Andreas Harsono seorang wartawan Indonesia, kelahiran Jember, yang tinggal di Jakarta. Pada 1994, dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, ketika rezim Orde Baru melarang pendirian organisasi wartawan selain “wadah tunggal.”
Dia lantas bekerja buat beberapa suratkabar regional termasuk The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur), ikut membangun Institut Studi Arus Informasi di Jakarta dan anggota awal International Consortium of Investigative Journalists di Washington DC, serta juri Fetisov Journalism Awards (Geneva), yang memberikan penghargaan secara global.
Dia menulis dua buku termasuk Jurnalisme Sastrawi dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme. Perjalanan intelektual mendorongnya menulis Race, Islam and Power: Ethnic and Religious
Sejak 2008, dia bekerja buat Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia di New York, buat menulis soal pelanggaran kebebasan beragama dan kepercayaan di Indonesia, maupun diskriminasi terhadap orang asli Papua. Dia juga dikenal ketika bikin liputan soal apa yang disebut “tes keperawanan” pada 2014-2015 terhadap perempuan yang melamar jadi polisi atau tentara, sampai praktek tersebut dihentikan karena tidak ilmiah serta diskriminatif.
Gafur Abdullah menemui Andreas Harsono di rumahnya, guna bicara soal jurnalisme. (Sabtu, 25 Juni 2024)
Bagaimana Anda mengawali karir sebagai jurnalis?
Pada tahun 1984, saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saya bergabung di majalah fakultas teknik, namanya Imbas. Ia terbit satu tahun sekali. Majalah ini dibredel tahun 1987 ketika saya jadi pemimpin redaksi. Imbas menerbitkan artikel pendek soal surat Arief Budiman, seorang dosen dan cendekiawan, kepada rektor Satya Wacana.
Arief Budiman mempertanyakan idealisme kampus. Makin banyak proyek di kampus. Peraturannya tak jelas. Ada pejabat-pejabat kampus marah. Saya dikeroyok, dipukuli dan Imbas dibredel. Saya lapor ke polisi, kejadian tersebut diliput media massa, mengundang solidaritas pers mahasiswa dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Bandung, Jakarta. Salatiga jadi ramai. Seorang pelaku pemukulan diadili dan dihukum.
Kapan pertama kali bekerja untuk media mainstream?
Tahun 1991, saya selesai kuliah. Selang satu tahun, saya mulai sebagai wartawan freelance di Phnom Penh, Kamboja. Perserikatan Bangsa-Bangsa bikin pemilihan umum dan membentuk pemerintah Kamboja. Indonesia termasuk sponsor dari perundingan damai Kamboja.
Saya menulis soal “Indonesia battalion” untuk beberapa media termasuk harian Suara Merdeka di Semarang dan majalah Matra di Jakarta. Pulang dari Phnom Penh, saya menterjemahkan sebuah buku soal Timor Timur, lantas melamar kerja di The Jakarta Post. Saya hanya kerja satu tahun dan diberhentikan pada Oktober 1994.
Kenapa dipecat?
Manajemen mengatakan saya seorang wartawan yang partisan. The Jakarta Post tak mau punya wartawan partisan. Banyak orang percaya, saya diberhentikan karena saya ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada Agustus 1994.
Waktu itu, ada dua jurnalis The Jakarta Post, yang juga ikut mendirikan AJI. Satunya dipindah ke perpustakaan. Satu lagi dipindah ke bagian layout. Mereka sudah karyawan tetap. Saya karyawan kontrak, diberhentikan.
The Jakarta Post tampaknya takut dengan Departemen Penerangan maupun dengan Persatuan Wartawan Indonesia. Menteri Penerangan Harmoko termasuk pemegang saham The Jakarta Post.
Saat itu, harian Kompas ada dua jurnalis, yang juga ikut dirikan AJI. Mereka diberhentikan dengan sejumlah uang pesangon. Majalah Forum juga ada wartawan diberhentikan, termasuk Santoso, waktu itu, sekretaris jenderal AJI.
Persatuan Wartawan Indonesia, pendek kata, menekan media yang punya wartawan ikut teken Deklarasi Sirnagalih soal pendirian AJI pada Agustus 1994. Ada aturan Menteri Penerangan Harmoko bahwa organisasi wartawan hanya ada satu: PWI.
Zaman Orde Baru, semua profesi hanya boleh punya “wadah tunggal,” dari buruh sampai guru, dari wartawan sampai dokter. Jadi, pendirian AJI dianggap tindakan melawan hukum. Beberapa anggota AJI bahkan ditangkap, diadili dan dipenjara.
Seberapa penting ikut organisasi dan sertifikasi jurnalis, khususnya bagi jurnalis muda?
Sekarang ada puluhan organisasi wartawan, dari media cetak sampai online, apalagi yang lokal. Saya lebih suka wartawan bergabung dengan organisasi. Ia akan banyak jejaring dan ilmu pun didapat. Ia juga jadi tempat menggalang solidaritas bila ada wartawan jadi korban kriminalisasi.
Sertifikasi jurnalis adalah keputusan berbagai organisasi wartawan –termasuk PWI dan AJI– di Palembang pada 2010. Anda tentu tahu AJI jadi organisasi yang terdaftar resmi sesudah mundurnya Presiden Soeharto pada 1998. Di Palembang, Dewan Pers ditetapkan sebagai satu-sastunya organisasi yang resmi lakukan sertifikasi wartawan.
Intinya, para organisasi tersebut khawatir dengan maraknya wartawan bodrek dan media abal-abal. Banyak wartawan datang ke kantor pemerintah, kelurahan, sekolah atau lainnya, mengancam dan minta duit. Banyak pejabat pemerintah mengeluh soal minta amplop. Maka dibuatlah sertifikasi. Tapi Dewan Pers tak bisa banyak bikin program sertifikasi wartawan. Anggarannya besar bukan?
Menurut ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, pada 2018 ada 43,000 organisasi media, dari televisi, cetak, radio, maupun online. Kebanyakan media baru dan online. Bayangkan 43,000! Indonesia salah satu negara dengan tingkat kepadatan media tertinggi di dunia.
Saya perkirakan program sertifikasi seyogyanya melatih mungkin sampai 200,000 wartawan. Rata-rata satu media dilatih sampai lima orang. Sertifikasi ini menolong jurnalis untuk mengerti etika jurnalistik, hukum pidana dan perdata –terutama pasal-pasal karet di bidang pencemaran nama—maupun berbagai elemen jurnalisme. Anggaran yang kecil membuat pelatihan ini berjalan pelan.
Hari ini banyak media yang tidak gaji jurnalis. Jurnalis disuruh meliput sambil cari iklan. Bagaimana melihat praktik ini?
Bila baca buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel soal elemen-elemen jurnalisme, diterangkan bahwa jurnalisme menuntut wartawan bersikap independen terhadap sumber-sumber mereka. Jurnalis bahkan dituntut bisa meliput media mereka sendiri terutama saat ada boss media mereka sendiri diduga lakukan sesuatu yang tidak benar.
Independensi ini memerlukan pagar api. Ia sebuah pagar yang membedakan mana bisnis, mana ruang redaksi. Iklan harus dibedakan dengan karya jurnalistik. Iklan dan sponsor diurus orang iklan. Jurnalisme diurusi oleh ruang redaksi. Media bermutu takkan minta wartawan buru berita sekaligus buru iklan.
Kenyataannya, di berbagai kota Indonesia, praktek ini banyak terjadi. Di Jakarta, saya tahu Kompas dan Tempo ketat mengatur wartawan mereka tak berurusan dengan iklan.
Saya pernah tinggal di Cambridge dan New York. Saya juga belajar jurnalisme di Universitas Harvard. Di sana, praktek pagar api diterapkan dengan ketat. Majalah The New Yorker, misalnya, memisahkan elevator buat awak redaksi dan ruang bisnis. Orang bisnis dan redaksi tidak diharapkan ketemu bahkan dalam elevator.
Pada level direksi, tentu saja, ada komunikasi antara presiden direktur dengan direktus bisnis maupun direktur operasi (pemimpin redaksi). Tapi di tingkat operasional, saling ketemuan antara wartawan dan bisnis, dibuat tidak ada mekanismenya.
Akhir-Akhir ini ada istilah “jurnalis lepas.” Apa pendapat Anda?
Saya pernah jadi wartawan lepas. Setelah saya diberhentikan dari The Jakarta Post, saya jadi pekerja lepas buat The West Australian (Perth), The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur). Ia biasa terjadi dalam jurnalisme. Menjadi wartawan lepas perlu disiplin dan konsistensi. Perlu punya jaringan dan target bulanan.
Di Amerika Serikat, banyak wartawan terkemuka mulai dari kerja freelance. Di Indonesia, kini banyak media yang buka peluang untuk jadi kontributor. Bayarannya, lumayan.
Bagaimana dengan media yang tidak berbadan hukum?
Saya ikut menulis rancangan undang-undang pers pada 1998-1999. Idenya, media jurnalistik dimaksudkan sebagai badan hukum tersendiri. Bentuknya, bisa perseroan terbatas, koperasi, atau yayasan.
Pemikirannya, ada banyak organisasi, dari ekonomi sampai agama, dari pendidikan sampai militer, memiliki majalah atau website sebagai medium mereka dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Medium ini bukan kegiatan jurnalistik. Ia dituntun oleh para pemimpin organisasi masing-masing. Ia tentu bukan media jurnalistik.
Pikiran tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Pers tahun 1999. Kalau sebuah media jurnalistik dapat gugatan hukum, penyelesaiannya dapat dilakukan lewat mediasi Dewan Pers.
Intinya, media jurnalistik dibedakan dengan medium kehumasan. Tapi punya badan hukum, kan ribet? Harus urus pajak, misal. Kalau medianya belum mapan secara keuangan, kan susah?
Seberapa penting verifikasi Dewan Pers bagi sebuah media?
Ia terutama berguna bila ada sengketa jurnalistik. Dewan Pers bisa mediasi. Media yang melakukan liputan di Indonesia juga tak harus berbadan hukum di Indonesia. Mongabay misalnya, dia kan badan hukumnya di California, Amerika Serikat. Tapi Mongabay menyediakan Mongabay Indonesia untuk meliput di Indonesia. Itu sah-sah saja.
Saya terlibat pembuatan Undang-Undang Pers tahun 1999. Saya rasa, prosedur mediasi untuk media mainstream, itu selesai, sudah rapi. Yang belum selesai adalah untuk pers mahasiswa.
Maksudnya?
Ketika bicara pers mahasiswa, satu sisi, ia berfungsi sebagai media independen. Sisi lain, ia berada di bawah badan hukum non-media (universitas). Dalam pengertian umum, media yang ada di bawah naungan badan hukum lain, cenderung akan jadi humas organisasi induknya.
Pers mahasiswa, kan tidak? Meski ada di bawah naungan kampus, pers mahasiswa bukan corong dari kampus. Sejarah panjang pers mahasiswa di Indonesia membuktikan mereka bisa kritis terhadap manajemen kampus. Bila ada sengketa jurnalistik, pers mahasiswa sebaiknya dinaungi Dewan Pers, bukan lewat polisi.
Untungnya, tahun ini, Dewan Pers dan Kementerian Ristekdikti bikin kesepakatan bahwa bila ada sengketa dengan pers mahasiswa, ia seyogyanya diajukan ke Dewan Pers buat dicari kebenarannya –bukan dilaporkan ke polisi atau jaksa.
Apakah pers mahasiswa tersebut salah? Atau mereka benar? Dewan Pers bisa selidiki dan keluarkan keputusan. Jadi pers mahasiswa praktis sudah dapat prosedur mediasi mulai tahun ini. Sangat panjang jalannya, dari 1999 sampai 2024, sudah 25 tahun. Better late than never.
Bagaimana Anda melihat munculnya media non-profit?
Itu terobosan yang bagus. Media non-profit bukan berarti tak punya modal. Mereka punya modal, bahkan ada yang banyak uangnya. Mongabay Indonesia itu kan non-profit? Juga Project Multatuli, Konde, The Conversation Indonesia, Bollo.id. Kalau di Amerika, ada ProPublica, Marshall Project.
Mereka hidup dengan dana public, sumbangan dari pribadi maupun yayasan. Mereka masing-masing mengembangkan kriteria sumbangan mana yang bisa mereka terima.
Human Rights Watch, tempat saya bekerja, tak mau menerima dana dari pemerintah mana pun, industri ekstraktif (tambang, perkebunan dan peternakan raksasa), serta keluarga aristokrasi plus oligarki.
Bagaimana Anda melihat gangguan dari internet terhadap jurnalisme saat ini?
Sekarang jurnalisme itu menghadapi perubahan maha besar berkat internet. Makhluk ini lahirkan berbagai platform, seperti Google, Facebook, Whatsapp, Tiktok. Mereka mengambil kue iklan perusahan pers. Penghasilan media warisan (legacy media) mengecil karena iklan mengalir ke perusahaan teknologi.
Anggaran untuk ruang redaksi jadi mengecil. Ini masalah bagi perusahaan pers. Itu terjadi di mana-mana. Eropa, Amerika, Afrika, Australia, Asia, dan Timur Tengah. Semuanya sedang hadapi masalah ini.
Kondisi ini, mau tidak mau, memaksa perusahaan pers untuk lebih lincah. Cara yang dapat dilakukan, menurut sebuah riset dari Reuters Foundation, antara lain minta sumbangan ke publik. Di Indonesia, cara ini mulai dikembangkan.
Project Multatuli misalnya, mereka bikin program Kawan M agar publik menyumbang. Tempo dan Kompas bikin program berita langganan. Pembaca diminta untuk langganan. Media beginian harus punya nilai tinggi: bikin liputan yang bermutu. Ia akan mendorong pembaca mau membayar.
The New York Times kini dapat uang lebih banyak dari pelanggan daripada iklan. Pada akhir 2023, media warisan ini punya 10,36 juta pelanggan dimana 9.7 juta pelanggan digital melulu –tanpa koran harian dari kertas. Cara beginilah yang seharusnya ditiru media di Indonesia. Bukan malah menyuruh jurnalisnya memburu informasi sekaligus memaksa minta iklan ke instansi atau narasumber.
Celakanya, di Indonesia, ada kesan di masyarakat bahwa informasi lewat internet itu gratis.
Kecelakaan? Informasi gratis?
Ya, Indonesia alami kecelakaan media. Tradisinya, kan, informasi dari media pers itu dianggap gratis. Itu dulu diawali oleh munculnya detik.com dan beberapa media online. Ini membuat media warisan seperti Tempo, Kompas dan lainnya kesulitan untuk minta pembaca untuk bayar.
Padahal, ada banyak keringat, lapar, ngantuk yang ditahan atau pengorbanan lainnya yang diberikan oleh jurnalis dan redaktur untuk bisa mendapat informasi akurat dan menyajikan berita kepada publik.
Namun Tempo, Kompas dan lainnya juga melakukan kesalahan. Mereka bikin outlet berbeda yang gratis. Tempo dengan website gratis tapi majalah berbayar, termasuk website majalah. Kompas bikin Kompas.com gratis tapi website harian berbayar.
Standar liputan juga berbeda antara cetak dan online. Standar cetak tetap ketat tapi online dibikin lebih cepat dan longgar. Ia mengaburkan persepsi masyarakat soal mutu mereka. Kalau online jadi lebih jelek, ia pengaruhi nama sisi cetak.
Perhatikan The New York Times. Mereka tetap pakai standar tunggal. Berita juga tak harus cepat-cepat dinaikkan tanpa proses verifikasi. Di Jakarta, standar yang berbeda ini perlahan-lahan hendak diubah, bikin “single standard” buat semua keluaran mereka. Ini langkah yang benar agar media warisan juga bisa menarik bayaran dari pembaca.
Gafur Abdullah: Jurnalis sekaligus penulis lepas yang rute belajar jurnalismenya dimulai dari LPM Activita 2014 silam di IAIN Madura. Penerima Beasiswa Kursus Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau 2022. Karya jurnalistiknya pernah dapat penghargaan Kompas, AJI, UNICEF, ECONUSA dan menerima sejumlah Fellowship Journalism. Kini berkhidmat melalui Indoklik.id sebagai Pemimpin Redaksi.