Goenawan Mohamad
Sastrawan, salah satu pendiri majalah Tempo
Banyak sekali pertanyaan, benarkah saya yang menulis sebuah statemen tentang pemerintahan Presiden Jokowi — tulisan yang ditandatangani “Gunawan Muhammad”.
Itu bukan nama saya. Nama saya “Goenawan Mohamad”. Dalam paspor ada tambahan “Susatyo”.
Tapi saya memang pendukung Jokowi. Bukan hanya pendukung yang pasif. Saya misalnya ikut berkampanye sampai malam di Sukabumi, ikut mengorganisir rapat umum di Jakarta, menulis teks digital maupun bukan , menyelenggarakan tujuh malam musik dan pertunjukan di Komunitas Salihara bersama banyak sekali seniman —bahkan ikut menyumbangkan dana.
Saya tak pernah lupa saya, di umur yang tak lagi muda, berjalan kaki siang hari bersama rombongan pedagang kaki lima pendukung Jokowi, dari Dukuh Atas sampai di depan Istana Merdeka, buat menyambut terpilihnya Jokowi lagi di tahun 2019.
Kini di tahun 2023, kepresidenan Jokowi akan berakhir — dan saya bangga, sebagaĆ®mana banyak orang, pemerintahan ini tampak akan berakhir dengan gemilang. Negeri aman, ekonomi tumbuh, banyak fasilitas dibangun untuk rakyat.
Saya berdoa agar rasa bangga itu berlanjut, agar Indonesia, negeri dengan sejarah yang berbekas luka ini, memiliki pemimpin tauladan: jujur, bekerja keras, dekat dengan rakyat, jauh dari mengejar harta dan kuasa untuk diri dan keluarganya. Dalam sebuah interview tahun 2022 di Tokyo saya mengatakan Jokowi presiden terbaik dalam sejarah Indonesia sampai sekarang.
Tapi di tahun 2023, saya diingatkan kearifan klasik, bahwa seorang pemimpin yang dipuja dan dipuji adalah seorang manusia yang digoda. Kekuasaan dan pujian itu madat bagi orang yang di atas tahta, dan orang gampang mencandu kepadanya.
Dan dengan sedih saya menyaksikan bahwa Jokowi juga terkena madat itu. Ia tak mudah lagi dikritik: ia tak mendengarkan saran-saran akal sehat misalnya agar membangun ibukota baru tanpa tergesa-gesa. Ide baik itu akan berantakan jika tak direalisasikan dengan seksama.
Yang terakhir, Presiden Jokowi — sebagaimana saya temukan sedikit demi sedikit — melakukan apa yang dilakukan Suharto: memberi perlakuan istimewa bagi anak-anaknya.
Semula saya dan banyak orang pernah kagum, juga terharu, melihat Gibran dan Kaesang bekerja sebagai pengusaha biasa (jual martabak dan pisang goreng), bukan dengan memonopoli bidang bisnis besar seperti anak-anak Suharto.
Tapi ketika dengan mudahnya — tanpa kompetisi terbuka, tanpa prosedur yang benar — putra-putra Jokowi naik ke kursi kekuasaan, saya mulai ragu dan meneliti. Ternyata Jokowi, presiden saya, presiden yang dicintai rakyat, telah memberi mereka keistimewaan secara tak adil.
Saya terhenyak. Saya kecewa dan sedih.
Puncaknya hari-hari ini. Dengan tipu muslihat dan dana yang bermilyar-milyar, jalan Gibran untuk jadi wakil presiden disiapkan.
Gibran mungkin walikota yang baik, tapi ia tak tertandingi karena tak pernah ada pertandingan. Ia juara yang tak sejati. Dan lebih buruk lagi, rasa keadilan dilecehkan, aturan yang disepakati dikhianati.
Saya sedih melihat itu semua. Demokrasi dimulai dengan sangka baik — tentang yang memilih dan yang dipilih —dan mengandung kepercayaan kepada sesama. Kini sangka baik itu retak, mungkin rusak parah, karena orang yang kita percayai ternyata culas. Padahal sangka baik — meskipun mungkin naive — adalah modal sosial untuk membangun kebersamaan bangsa.
Saya sadar saya dan banyak orang lain seperti saya, tak berdaya melawan. Kami tak punya tentara, polisi dan birokrasi untuk menggertak, tak punya uang trilyunan untuk menyuap.
Tapi tak bisa saya akan hanya diam; saya akan bersalah kepada negeri kita yang satu-satunya ini jika saya hanya diam. Dengan catatan: dalam umur lanjut ini, saya sadar batas. Tanpa ingin lumpuh.
Saya masih berbahagia bahwa di masa ketika nilai-nilai disingkirkan saya masih bisa menulis dan melukis — kegiatan di mana apa yang baik selalu mengimbau agar diraih dan yang palsu dibuang.
Dan saya masih punya teman-teman yang tetap setia kepada prinsip, tak mau ikut mempraktekkan politik yang tanpa nilai-nilai.
Saya masih mendengar mereka yang menggertakkan geraham berkata: “Cukup! Hentikan!” — mereka yang tahu apa yang bakal hancur, bakal direnggutkan dari generasi Indonesia yang akan datang.
Saya cemas. Tapi saya punya harap.