 

Di Indonesia, ada sekitar 150,000 sekolah negeri dengan sekitar 53 juta murid. Saya tak bisa bayangkan berapa banyak siswi yang trauma karena aturan wajib jilbab. Mereka seharusnya juga bisa mendapat bantuan dari psikolog, psikiater, minimal hotline service semacam Forum Berbagi. 

Terima kasih.