Andreas Harsono
JIKA panjenengan naik mobil menuju timur dari Cilacap, sebuah kota pantai selatan Pulau Jawa, sekitar 45 menit, ada kemungkinan besar panjenengan akan lihat petunjuk jalan ke Gunung Srandil. Mampirlah ke sana. Dalam bahasa Jawa,
Srandil gabungan kata “sranane” (harus) dan “adil.”
Srandil bukan sembarangan bukit. Ia wilayah keramat dengan pohon beringin raksasa, lengkap dengan belasan makam, dari Tunggul Sabdo Jati, Dampu Awang, Gusti Sultan Murahidin sampai sebuah vihara Budha dan masjid Islami. Ada juga patung Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.
Saya mampir ke Gunung Srandil dalam suatu malam gelap gulita, Oktober 2021, bersama seorang jurukunci, yang membawa senter serta dupa, bernama Mbah Salio.
"Presiden Soeharto dulunya adalah panglima (Kodam Diponegoro)," katanya.
"Beliau sering datang ke sini untuk tirakat, tak hanya selama dinas [militer], tapi ketika beliau Presiden."
Kami berjalan mengelilingi Gunung Srandil, melihat ke dalam setiap makam, membakar dupa.
Mbah Salio lantas ajak saya naik mobil, ke tempat yang lebih ke pelosok. Melewati hutan gelap, sekitar 30 menit, kami tiba di
Pertapaan Cemara Putih, Gunung Selok. Malam itu kami satu-satunya mobil di jalan desa tersebut.
Mbah Salio minta kunci kepada penjaga, yang tinggal depan petapaan, untuk buka pintu.
Di dalam ruangan, ada tiga kuburan dan satu lukisan besar Nyi Roro Kidul. Pakaiannya warna hijau. Mbah Salio menyalakan dupa lagi, mengucapkan doa dalam bahasa Jawa, di tengah-tengah makam yang sunyi. Ada lukisan Semar, Petruk, dan Gareng.
Dia mempersilakan saya untuk mengucapkan keinginan saya di depan makam-makam itu.
Saya jawab, "Kamardikan agama lan kapercayan ing Indonesia."
Dia kembali berdoa.
Kami lantas minum teh tubruk dan mereka merokok di rumah penjaga. "Presiden Soeharto dulu ada helipad di sana," kata Mbah Salio, menunjuk ke lapangan terbuka.
Saya tanya Mbah Salio bagaimana dia menjelaskan keagamaan Soeharto.
"Beliau Kejawen tapi beliau juga Muslim, sama seperti saya," katanya. “Saya anggota Nadhlatul Ulama. Ada kartu anggota resmi."
Remaja Soeharto di Wonogiri
Soeharto memang seorang Kejawen, kepercayaan Jawa, yang sering dianggap bauran dengan animisme, tradisi Hindu dan Budha, plus dunia perwayangan Jawa dengan tokoh Semar, Petruk, Gareng dan sebagainya. Meski Islam mulai menjadi agama dominan di tanah Jawa sejak 1500-an, jejak Kejawen bisa ditemukan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan banyak orang Jawa.
Pada 1935, ketika berusia 14 tahun, Soeharto pindah ke Wonogiri, sebuah kota kecil dekat Solo, dimana dia mengenal Romo Daryatmo, seorang kiai dan dukun, yang merupakan sejawat ayah angkatnya di dinas pengairan.
Di Wonogiri, Soeharto menikmati kehidupan desa –memandikan kerbau dan bercocok tanam—serta belajar tentang kehidupan spiritual.
Daryatmo seorang Muslim sejak lahir. Dia mengaji Quran tapi lebih mendalami agama melalui ritual Jawa daripada Islam konvensional. Di Wonogiri, Daryatmo dihormati. Dia dianggap sebagai orang yang menguasai kebatinan, mampu membangun hubungan yang harmonis dengan alam semesta, bahkan bisa menyembuhkan orang sakit lewat doa.
Soeharto juga menemukan sosok ayah dalam diri Daryatmo. Remaja Soeharto lantas menjadi murid Daryatmo, tinggal di rumah Daryatmo. Soeharto bertugas bikin kopi setiap pagi dan bantu menulis resep obat-obatan herbal. Masa tersebut merupakan momen yang memberikan wawasan bagi Soeharto mengenai filsafat Jawa dan juga membentuk cara pandangnya terhadap dunia.
Buku David Jenkins,
Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, menggali masa muda pemimpin Indonesia ini, mungkin penguasa terkuat dalam sejarah Jawa. Biografi ini secara rinci menceritakan kisah seorang remaja, yang tak hanya punya identitas sebagai Muslim, namun juga Kejawen yang taat, di suatu negara yang mengalami islamisasi selama tiga abad terakhir.
Dalam autobiografi tahun 1989,
Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H, Soeharto menyebut Daryatmo sebagai “kiai.” Ketika Soeharto berkuasa, dari 1965 sampai 1998, Soeharto biasa menelepon Daryatmo satu kali seminggu dan rutin lakukan tirakat.
Buku David Jenkins ini penting karena mengulas kehidupan Soeharto sebagai penghayat Kejawen, maupun pandangannya terhadap Islam, dan pengalamannya ikut pendidikan polisi dan militer Jepang, dari 1942 hingga 1945, plus peranan Daryatmo dalam proses pengambilan keputusan Soeharto.
Mayor Jenderal Soeharto mulai berkuasa pada 1965 saat terjadi pembunuhan massal yang dilakukan oleh Angkatan Darat, kelompok paramiliter, dan milisi Muslim di Indonesia.
Berbagai laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Jakarta mencatat pembunuhan terhadap puluhan ribu orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia, etnik Tionghoa, serta guru, buruh, aktivis, dan seniman. Soeharto mengambil alih kepemimpinan negara dari Presiden Soekarno serta memimpin Indonesia dengan dukungan militer. Soeharto menindas lawan-lawannya, merebut tanah dengan sumber daya melimpah, dan merampas hak-hak rakyat.
Pada September 1974, ketika Presiden Soeharto mempertimbangkan untuk menyerbu Timor Portugis, dia terbang dari Jakarta ke Dataran Tinggi Dieng, tempat lainnya untuk tirakat. Dia mengundang tamunya,
Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, pergi ke Dieng, dimana Soeharto mendatangi gua Semar, buat tirakat.
Soeharto memutuskan invasi Timor Portugis setelah bertemu Whitlam, serta Presiden Amerika Serikat Gerald Ford, yang ditemuinya belakangan di Jakarta pada Desember 1975. Invasi tersebut menjadi awal
pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste, yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran pada rakyat Timor.
Islam Garis Keras
Buku David Jenkins juga mengungkapkan aspek penting dari pandangan Soeharto terhadap Islam garis keras. Pada pemilihan umum 1977, Presiden Soeharto bertemu beberapa tokoh Katolik, termasuk Ignatius Joseph Kasimo dan Frans Seda. Bahkan sebelum mereka duduk, Soeharto mengatakan kepada mereka, “Musuh kita bersama adalah Islam.”
Ia kebijakan yang cerdas untuk mengatasi berbagai peraturan diskriminatif terhadap agama-agama minoritas, yang sudah diwarisi Soeharto ketika dia diangkat jadi presiden pada 1968.
Pada Januari 1946, Kementerian Agama didirikan di Indonesia, sebuah badan pemerintahan yang menolak untuk mengakui aliran kepercayaan. Pada 1952, Kementerian Agama membuat definisi agama secara sempit. Ia hanya mengakui agama monoteistik --termasuk Islam dan Kristen-- dan turut andil menyusun pasal penodaan agama, yang diteken Presiden Soekarno pada 1965. Pasal ini –
blasphemy law dalam Bahasa Inggris—
biasa dipakai sebagai alat politik, di seluruh dunia, buat sudutkan kalangan minoritas.
Soeharto tak mendesak Kementerian Agama untuk mengurus kepercayaan lokal seperti Kejawen, namun meletakkan mandat di bawah Kementerian Pendidikan, yang lantas berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 1988, ketegangan muncul antara Soeharto dan militer Indonesia setelah orang dekatnya, Menteri Pertahanan Jenderal Benny Moerdani, seorang Katolik, yang juga merangkap Panglima Tentara Nasional Indonesia, menasihati Soeharto untuk membedakan antara tugas resmi dan kepentingan bisnis konco-konco dan anak-anaknya, yang berdekatan dengan tindakan korupsi. Masukan Benny Moerdani membuat
Soeharto marah, sekaligus sadar, bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, dia memerlukan dukungan dari kekuatan lain, yang bisa menandingi militer.
Ia awal dari melebarnya ruang bagi Islam politik di Indonesia. Soeharto membuka pintu buat gerakan politik “syariah Islam” yang sebelumnya tak disukainya. Ini mendorong organisasi Islam serta politisi Muslim di berbagai provinsi mayoritas Muslim, untuk menyusun
peraturan-peraturan yang mencerminkan “syariah Islam.” Semuanya dilakukan Soeharto demi kekuasaan. Namun kekuasaannya tak bertahan lama.
Pada 1998, setelah lebih dari tiga dekade berkuasa, Soeharto terpaksa turun saat demonstrasi besar-besaran di Indonesia pada puncak krisis ekonomi Asia.
“Islam apa ini?”
Ketika istri Soeharto, Siti Hartinah, meninggal pada April 1996, keluarga Soeharto menyelenggarakan pemakaman dengan tata cara Kejawen. Jenazah ditempatkan dalam peti mati – tak dibungkus kain kaffan putih sesuai dengan ritual Islam.
B.J. Habibie, menteri yang dekat Soeharto, mengunjungi rumah Soeharto bersama istri dan dua putranya di daerah Menteng, Jakarta. Banyak orang hadir di sana. Beberapa orang dengar ketika Ilham Akbar Habibie, putra sulung Habibie yang berusia 32 tahun, mengatakan, sedikit lantang, “Islam apa ini?”
Upacara tersebut mengungkap bahwa Soeharto, secara spiritual, penghayat Kejawen, sejalan dengan ajaran Daryatmo. Namun sebagai penganut agama Islam, Soeharto menggunakan identitasnya untuk mempertahankan kekuasaan, yang kelak menjadi bumerang bagi dirinya – dan bagi Indonesia sesudah dia mundur pada 1998.
Hukum penodaan agama ini hanya mengakui enam agama di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di bawah pemerintahan Yudhoyono, pasal ini diperluas untuk mendiskriminasi minoritas Islam non-Sunni, seperti
Ahmadiyah dan
Syiah.
Hukum ini juga sering menjadi senjata politik untuk mobilisasi orang guna menyerang pemeluk agama lain. Contoh terkenal adalah gerakan politik untuk menjatuhkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, seorang Kristen, dalam pemilihan gubernur tahun 2017. Ada setidaknya 500.000 pengunjuk rasa menuntut agar Purnama dihukum karena “menodai Islam” dalam sebuah pidato. Purnama bukan saja kalah dalam pemilihan gubernur tapi
masuk penjara selama dua tahun.
Soeharto, sebagai penghayat Kejawen, yang kerap mengunjungi tempat-tempat keramat orang Jawa seperti Gunung Srandil dan Dataran Dieng, gagal menggunakan cara pandang, pengetahuan, dan kekuasaannya untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Indonesia jauh lebih buruk saat ini karena jalan yang diambil Soeharto untuk menggunakan Islam buat mempertahankan kekuasaan, dan pengikut agama-agama minoritas, seperti Kejawen, yang mendapatkan getahnya.
Mbah Salio mengangguk, berulang kali, ketika saya mengutarakan keinginan untuk terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
“Semono uga pandongaku,” bisiknya.
***
Andreas Harsono peneliti Human Rights Watch, menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.