PADA 1981, seorang seniman umur 23 tahun, diminta Pastor Bertus Visschedijk dari Nyarumkop, melukis sebuah kapel di Wisma Emaus. Visschedijk ikut membangun wisma tersebut. Dia memberi kebebasan kepada si pelukis muda buat menggambarkan suasana kekristenan, termasuk kelahiran bayi Yesus di sebuah kandang, sekitar 2,000 tahun lalu di kota Betlehem, menurut kitab-kitab Kristen.
Saat itu, Yudaisme adalah agama dominan di Tanah Judea, tempat banyak orang Yahudi tinggal, termasuk orang tua Yesus. Ia dikuasai Romawi, kerajaan internasional terbesar, dengan ibukota Yerusalem.
Ketika dewasa, Yesus menjadi pengkhotbah di Tanah Judea. Dia kritis terhadap korupsi dan kemunafikan. Dia sering bikin geram pemuka Yahudi. Buntutnya, dia dilaporkan beberapa ulama Yahudi dengan tuduhan “penodaan agama” di Yerusalem.
Gubernur Pontius Pilatus memutuskan hukuman mati. Yesus dipaksa memikul salib ke sebuah bukit, melalui serangkaian jalan Via Dolorosa, dan disalibkan di bukit Golgota.
Di Nyarumkop, Laurensius Kubal, si pelukis muda, etnik Dayak Ahe, diminta menggambarkan Yesus.
“Saya makan, tidur, kerja, semuanya disitu.”
“Lima hari seminggu. Sabtu dan Minggu, saya pulang.”
“Pakai cat cap Kuda Terbang. Itu cat biasa saja. Ada delapan warna dasar. Saya campur sendiri.”
Lima panel tersebut selesai digambar pada April 1981. Ada tanda tangan “Laurensius Kubal” pada lukisan terbesar.
“Dibayar Rp 1 juta sama Pastor Bertus.”
Bila nilai tukar rupiah terhadap dollar pada 1981 sama dengan Rp 625, Laurensius Kubal menerima USD1,600. Nilainya sekarang sekitar Rp 23 juta. Jumlah yang lumayan buat pekerjaan tiga minggu.
Maria digambarkan menggendong bayi Yesus, putranya, dengan kostum Dayak dari Kapuas Hulu. Maria pakai baju hitam dan merah. Yoseph, bapaknya Yesus, pakai rompi merah serta menganyam rotan buat takin.
“Ini Bunda Maria versi Dayak. Tuhan Yesus lahir, bayi versi Dayak juga. Ini Santo Yoseph tukang kayu. Tapi versi Dayak, yang menganyam takin, untuk pengamin. Dari rotan kan?” kata Kubal.
Pada lukisan terbesar, Laurensius menggambarkan belasan orang termasuk orang Dayak, Madura (baju dan celana hitam), Jawa (pakai blankon), Melayu (baju kuning, ikat kepala kuning), Papua (kulit hitam, rambut keriting) dan sebagainya diperlakukan setara di hadapan Yesus.
Laurensius Kubal mengunjungi kapel Wisma Emaus dimana dia melukis Dayak versi Yesus pada 1981. Kubal menggambarkan Maria dan Yoseph dengan pakaian Dayak. ©Andreas Harsono
Tampaknya, gambar-gambar di Wisma Emaus tersebut menyebar di kalangan elite Katolik. Keuskupan Pontianak lantas memberi pekerjaan kepada Kubal buat bikin relief jalan salib. Ia istilah teologis buat Via Dolorosa, yang menggambarkan perjalanan Yesus dari penjara sampai ke Bukit Golgota, Yerusalem, dengan 14 pemberhentian.
Minggu lalu, Fransiskus Marius Markim, seorang petani Bengkayang, mengajak saya buat menemani Kubal mengunjungi Wisma Emaus maupun Biara Providentia di Singkawang, dimana relief Via Dolorosa tersebut dipasang.
Kubal tinggal di desa Ketiat, Bengkayang, bersama isteri dan dua dari tiga anaknya. Anak sulung, Frans Indonesianus, pernah jadi aktor film di Jakarta, kini tattoo artist, dan tinggal di Sambas.
Ini pertama kali Kubal melihat kembali karya-karyanya sesudah empat dekade. Kubal senang bahwa karya-karyanya masih diingat orang.
Stella Marris, seorang suster Katolik, menerima kami bertiga, masuk di halaman belakang Biara Providentia di Singkawang. Kami berjalan melihat-lihat karya-karya Kubal.
Stella Marris bilang mereka ingin relief tersebut diperbaiki. Mereka tak tahu siapa pembuatnya.
“Dulu Suster (kepala) tahu Bapak bisa buat ini dari mana?” tanya Stella kepada Kubal.
“Dari Pastor Paulus Kota,” kata Kubal.
“Itu abange, sepupu, Pastor Paulus kota,” kata Markim.
Mereka lantas saling tukar nama berbagai kerabat Dayak yang mereka saling kenal. Mereka semuanya orang Dayak Ahe.
Dalam karya Via Dolorosa, Kubal juga menggambarkan para prajurit Romawi dan Yesus, dengan ornamen Dayak. Yesus pakai cawat kulit kayu dan gelang tangan dari batu giok. Para prajurit ada bulu burung enggang.
Pontius Pilatus mungkin tak pernah membayangkan bahwa ajaran pengkhotbah yang dihukumnya tersebut, dalam tiga abad, perlahan-lahan menyebar ke seluruh kerajaan Romawi. Yesus terkenal dengan khotbah, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Pada tahun 313, Kaisar Konstantinus hentikan diskriminasi terhadap orang-orang Kristen. Konstantinus juga menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan di seluruh kerajaan. Orang boleh beribadah dan menyembah jubata apapun yang mereka imani.
Di Biara Provedentia, Singkawang, Laurensius Kubal mengamati 14 relief yang dibuatnya pada 1981 buat menggambarkan Via Dolorosa di Yerusalem. Dia menggambarkan Yesus disalib tapi pakai busana Dayak. ©Andreas Harsono
Ketika pulang dari Singkawang menuju Bengkayang, Kubal mengatakan, “Saya tidak sangka ada orang yang datang menghargai saya.”
Dia berpendapat karya seninya kurang dimengerti masyarakat Kalimantan Barat. Warga Katolik tetap suka “Bunda Maria” digambarkan dengan wajah Eropa, pakai baju panjang, kulit warna putih. Karakter Yesus juga disukai dengan wajah Eropa, rambut pirang, hidung mancung, kulit putih. Pokoknya, bila didatangi berbagai Gua Maria atau gereja Katolik, karakter-karakter yang ditampilkan, dari lukisan sampai patung, semua bercorak Eropa.
Bila ada upaya sedikit lebih, Yesus digambarkan dengan pakaian Timur Tengah. Bukan Yesus dengan kulit tembaga, hidung mungil, dan gelang tangan.
Kubal kecewa. Dia memutuskan kerja lebih buat mencari uang, apalagi sesudah menikah, daripada menjadi seniman. Dia sempat tinggal di Jakarta selama 15 tahun.
“Jadi seniman perlu waktu buat berpikir. Tapi tidak dihargai.”
Dia hanya bikin ornamen Dayak, ornamen klenteng. Dia baru saja selesai membuat ornamen sebuah klenteng di Pemangkat, Sambas.
Kini Kubal sudah berumur 65 tahun. Sudah 42 tahun berlalu sejak dia bikin karya-karya di Nyarumkop dan Singkawang. Anatomi yang dibuatnya pada 1981 sedikit beda dengan berbagai garis yang saya lihat pada karya-karyanya belakangan di rumah Ketiat. Garis-garis lebih minimal pada karya-karya sekarang. Kubal makin matang. Saya bayangkan betapa kuatnya bila Kubal sekarang bikin karya dengan tema inkulturasi dan toleransi.
Menurut Human Development Report 2004: Cultural Liberty in Today’s Diverse World, yang penulisannya dikepalai ekonom Amartya Sen dari India, ada tiga prinsip penting dalam menjalankan kehidupan negara-bangsa: (1) menghormati keragaman; (2) mengenal identitas jamak; (3) membangun ikatan dengan komunitas lokal.
Laporan tersebut menekankan perlunya menghormati keragaman dan membangun bangsa yang lebih terbuka dengan negara bikin kebijakan, yang secara tersurat, menerima perbedaan budaya maupun agama. Namanya, kebijakan multikultural. Identitas bukanlah zero sum game. Orang Dayak, yang merangkul kekristenan, tak harus kehilangan kedayakannya.
Asumsinya, jika seseorang memiliki lebih dari satu identitas, orang tersebut memiliki lebih sedikit identitas lainnya. Identitas, entah bagaimana dibayangkan, seperti kotak dengan ukuran tetap. Padahal orang bisa memiliki beberapa identitas sekaligus.
Negara Indonesia belum terbiasa dengan identitas jamak dan kebijakan multikultural. Ada berbagai macam aturan, yang dibuat sejak kemerdekaan 1945, membuat identitas tunggal saja.
Di Bengkayang, Laurensius Kubal, sudah berusaha memperkenalkan Yesus dan Dayak, dalam lukisan dan relief. Yesus bisa bertambah dengan Dayak. Dan Dayak bisa bertambah dengan Yesus.
Di rumahnya di Ketiat, Kubal tanya apa yang bisa dibikin lagi buat kembali jadi seniman, “Sudah jadi tukang saya ini.”
Saya usul membuat lukisan Kwan Kong dari mitologi Sam Kok, tentu saja, dengan identitas Dayak. Orang-orang yang suka pada Kwan Kong banyak di Kalimantan Barat. Kubal tertawa lebar. Dia janji akan bikin Kwan Kwong versi Dayak.
***
Andreas Harsono, seorang wartawan dan peneliti, menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Soeharto Indonesia.