Selama empat hari, Yohana, adik saya, dan saya berkunjung ke rumah mama kami, Metri W. Harsono, di Jember. Tujuannya, menengok mama yang terkena dementia, tulang belakang retak, serta stroke --stroke kedua pada Januari 2024.
Mulanya, keluarga menaruh mama di sebuah panti lansia di Jember, sesudah keluar dari rumah sakit. Keadaan menyenangkan. Ia dikelola suster-suster Katolik. Mama makan teratur, kamar pribadi, bisa tersenyum bahkan bicara satu atau dua kata.
Namun pada akhir Maret 2024, adik saya yang punya gangguan jiwa, Rebeka, dan kembarannya Susanna, mengeluarkan mama dari panti lansia. Rebeka menuduh pelayanan di sana buruk, makanan banyak MSG, dia dilarang bezoek dst.
Pihak panti kewalahan. Mereka menelepon saya dan akhirnya mengizinkan mama dikeluarkan. Panti menawarkan ambulans. Namun Rebeka, yang ditemani kawan lelakinya, menolak.
Ternyata mereka membawa mama ke Bank Mandiri agar tabungannya bisa ditransfer kepada rekening Rebeka. Alasan Rebeka, biaya tersebut diperlukan buat perawatan, termasuk beli ranjang khusus Rp 5 juta.
Sesudah membawa mama ke cabang bank, pihak Bank Mandiri menolak sesudah melihat mama yang tak bisa komunikasi. Bank Mandiri minta penetapan pengadilan. Ini proses yang birokratis dan makan waktu.
Rebeka berkali-kali minta saya mengurus berbagai syarat "pengampuan" rekening bank mama agar bisa dapat surat penetapan dari pengadilan negeri Jember. Rebeka sendiri tak bisa mengurus kepada lima saudara lainnya, termasuk saya, berhubung ketrampilan komunikasinya rusak. Rebeka punya gangguan jiwa.
Jadinya, Rebeka dan Susanna "merawat" mama di rumah. Dia minta tambahan uang kepada kami. Keadaan mama memburuk lagi. Kami dapat laporan dari para tetangga soal Rebeka sering bertengkar dengan Susanna. Beberapa kali Susanna lari dari rumah, menurut seorang tetangga dan ketua rukun tetangga.
Di Jember, kami mendatangi panti lansia. Mereka dengan sopan menolak. Mereka lelah menghadapi Rebeka dengan berbagai ucapan dan pesan Whatsapp dia. Suster bilang Rebeka mengancam laporkan panti ke polisi karena melarang dia bezoek. Mereka menyesal punya hubungan dengan Rebeka.
"Sangat violent," kata seorang perawat.
Dokternya mengirim pesan, "Rebeka sudah buat saya berjanji, dan dalam Kristen janji itu tinggi. Saya tidak ingkar janji saya untuk tidak kontak apapun ke Oma Metri. Saya sangat menyesal telah ikut ambil dalam membantu Oma Metri."
Kami bisa menerima argumentasi dari suster kepala maupun dua dokter. Rebeka memang sering mengganggu orang dalam dua dekade terakhir. Dia punya bipolar hypermaniac. Keadaannya naik turun, namun makin pemarah seiring keengganan minum obat dari rumah sakit jiwa. Dia campur aduk antara harapan dan fakta. Omongannya dibolak-balik. Gayanya adalah mengutip orang lain guna membenarkan posisi dia. Ini bisa bikin orang beban pikiran bila bicara dengan dia.
Hari ketiga, kami mencari bantuan dari
Homecare Jember Raya. Mereka menyediakan
perawatan paliatif di rumah. Mereka mengirim dua perawat ke rumah, siang dan malam, bergantian masing-masing tujuh jam. Tujuh hari seminggu.
Makanan disiapkan ahli gizi. Kebersihan diperbaiki. Berbagai tes juga dilakukan. Laporan dibuat setiap hari, dari makanan sampai kebersihan. Kami berharap mama merasa nyaman.
Tantangan kami adalah bagaimana membuat Rebeka tidak bikin nervous perawat. Malam pertama, seorang perawat menelepon Yohana, "deg-deg-an" hadapi Rebeka yang memaksa agar masakan dia, bukan catering dari rumah sakit, disuapkan ke mama. Perawat terpaksa lakukan karena nervous.
Ini sebuah perjalanan yang membuat kami berpikir soal proses menjadi tua, sakit-sakitan dan menjemput kematian, sekaligus kembali pada tantangan keluarga kami dengan dua saudara punya gangguan jiwa.