Oleh Norman Harsono di Denpasar dan Andreas Harsono di Jember
Susanna Harsono, seorang perempuan dengan skizofrenia paranoid, meninggal dunia sesudah mengalami kebingungan luar biasa, yang mempengaruhi keinginan makan dan minum, lantas masuk rumah sakit, namun tak tertolong serta menghembuskan nafas terakhir pada Selasa, 5 Oktober, di RSUD Soebandi Jember, Jawa Timur. Ia menjelang ulang tahunnya ke-55.
Susanna menderita skizofrenia paranoia sejak tahun 1990, saat berusia 23 tahun. Dia sering menjalani terapi kejiwaan di beberapa rumah sakit kesehatan mental termasuk Menur (Surabaya), Lawang (Malang), serta Grogol (Jakarta). Dia mendengar "suara-suara" mendengung di kepalanya, dan kadang-kadang, bila tak minum obat, mengomel jika lapar atau mengantuk.
Namun dia tidak menyembunyikan gangguan jiwanya. Dia selalu memperkenalkan diri sebagai orang dengan skizofrenia. Dia rajin berobat, setiap ada masalah, selalu menemui dokter, sehingga bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dia senang merajut, main piano dan menyanyi.
“Ce Susan dikenal di semua rumah sakit di Jember. Orangnya suka cerita, sering sekali datang ke rumah sakit,” kata Rochmah Hidayati dari Homecare Jember Raya.
Susanna kelahiran Jember November 1969 dari pasangan Ong Seng Kiat dan Metri W. Harsono. Dia lahir kembar bersama Rebeka Harsono, terpaut hanya setengah jam, yang juga dapat diagnosa gangguan jiwa.
Mereka berdua sekolah dasar di SD dan SMP Aletheia Jember, lantas SMA Katolik Santo Paulus Jember. Sesudah lulus, Susanna meneruskan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, namun merasa tak cocok setelah satu semester. Pada 1989, dia pindah ke Asian Institute for Liturgy and Music di Manila, belajar selama dua tahun. Namun dia drop out. Dia balik ke Indonesia, sempat kuliah setahun di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, namun juga gagal, sampai dia terdiagnosa skizofrenia.
Rebeka kuliah di Universitas Gadjah Mada, antara 1988 dan 1992. Ini juga yang mendorong Metri pindah ke Yogyakarta, menemani Susanna dan Rebeka, plus dua adik mereka.
Setiap tahun, terutama November dan Desember, Susanna tinggal di Jember bersama papanya. Pasangan Ong Seng Kiat dan Metri Harsono hidup terpisah sejak 1988. Di Jember, Ong Seng Kiat –biasa dipanggil Sengkek– adalah pedagang juga pernah usaha pertanian. Sengkek meninggal pada Juli 2013 di Jember.
Sejak terdiagnosa disabilitas psikososial, kegiatan Susanna adalah membantu pekerjaan di rumah serta bepergian ke Jember, maupun Jakarta, dimana ada saudara-saudaranya tinggal.
Susanna juga penggemar kuliner. Seleranya tinggi, seringkali dia minta dimasakin atau dibelikan makanan: bakso, empek-empek, nasi rawon, pizza, black pepper steak, melted brownies, dan lain-lain.
Perawatan Dementia
Ketika mamanya mulai terkena dementia, perlahan-lahan mulai kehilangan daya ingat dan daya pikir, Susanna merawat Metri di Jember, beberapa kali masuk rumah sakit, serta ketika Metri terkena stroke, hanya berbaring di ranjang sejak Januari 2024.
Di Jember, dia mendampingi mamanya, bersama beberapa perawat dari Jember Raya Homecare, yang setiap hari mendampingi Metri, di rumah mereka, Jalan Samanhudi IV, Jember.
Pada pertengahan Oktober 2024, Susanna berkali-kali mengatakan bahwa dia mengalami “pelecehan seksual” pada 6 Oktober di rumahnya. Pelakunya, diduga seorang lelaki, umur 56 tahun, yang juga sekolah menengah sama, serta warga gereja sama. Susanna minta bantuan dia mengantar sekarung beras ke rumah dari gereja.
Korban satunya adalah perawat homecare, usia 21 tahun, yang biasa merawat Metri.
Si perawat menceritakan kejadian saat si lelaki datang ke rumah, mulanya bersalaman, hendak kenalan, “Tangannya mau kemana-mana, mau ke dada saya, saya tepis.”
“Mulutnya di kuping saya, kayak mau mencium.”
Dia lari ke Indomaret, sekitar 800 meter dari rumah, menangis dan gemetar.
Menurut Susanna, si lelaki merangkulnya dan mendekatkan pinggul. Tangannya menyentuh buah dada. Susanna merasa terganggu.
“Aku tidak mau pacaran. Aku bilang.”
“(Nama pelaku), saya tidak ada niat ke sana. Saya tidak ada nafsu. Saya cuma minta tolong diantar beras.”
Kejadian berlangsung sekitar 15 menit sampai pelaku mengikuti perawat ke Indomaret. Kedua korban segera melaporkan kejadian tersebut kepada Jember Raya Homecare, perusahaan dimana si perawat bekerja, maupun kepada keluarga Harsono. Rochmah Hidayati langsung datang ke tempat kejadian, bicara dengan perawat. Sapariah Harsono, isteri dari Andreas, wawancara perawat dan merekamnya. Yohana, adiknya Susanna, menghubungi pendeta dari gereja tersebut.
Dalam dua surat permintaan maaf, si lelaki membantah melakukan penyerangan seksual, tapi mengakui lakukan “pelecehan seksual.” Dalam surat terpisah, pendeta menilai lelaki tersebut sebagai anggota gereja yang “taat ibadah” serta putranya sedang belajar di theologi. Dia memberi sanksi dengan tak menerima sakramen perjamuan kudus di gereja selama enam bulan.
Si perawat memutuskan berhenti bekerja pada 20 Oktober serta tak mau bahas kejadian tersebut. Dia trauma dan malu. Minggu kedua, Susanna sering sebut frasa “pelecehan seksual” bahkan percobaan pemerkosaan, menurut beberapa tetangga, kenalan dan keluarga. Dia terlihat kesal sekali, sering jalan dan duduk sendirian, menurut beberapa tetangga.
Sejak minggu keempat Oktober, Susanna mengunci diri dalam kamar, lampu dimatikan, makan dan minum terbatas. Kesehatan menurun drastis. Fitrianing Azizah, seorang perawat yang menunggu di rumah, membawanya dengan ambulan ke ruang gawat darurat RSUD Jember pada 30 Oktober.
Menurut Fitrianing, “Saat itu sore jam 5 kondisi Ce Susan sudah lemas di dalam kamar, dengan keadaan telanjang dari perut ke bawah dan penuh dengan air kencing dan pup dan darah dari bibirnya yg digigitin. Sekitar jam 17.30 saya bawa Ce Susan dengan ambulan ke IGD RS Soebandi.”
Hasil laboratorium maupun scan organ, menunjukkan bahwa kesehatan fisiknya menurun drastis karena dia kekurangan makan dan minum. Para dokter memutuskan menaikkan daya tahan tubuh Susan, pakai infus dan sonde, serta hendak mengirimnya ke rumah sakit kesehatan jiwa di Lawang, bila stabil.
Orang dengan disabilitas mental punya toleransi yang berbeda terhadap kekerasan daripada orang biasa. Susanna juga orang Kristen yang kolot. Dia menolak menonton film dengan adegan orang berpacaran. Dia misalnya keberatan dengan film Hollywood “Barbie” karya Greta Gerwig karena ada orang berpakaian minim –udara sepanas apapun harus berpakaian panjang. Pelecehan seksual tersebut sangat mengganggu dirinya.
“Susan adalah satu-satunya dari keluarga yang terus-menerus mendampingi mama, hidup bersama mama, sejak mulai kena dementia, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, sampai bulan lalu. Kepergiannya bikin kaget. Mama masih ada, ironisnya, anak yang merawatnya sudah pergi duluan,” kata Yohana Harsono.
Saudara kandung yang ditinggalkan, selain Andreas, Rebeka dan Yohana, juga Debora Harsono di Ambon, serta Heylen Harsono di Jakarta. Saudara lainnya termasuk Deasy Wega Hariyanti dan Hardian Harsono, dari pernikahan kedua Ong Seng Kiat dengan Winarti, serta Febrina Harsono dan Dani Hariyanto dari pernikahan ketiga dengan Lasmiyati.
Norman Harsono adalah keponakan dari Susanna Harsono. Andreas Harsono adalah kakak dari Susanna Harsono. Mereka tinggal di Jakarta.
No comments:
Post a Comment