Pada 16 Agustus 1945, sehari setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang beranggotakan 21 orang selesai berdebat soal dasar negara Indonesia di Jakarta. Perdebatannya, apakah Indonesia, yang bakal menjadi negara baru, sebaiknya menjadi negara Islam atau negara sekuler.
Kesepakatannya, Islam tak menjadi agama negara, tapi dapat diartikan bahwa negara Indonesia punya tanggung jawab khusus untuk menegakkan Syariah Islam. Rancangan kalimat pertamanya berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mereka menyebut kalimat ini, bersama dengan empat sila lainnya, sebagai “Piagam Jakarta.”
Perdebatan Awal tentang Agama dan Negara
Rapat tersebut diadakan di rumah seorang laksamana Jepang yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada pagi hari tanggal 17 Agustus. Mereka menugaskan Soekarno dan Mohammad Hatta, dua anggota PPKI terkemuka, untuk menandatangani proklamasi "atas nama bangsa Indonesia." Pertemuan itu berakhir pada pukul 5 pagi.
Lima jam kemudian, Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi, yang menyatakan kemerdekaan Indonesia di halaman rumah Soekarno – beberapa blok dari kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Proklamasi itu tak menentang Pasukan Sekutu, yang merencanakan kembalinya status quo di Hindia Belanda, tapi juga tak mengupayakan penyerahan kedaulatan dari Jepang. Bagaimanapun militer Jepang masih kuat, menduduki seluruh Indonesia, serta terikat dengan perjanjian kalah perang dengan Sekutu. Namun proklamasi tersebut membangkitkan energi dan emosi jutaan orang di wilayah bekas Hindia Belanda untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan, memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan kelelahan akibat kehidupan yang serba susah di bawah pendudukan Jepang sejak 1942.
Para pemuda, dengan telepon dan telegram, segera menyebarkan proklamasi tersebut. Radio dan surat kabar tak bisa memberitakan proklamasi karena berada di bawah sensor militer Jepang. Para pemuda mengirim informasi ke Bandung dan Yogyakarta. Mereka bergerak di sepanjang jalanan Jakarta, memasang spanduk dan mencoret-coret tembok dalam bahasa Inggris.
“We fight for freedom, sovereignty and independence.”
“Go to hell, imperialism! Merdeka!”
“We are free, Indonesia is free.”
“Indonesia will never again be the lifeblood of any nation.”
Tak lama kemudian kata “Merdeka” dipergunakan secara luas di berbagai kota Pulau Jawa, disusul Sumatra, dan seterusnya.
Di Jakarta, malam hari pada 17 Agustus, bertempat di Hotel des Indes yang elegan, beberapa utusan asal Indonesia timur, meliputi wilayah yang luas dari Kalimantan hingga Bali, dan Kepulauan Maluku, membahas draft konstitusi baru dan merasa terganggu dengan tujuh kata tersebut. Andi Pangerang Petta Rani, seorang bangsawan kesultanan Bone di selatan Sulawesi, mengatakan negara baru itu harus dipisahkan dari Islam. Samuel Ratu Langie, seorang tokoh Minahasa dari utara Sulawesi, setuju, “Indonesia Timur akan bergerak.”
Ratu Langie kemudian bersama Johannes Latuharhary dari Ambon, I.G. Ketoet Poedja asal Bali, Andi Pangerang Petta Rani, serta dua politisi asal Kalimantan, mendatangi sebuah asrama pemuda dan minta mereka, yang sebagian besar mahasiswa kedokteran, untuk menemui Mohammad Hatta dan menyampaikan bahwa jika rancangan konstitusi ini tak diubah, “Indonesia bagian Timur tidak akan bergabung dengan Indonesia.” Mereka menuntut negara Indonesia memisahkan urusan agama dan negara.
Kelompok tersebut akhirnya meminta tiga mahasiswa kedokteran – Piet Mamahit, Moeljo Hastrodipoero dan Tan Tjeng Bok – untuk menemui Hatta.
Hatta menemui mereka malam itu dan menganggap pesan tersebut penting untuk disampaikan kepada Soekarno. Para mahasiswa mengatakan bahwa ketentuan Syariat Islam akan membuat berbagai minoritas agama “... hidup sebagai warga negara kelas dua di Indonesia.”
Secara terpisah, Mohammad Hasan dari Aceh, anggota PPKI lainnya, juga mengatakan kepada Soekarno bahwa Samuel Ratu Langie telah menyampaikan bahwa Indonesia Timur takkan mau bergabung dengan Indonesia kecuali rancangan itu diubah.
Keesokan harinya, pada 18 Agustus, Mohammad Hatta, yang juga tidak setuju dengan negara berasaskan agama, bertemu dengan empat politisi –Mohammad Hasan dari Aceh, Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim, dan Kasman Singodimedjo, yang mewakili organisasi-organisasi keislaman di Pulau Jawa.
Hatta, seorang Muslim taat, percaya bahwa Islam dapat membantu Indonesia memperjuangkan keadilan sosial, namun juga punya keyakinan yang kuat pada pemisahan agama dan negara, yang bakal menghindar dari masalah-masalah kemasyarakatan yang tak ada selesainya. Reputasi ini membantu Hatta menyakinkan keempat politisi tersebut. Hasan menekankan pentingnya persatuan nasional. Sangat penting untuk tidak mendorong minoritas Kristen – “Batak, Minahasa, dan Ambon” – kembali ke pelukan Belanda melalui berbagai ketentuan yang diskriminatif. Mereka sepakat untuk menghapus frasa Syariat.
Sejarahnya, kerajaan Belanda mengambil alih pemerintahan di kepulauan ini sejak tahun 1800 setelah mereka lakukan nasionalisasi terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie – sebuah perusahaan raksasa di Amsterdam yang memonopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Hindia Belanda. Kerajaan Belanda, maupun VOC, juga berusaha mempertemukan berbagai kekuasaan para bangsawan dan kelompok agama, terutama Muslim dan Kristen, di Hindia Belanda.
Soekarno mengumumkan pencabutan Piagam Jakarta Islam dalam sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus. Badan ini adalah organisasi yang menciptakan panitia dengan 21 anggota tersebut. Sidang paripurna menyetujui lima prinsip, namun masih mencakup frasa mengenai “Ketuhanan yang Maha Esa.” Maka, Pancasila disetujui dan mencakup prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Wahid Hasjim, anggota PPKI sekaligus pemimpin Nahdlatul Ulama, organisasi Islam di Indonesia, mengusulkan agar Kementerian Agama dibentuk sebagai pengganti Piagam Jakarta. Ia mengatakan bahwa Kementerian Agama akan menjadi “jembatan” yang menghubungkan negara dan Islam. Latuharhary menolak gagasan tersebut, tapi Soekarno dan Hatta menerimanya.
Definisi Berbahaya
Pada Januari 1946, Kementerian Agama didirikan dalam pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ini menandai dimulainya sebuah lembaga negara yang dirancang untuk melayani “umat Islam” – dengan sekolah dan universitas Islam, pengelolaan haji, dan urusan keislaman lainnya – namun juga memfasilitasi diskriminasi terhadap berbagai minoritas agama dan kepercayaan di Indonesia.
Namun, republik baru ini prioritasnya harus berhadapan dengan Sekutu pimpinan Inggris, yang mendaratkan pasukan di Indonesia pada Oktober 1945, tapi juga termasuk Netherland Indies Civil Administration buatan Belanda, yang terpaksa merundingkan peralihan kekuasaan dengan Republik Indonesia, antara 1947 dan 1949. Desakan Amerika Serikat serta dukungan dari Indonesia timur terhadap Republik Indonesia membuat Kerajaan Belanda kalah dalam diplomasi. Sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, pekerjaan awal Kementerian Agama adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan agama.
Pada tahun 1952, Kementerian Agama, di bawah Wahid Hasjim, menerbitkan sebuah definisi untuk membedakan antara “kepercayaan” dan “agama”. Dalam kosakata Indonesia, “kepercayaan” secara resmi digunakan untuk mencakup beberapa agama kecil dan gerakan spiritual. Kementerian menetapkan bahwa “kepercayaan” adalah “ide-ide dogmatis, yang terjalin dengan adat istiadat yang hidup dalam berbagai suku bangsa, terutama di antara mereka yang masih terbelakang, yang kepercayaan utamanya adalah adat istiadat nenek moyang mereka selama berabad-abad.”
Sementara “agama” didefinisikan menurut pemahaman Yahudi, Kristen, dan Islam. Jika sebuah komunitas ingin diakui sebagai “agama,” mereka harus mematuhi “kepercayaan monoteistik yang diakui secara internasional; diajarkan oleh seorang nabi melalui kitab suci.” Ini mendiskriminasi agama-agama non-monoteistik termasuk Hindu, Buddha, Konghucu, Zoroastrianisme serta ratusan agama lokal dan gerakan spiritual di Indonesia.
Di Pulau Bali, definisi tersebut menimbulkan kebingungan, bahkan pertikaian politik, di antara banyak orang Bali yang kepercayaan tradisionalnya memuja leluhur mereka, dewa-dewi setempat, dan banyak dewa dan dewi lainnya, termasuk yang berasal dari agama Hindu di India seperti Wisnu, Brahma, dan Siwa. Antropolog Prancis Michel Picard dalam esainya tahun 2021 menyatakan bahwa orang Bali pada mulanya "tidak memiliki nama generik untuk menunjukkan apa yang kelak menjadi agama mereka." Mereka hanya menggunakan istilah "agama Bali." Konstruksi agama Bali dibentuk oleh agama Islam dan Kristen "untuk menangkal tekanan penyebaran agama Islam dan Kristen," tulis Picard. Pada tahun 1952, mereka mengganti nama agama mereka menjadi "agama Hindu Bali", yang merujuk pada agama Hindu, dan mengadopsi nama "Sang Hyang Widhi" untuk menunjukkan satu-satunya Tuhan dari agama yang namanya diganti tersebut.
Di Kalimantan, suku Dayak mengambil langkah seperti orang Bali, dengan mengubah orientasi kepercayaan Kaharingan mereka ke agama Hindu agar tidak dikaitkan dengan agama Kristen atau Islam.
"Hindu telah membantu kami," kata seorang tokoh Dayak.
“Mereka jadi payung bagi kami.”
Pada Juni 1964, di Kuningan, Jawa Barat, pemerintah setempat mengatakan pernikahan anggota Sunda Wiwitan, agama lokal di sebagian orang Sunda, sebagai perbuatan melanggar hukum. Langkah tersebut mendorong 5.000 penganut Sunda Wiwitan untuk beralih menganut agama Katolik. Mereka percaya bahwa bergabung dengan Gereja Katolik Roma akan menghindarkan mereka dari penganiayaan atas nama agama.
Seiring dengan semakin kuatnya Kementerian Agama, berbagai organisasi keagamaan bersaing untuk menguasainya. “Muslim tradisional” seperti Nahdlatul Ulama, dan “Muslim modernis” seperti Muhammadiyah, bersaing untuk mengisi berbagai posisi di kementerian itu dari jabatan menteri sampai posisi-posisi lain yang lebih rendah, dan di dalam berbagai lembaga pendidikan Islam.
Masalah yang dihadapi kelompok minoritas agama menjadi semakin parah pada Januari 1965 ketika Presiden Soekarno menerbitkan sebuah peraturan yang melarang orang untuk memusuhi agama atau melakukan penodaan agama, yang didefinisikan sebagai “penyalahgunaan” dan “penodaan” terhadap suatu agama. Soekarno menetapkan bahwa pemerintah akan menyalurkan “badan/aliran kebatinan… ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.” Peraturan tersebut, yang memberikan persetujuan resmi hanya kepada agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, segera dimasukkan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pasal 156(a), dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.
Peraturan ini menghadirkan dampak amat buruk hingga saat ini. Pasal penodaan agama telah digunakan untuk menyasar kelompok minoritas agama, termasuk Kristen, Ahmadiyah, Muslim Syiah, dan mudah dijadikan senjata politik. Ratusan orang telah ditahan dan diadili berdasarkan pasal ini sejak tahun 1968.
Agama di Bawah Pemerintahan Soeharto
Pada Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, menggantikan Presiden Soekarno, memerintah dengan dukungan militer, menindas para penentang, merampas tanah-tanah subur, dan mengabaikan hak-hak rakyat. Ini adalah periode pembunuhan massal dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan militer Indonesia, organisasi paramiliter, dan militan Muslim, plus organisasi-organisasi Katolik. Mereka membunuh minimal satu juta orang, yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, maupun organisasi-organisasi onderbouw-nya, etnis Tionghoa, dan anggota serikat buruh, guru, aktivis, serta seniman.
Soeharto menghargai kebebasan beragama. Buku David Jenkins yang berjudul Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, menggali masa-masa awal kehidupan Soeharto. Apa yang terungkap adalah kisah seorang prajurit Jawa, yang bukan hanya seorang Muslim, tapi juga seorang penganut agama Kejawen. Soeharto juga membatasi kekuatan Islam politik. Pada tahun 1978, ia mendirikan sebuah direktorat dalam Kementerian Pendidikan untuk mengurus berbagai aliran kepercayaan, termasuk Kejawen, dengan berpidato di hadapan parlemen, “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan.”
Soeharto tak mendesak Kementerian Agama untuk mengurus agama lokal seperti Kejawen, Sunda Wiwitan dan Kaharingan, namun menempatkan mandat di bawah Kementerian Pendidikan, yang lantas berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1982, Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, seorang Muslim taat asal Aceh, mengeluarkan peraturan tentang seragam sekolah negeri yang melarang jilbab – penutup kepala, leher, dan dada yang dikenakan oleh banyak perempuan dan anak perempuan Muslim dalam menjalankan iman mereka. Ia mengeluarkan larangan tersebut di tengah meningkatnya pengaruh dari Timur Tengah, pertama-tama datang dari Iran, yang mempromosikan peraturan wajib jilbab bagi perempuan sebagai simbol keislaman.
Pada tahun 1991, Presiden Soeharto mulai merasa kehilangan dukungan militer, lantas mengubah pendekatannya terhadap kalangan Islam. Ia naik haji ke Mekkah, menunjukkan identitas keislaman, dan mendukung Ikatan Cendekiawan Muslim di Indonesia, tempat banyak aktivis Islam menyalurkan aspirasi politik. Ia juga memberi ruang lebih besar kepada Majelis Ulama Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan pedoman baru tentang seragam sekolah yang memperbolehkan "pakaian khas" –sekolah negeri seyogyanya mengizinkan guru dan siswa perempuan mengenakan jilbab. Ini adalah ruang yang melebar bagi Islam politik di Indonesia. Semuanya, guna melindungi kekuasaan Soeharto plus kekayaannya yang terkumpul lewat keluarga dan konco-konconya. Pada tahun 1998, setelah 33 tahun berkuasa, Soeharto terpaksa mundur dalam protes besar-besaran saat krisis ekonomi Asia.
Diskriminasi dan Kekerasan Pasca-Soeharto
Sesudah kemunduran Soeharto, Majelis Ulama Indonesia, menjadi lebih kuat serta makin tidak toleran. MUI menggunakan pengaruhnya untuk formalisasi Syariat Islam, sementara golongan militan Islam tak segan menggunakan kekerasan untuk mendorong agenda mereka, termasuk lakukan pengeboman dan penyerangan terhadap komunitas agama minoritas di Jawa serta apa yang dianggapnya musuh di Bali.
Pada tahun 2004, MUI mendukung Susilo Bambang Yudhoyono, seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat, untuk memenangkan pemilihan presiden, mengalahkan calon petahana, Megawati Soekarnoputri. Balasannya, Yudhoyono berjanji untuk mencari masukan MUI dalam pembuatan berbagai kebijakan pemerintah. Yudhoyono menyetujui tuntutan Syariat Islam pada lebih dari dua lusin provinsi berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Aceh, dengan dasar otonomi daerah. Pemerintahannya memperkuat Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) dengan memindahkannya dari Kementerian Agama ke Kejaksaan Agung. Ia mendorong terjadinya penuntutan dan pemenjaraan terhadap 125 orang dalam satu dekade kekuasaan Yudhoyono – peningkatan tajam dari hanya 8 kasus dalam tiga dekade selama pemerintahan Soeharto.
Pemerintahan Yudhoyono juga mendorong tumbuh suburnya berbagai peraturan daerah yang bernuansa Syariah, mulai dari peraturan wajib jilbab hingga aturan diskriminatif terhadap minoritas agama termasuk Kristen dan minoritas non-Sunni seperti Ahmadiyah dan Syiah. Peraturan wajib jilbab pertama dikeluarkan di Sumatera Barat pada tahun 2001. Aceh menyusul pada tahun 2002. Pada tahun 2023, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Indonesia memiliki 120 peraturan wajib jilbab. Aturan wajib jilbab ini memicu perundungan secara nasional dan menyebabkan banyak perempuan dan siswi mengalami tekanan psikologis. Anak perempuan yang diangga langgar aturan seragam dikeluarkan dari sekolah negeri atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara pegawai negeri sipil kehilangan pekerjaan atau mengundurkan diri untuk menghindari tekanan tiada henti untuk memakai jilbab.
Pada tahun 2006, pemerintahan Yudhoyono menerbitkan apa yang disebut aturan “kerukunan umat beragama.” Intinya, ia membuat pemerintah daerah untuk memberikan izin pendirian rumah ibadah. Peraturan tersebut menyatakan bahwa pembangunan harus didasarkan pada “kebutuhan nyata” dan “komposisi penduduk” di daerah tersebut. Antara lain, izin tersebut memerlukan rekomendasi dari Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama setempat.
Masalahnya sebagian besar ada pada FKUB. Gubernur, bupati, dan wali kota memutuskan siapa yang menjadi anggota FKUB. Menurut peraturan 2006, komposisi anggota FKUB –17 orang buat kabupaten atau kota serta 21 orang buat provinsi– semestinya "proporsional" dengan persentase keagamaan di setiap daerah, sehingga menciptakan forum yang sebagian besar didominasi oleh tokoh Muslim.
Jakarta, misalnya, berpenduduk 85 persen Muslim, yang berarti bahwa 85 persen dari 21 anggota haruslah Muslim. Sebagian besar kalangan minoritas di Indonesia, yang dominan Muslim Sunni, mengalami kesulitan untuk mendirikan atau memperbaiki rumah ibadah mereka, termasuk orang Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, serta Ahmadiyah dan Syiah, serta dalam jumlah lebih kecil, juga beberapa anggota Muslim Muhammadiyah dan Muslim Hambali ditutup masjid-masjidnya.
Aturan itu mengizinkan orang yang intoleran untuk menggunakan intimidasi dan kekerasan guna menutup apa yang mereka sebut sebagai "rumah ibadah tanpa izin." Tidak jelas berapa banyak gereja yang dipaksa ditutup karena Kementerian Agama tak menerbitkan data sejak tahun 2006. Menurut data dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, antara 1.500 hingga 2.200 gereja ditutup dalam hampir dua dekade. Istilah “kerukunan umat beragama” pada dasarnya adalah pemberian hak veto kepada mayoritas terhadap minoritas. Ia sejatinya bertentangan dengan kebebasan beragama dimana setiap warga negara punya hak yang setara tanpa pertimbangan mayoritas atau minoritas.
Pada tahun 2008, pemerintahan Yudhoyono mengeluarkan sebuah aturan anti-Ahmadiyah menyusul fatwa anti-Ahmadiyah tahun 2005 dari MUI, yang menyatakan bahwa organisasi keislaman tersebut adalah “sesat” dan dilarang menyebarkan ajaran mereka soal Islam. Fatwa pertama MUI soal Ahmadiyah sebenarnya dikeluarkan pada tahun 1980 tetapi pemerintah Soeharto beranggapan, secara tepat, bahwa fatwa tersebut hanya untuk penggunaan internal di kalangan umat Islam. Pemerintah Soeharto tidak menganggap ini sebagai urusan negara. Sejak aturan 2008 keluar, berbagai militan Sunni menggunakannya untuk membenarkan serangan terhadap lebih dari 30 masjid Ahmadiyah di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Salah satu serangan mematikan meletus di Cikeusik, Pandeglang, pada Februari 2011, ketika lebih dari 1.500 militan Sunni menyerang sebuah rumah seorang warga Ahmadiyah, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya.
Berbagai aturan buatan Yudhoyono membuat banyak cendekiawan di Indonesia khawatir. Abdurrahman Wahid, anak Wahid Hasjim, juga seorang ulama Nahdlatul Ulama, serta mantan presiden, secara terbuka membela kelompok-kelompok agama minoritas, termasuk Ahmadiyah, dan menyalahkan pemerintahan Yudhoyono atas kekerasan tersebut. Pada tahun 2019, Wahid dan tiga ulama Muslim lainnya, ditambah tujuh organisasi non-pemerintah, mengajukan uji materiil atas pasal penodaan agama di Mahkamah Konstitusi. Mereka menginginkan pasal penodaan agama dicabut. Mereka berpendapat pasal penodaan agama lebih merupakan senjata politik daripada alat penegakan hukum dan telah digunakan untuk memicu amarah di kalangan umat Islam. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak uji materiil tersebut, dalam keputusan dengan suara 8-1 pada 19 April 2010, yang menyatakan bahwa pasal penodaan agama adalah pembatasan yang sah terhadap kebebasan beragama karena memungkinkan pemerintah “menjaga ketertiban umum."
Human Rights Watch pada tahun 2013 menerbitkan sebuah laporan berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia, yang mendokumentasikan kegagalan pemerintah Indonesia dalam menghadapi berbagai golongan militan Islam, yang melakukan pelecehan dan serangan terhadap rumah ibadah dan anggota kelompok minoritas agama.
Empat lembaga pemerintah telah berperan dalam pelanggaran hak dan kebebasan kelompok minoritas agama di negara ini – Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Majelis Ulama Indonesia.
Peningkatan Jumlah Aturan Diskriminatif di Masa Pemerintahan Jokowi
Kemenangan Joko “Jokowi” Widodo dalam pemilihan presiden pada tahun 2014 membawa harapan bagi banyak pembela hak asasi manusia dan pemuka agama progresif bahwa ia akan berupaya membela hak minoritas agama dan membatalkan berbagai tindakan regresif para pendahulunya. Jokowi tidak melakukan itu. Demonstrasi terbesar untuk mendukung pasal penodaan agama terjadi di bawah pemerintahannya saat sekutunya, Basuki Tjahaja Purnama, seorang Kristen yang menggantikannya sebagai Gubernur Jakarta, dituduh melakukan “penodaan” Islam. Kampanye kotor bermotif politik terhadap Basuki memicu lebih dari 500.000 orang menghadiri demonstrasi pada 2 Desember 2017.
Ma'ruf Amin, Ketua MUI, mengeluarkan sebuah pernyataan menentang Basuki, dengan menyatakan bahwa seorang non-Muslim seperti Basuki tidak semestinya mengomentari penafsiran Al-Quran. Pernyataan ini memberikan tekanan pada pemerintah Jokowi untuk mengakomodasi Muslim garis keras dan memenjarakan Basuki, yang mengubah peta politik di Indonesia dan semakin mendorongnya ke arah intoleransi agama.
Belakangan Jokowi merekrut beberapa orang yang terlibat dalam aksi demonstrasi untuk bergabung dengannya dalam masa jabatannya yang kedua, termasuk menunjuk Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden. Jokowi juga menunjuk Prabowo Subianto Djojohadikusumo, seorang jenderal Angkatan Darat yang diberhentikan karena terlibat dalam penculikan aktivis pada tahun 1990-an, untuk menjadi menteri pertahanan. Prabowo turut menyokong unjuk rasa tahun 2017 untuk mendukung pasal penodaan agama. Pada tahun 2024, Prabowo memenangkan pemilihan presiden untuk menggantikan Jokowi. Calon wakil presidennya adalah putra sulung Jokowi, Gibran Raka.
Peraturan wajib jilbab juga lebih banyak mengorbankan perempuan dan anak perempuan. Di ribuan sekolah negeri, anak perempuan non-Muslim juga dipaksa mengenakan jilbab. Pada Januari 2021, Elianu Hia membagikan sebuah video di Facebook yang merekam pertemuannya dengan guru dari putrinya di Padang, Sumatera Barat, saat guru tersebut mendesaknya agar membujuk putrinya, yang beragama Kristen, mengenakan jilbab. Video tersebut beredar luas, yang mengakibatkan Kementerian Pendidikan minta sekolah tersebut untuk mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap anak perempuan Kristen. Namun, boikot sosial di Padang terhadap Elianu Hia menyebabkan dia kehilangan usaha kecilnya.
Melanjutkan kebijakan luar negeri Yudhoyono, Jokowi mengarahkan para diplomat Indonesia untuk menampilkan Indonesia di mata internasional sebagai negara Muslim yang “moderat”, sebagai alternatif bagi Timur Tengah yang “lalim” dan “kacau”. Namun kenyataannya sangat berbeda. Jumlah peraturan yang diskriminatif terus bertambah selama pemerintahan Jokowi.
Pada Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat, dengan dukungan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Amin, mengesahkan KUHP baru. Bab tentang penodaan agama mengalami penambahan dari satu pasal menjadi enam pasal, meskipun dengan masa kurungan penjara lebih pendek yang menetapkan hukuman maksimal tiga tahun untuk penodaan agama, bukan lima tahun. KUHP juga mencakup sebuah pasal yang bisa dipakai buat pidanakan tindakan orang tidak beragama atau pindah agama. Siapa pun yang berupaya membujuk seseorang untuk menjadi penganut agama atau kepercayaan tertentu dapat dituntut dan dipenjara. KUHP baru tersebut merupakan kemunduran serius dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. KUHP ini menentang arus besar di dunia yang mengurangi penegakan hukum penodaan agama atau bahkan sama sekali menghapusnya.
KUHP baru tersebut juga menetapkan bahwa pemerintah akan mengakui "hukum yang hidup dalam masyarakat" di Indonesia, yang tampaknya akan ditafsirkan untuk memperluas legalitas formal ke lebih dari 700 perda bernuansa Syariah di seluruh negeri. Banyak dari peraturan ini mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan, seperti menetapkan jam malam bagi perempuan, sunat perempuan, dan peraturan wajib jilbab. Banyak dari peraturan ini juga mendiskriminasi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Jalan Ke Depan
Pada Februari 2023, Nahdlatul Ulama membuat sebuah keputusan maju. Mustofa Bisri, seorang ulama senior Nahdlatul Ulama, di akhir sebuah konferensi di Sidoarjo, Jawa Timur, membacakan kesimpulan mereka: “Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia, atau negara khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.”
Nahdlatul Ulama memutuskan untuk mendukung piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dokumen pendirian PBB dan instrumen hukum internasional, dengan mengatakan bahwa PBB melayani semua orang secara setara, “tidak hanya umat Islam.” "
Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi “dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis," kata Mustofa Bisri.
Ahmad Suaedy, juga seorang tokoh Nahdlatul Ulama dan asisten Abdurrahman Wahid, menulis di The Jakarta Post, "... in Indonesia, whose constitution is not based on a particular religious identity but on the state ideology Pancasila and the state motto Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity), yet the Muslim majority is still often involved in discrimination by forcing the state to support them." Keputusan organisasi keislaman terbesar di Indonesia untuk mengembangkan pendekatan baru dengan mempertimbangkan Piagam PBB ini seharusnya membawa angin segar bagi kebebasan beragama di Indonesia.
Kini, apakah kaum minoritas agama di Indonesia akan menikmati hak yang setara, termasuk untuk menjalankan keyakinan agama mereka, akan bergantung pada apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia dan Nahdlatul Ulama untuk membalikkan delapan dekade diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka. Pemerintah Indonesia semestinya memulai dengan mencabut ratusan peraturan diskriminatif dan mengambil berbagai langkah untuk mempertanggungjawabkan kekerasan dan pelanggaran yang dialami oleh jutaan orang Indonesia hanya karena mereka menjalankan keyakinan mereka. Mereka juga harus mendefinisikan ulang apa yang dianggap Indonesia sebagai "agama," dengan menggunakan standar PBB, bukan definisi sempit buatan tahun 1952.
Andreas Harsono bekerja untuk Human Rights Watch di Jakarta. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta pada tahun 1994, dan pada tahun 2003 ia turut mendirikan Yayasan Pantau, sebuah organisasi pelatihan jurnalis di Jakarta. Ia menyampaikan makalah ini pada International Interfaith Conference on Peace and Inclusive Communities yang diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada tanggal 21-23 November 2023.
Diterbitkan dalam bahasa Inggris: Sabine Hübner, Andar Parlindungan, Jochen Motte (eds.), Peace among the People. Interreligious Action for Peace and Inclusive communities. Dokumentasi konferensi Inter Religious Action for Peace and Inclusive communities di Jakarta, Indonesia, November 2023 (for human rights 24), Solingen: foedus-verlag 2024. Naskah ini diterjemahkan oleh Dhika Marcendy ke bahasa Indonesia.
Referensi
Belford, Aubrey: “Borneo Tribe Practices Its Own Kind of Hinduism,” The New York Times, September 25, 2011.
Engelen, O.E. / Lubis, Aboe Bakar: Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997.
Harsono, Andreas: “Forced from Home for Protesting Indonesia’s Mandatory Hijab Rules,” Human Rights Watch, March 17, 2023.
Harsono, Andreas: Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia, Melbourne: Monash University Publication, 2019.
Hoesterey, Jim: “Saints, Scholars and Diplomats: Religious Statecraft and the Problem of ‘Moderate Islam’ in Indonesia,” in: Religious Pluralism in Indonesia: Threats and Opportunities for Democracy, Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 2021 (editor Chiara Formichi).
Human Rights Watch: “I Wanted to Run Away”. Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia, March 18, 2021.
Human Rights Watch: “Indonesia: Court Ruling a Setback for Religious Freedom,” April 19, 2010.
Iman C. Sukmana, Menuju Gereja Yang Semakin Pribumi: Analisis Konflik Internal Dalam Gereja Eks-ADS, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2011.
Jenkins, David: Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, Singapore: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2021.
Media Jatim, “Bacakan Rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Gus Mus: NU Tolak Negara Khilafah dan Dukung Piagam PBB,” February 7, 2023.
Nakamura, Mitsuo: “Nahdlatul Ulama in Indonesia, a New Era with the ‘New Gus Dur’, in: Islam Nusantara, Volume 4 No. 3, Jakarta 2023.
Noer, Deliar: Administration of Islam in Indonesia, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1978.
Picard, Michel: “Agama Hindu Under Pressure from Muslim and Christian Proselytizing,” in: Religious Pluralism in Indonesia: Threats and Opportunities for Democracy, Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 2021 (editor Chiara Formichi).
Suaedy, Ahmad: “A century of NU: Aswaja, 'fiqh' of civilization, a new platform of Islam,” in: The Jakarta Post, February 6, 2023.