Sudah 24 tahun, saya mengajar kelas jurnalisme di Yayasan Pantau, bersama Janet E. Steele dari George Washington University di Washington DC. Minggu ini, sekali lagi, kelas ini berlangsung dengan 13 peserta --dua orang batal hadir. Ia biasa hanya dengan 15 orang agar ada kesempatan berlatih menulis.
Janet selalu menekankan agar jumlah peserta tidak lebih dari 15 orang. Dia menekankan penting berlatih menulis. Waktu dua minggu pun terlalu pendek sehingga kami berusaha sekuat mungkin agar peserta mengerjakan tugas menulis.
Pesertanya, selalu beragam, kali ini, dari Pulau Aru sampai Banda Aceh. Ada empat orang dengan kaitan kota Ambon. Tiga orang dari Sulawesi. Dari Pulau Jawa, juga beragam bahasa, etnik dan agama.
Peserta bisa jengrang, kaki ditaruh di kursi, duduk di lantai, pakai sarung, makan dan minum. Suasana sersan --serius tapi santai. Ini terjadi tanpa aba-aba, dalam dua dekade.
Banya sesi berisi peserta membaca tugas masing-masing lantas didiskusikan bersama kelas. Mulai dari keberadaan dialog atau monolog hingga panjangnya alinea.
Janet Steele dan saya mencoba selalu tepat waktu. Saya berusaha setidaknya datang 10 menit lebih awal. Ini lebih substansial daripada kebanyakan pengajar di Indonesia yang sering menuntut peserta pendidikan dengan permintaan yang tak mendukung suasana belajar. Misalnya, banyak pengajar minta peserta berbusana sesuai keinginan mereka, antara lain, wajib jilbab.
No comments:
Post a Comment