Thursday, June 13, 2024

Belajar dari Tragedi Wasior, Rasialisme terhadap Orang Asli Papua

Orasi dalam Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta

Aksi Kamisan di Monumen Nasional, Jakarta, 13 Juni 2024.

Selamat sore buat peserta Aksi Kamisan. Nama saya, Andreas Harsono, dikenal sebagai wartawan dan peneliti, sehari-hari bekerja buat Human Rights Watch. 

Sore ini kita mengenang apa yang disebut Tragedi Wasior pada 13 Juni 2001. Wasior adalah sebuah distrik di sebuah jazirah dekat Teluk Cenderawasih, Papua Barat. Ia terletak bersebelahan dengan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Ini taman nasional perairan laut terluas di Indonesia, terdiri dari daratan dan pesisir pantai, pulau-pulau, terumbu karang, dan lautan.

Tragedi Wasior bermula dari penebangan banyak pohon dalam hutan Wasior. Sejak Maret 2001, orang asli  Wasior protes keberadaan perusahaan-perusahaan pembalakan kayu, antara lain, PT Wapoga Mutiara Timber, PT Dharma Mukti Persada, CV Vatika Papuana Perkasa. Mereka menilai perusahaan-perusahaan ini tidak memenuhi kewajiban dan janji pembangunan terhadap masyarakat adat setempat.

Dalam sebuah aksi, warga menahan speed boat CV Vatika Papuana Perkasa. Balasannya, perusahaan mendatangkan Brigade Mobil untuk menekan warga, mengambil speed boat dan meneruskan pembalakan. Masyarakat mengeluhkan perilaku perusahaan kepada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Ini sebuah praktek yang biasa berlaku di Papua Barat sejak 1960an ketika masyarakat membela diri dari perampasan lahan dan kehidupan mereka. 

Sebuah kelompok TPN-PB menyerang perusahaan. Ada lima anggota Brimob dan seorang karyawan tewas. 

Pada Juni 2001, polisi dan militer Indonesia, melakukan “Operasi Tuntas Matoa” guna mencari para militan TPN-PB. Penyisiran terhadap pelaku pembunuhan terjadi dari Wasior sampai ke daerah Nabire dan Serui. Ada banyak warga kampung, yang tak tahu-menahu permasalahan, ditangkap tanpa surat penahanan, dianiaya, ditahan dan ditembak.

Ada 51 rumah warga dibakar di Wasior. Hasil kebun dan ternak peliharaan juga musnah. Menurut Tim Kemanusiaan Kasus Wasior 2001, ada 94 warga ditangkap, 30an disiksa bahkan sebagian jadi cacat, serta terjadi pengungsian massal. Ada empat warga tewas dan lima orang hilang.

Pada 2003, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia kepada Jaksa Agung. Namun Jaksa Agung menyatakan bahwa syarat formil maupun materiil belum terpenuhi untuk ditingkatkan ke tahap penyelidikan. Ia bolak-balik terus antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sampai Juli 2014.


Presiden Jokowi mengatakan, “Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.” 

“Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.” 

Sampai hari ini apa yang dicanangkan Presiden Jokowi belum berjalan memadai. Sebaliknya, izin pembalakan kayu, maupun usaha perkebunan sawit, terus berkembang di sekitar Teluk Cenderawasih. 

Pada tahun 2010, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menerbitkan hasil penelitian soal Papua Barat. Judulnya, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future

LIPI menerakan empat persoalan besar di Papua Barat. 

Pertama, peminggiran orang asli Papua dan dampak diskriminasi yang dialami mereka akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua Barat sejak 1970. Orang asli Papua, menurut sensus 2010, sudah menjadi minoritas di Tanah Papua. 

Kedua, kegagalan pembangunan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Banyak sekolah di Papua Barat mendapatkan guru sering absen. Banyak puskesman dan rumah sakit kekurangan obat dan tenaga Kesehatan. 

Ketiga, sejarah integrasi Papua dan Jakarta. Pada 1969, Perserikatan Bangsa-bangsa bikin penentuan pendapat rakyat Papua Barat namun hanya 1,026 orang diseleksi buat memilih, 100 persen ikut Indonesia, dengan tekanan dan intimidasi. Namun hasil tersebut diterima oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. Keempat, akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia oleh aktor-aktor negara terhadap orang asli Papua, termasuk Wasior. 

Keempat masalah besar ini seyogyanya dimengerti oleh para pengambil kebijakan untuk penyelesaian konflik Papua Barat secara komprehensif dan jangka panjang.

Apa yang bisa kita lakukan? 

Persoalan mendasar adalah rasialisme terhadap orang asli Papua. The underlying issue is racism

Orang Papua sering dianggap bodoh. Orang Papua sering dibilang, maaf, monyet bodoh dan kata makian lain. Orang Papua sering dianggap badannya bau. Orang Papua sering dianggap lambat. Rasialisme ini merajalela, dari para pegawai negeri --termasuk polisi dan tentara-- sampai orang rambut lurus, dari media sosial sampai kegiatan sehari-hari. 

Filep Karma, seorang pembela hak orang dan lingkungan Papua Barat, menyebut rasialisme terhadap apa yang disebutnya “manusia setengah binatang.” Ini judul bukunya, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua.

Orang Papua capek dan protes berkali-kali. Namun mereka, termasuk Filep Karma, justru dihina, ditangkap ketika menaikkan bendera Bintang Kejora, disiksa, dipermalukan. Menaikkan Bintang Kejora dianggap perbuatan kriminal. Mereka protes damai, tanpa peluru, tanpa bom, hanya dengan Bintang Kejora. Filep Karma sendiri dihukum penjara sampai 15 tahun. Ini membuat persoalan di Papua Barat makin buruk. 

Sore ini saya menyerukan kepada bukan saja peserta Aksi Kamisan tapi kepada sesama warga Indonesia, hentikan sikap rasialis terhadap orang asli Papua. Hentikan memakai makian ketika tak setuju dengan orang Papua. 

Pemerintah kita mungkin belum bisa berbuat banyak untuk berbagai kesulitan yang dihadapi orang Papua. Namun kita bisa hentikan omongan bahwa orang Papua bau, orang Papua bodoh.

Sekian dan terima kasih. 







No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.