Andreas Harsono
Filep Karma, seorang aktivis sekaligus mantan tahanan politik terkemuka asal Papua, ditemukan tewas Senin lalu di Pantai Base-G, Jayapura, Papua. Ia sebelumnya berenang bersama adik ipar dan keponakannya, lantas pergi menembak ikan sendirian setelah dua kerabatnya itu pulang. Karma, seorang penyelam dengan pengalaman tiga dekade, ditemukan mengenakan pakaian selam miliknya.
Putrinya Andrefina Karma mengatakan bapanya karena “kecelakaan dan tenggelam.”
Saya bertemu Filep Karma pada akhir 2008 ketika mengunjungi penjara Jayapura untuk mewawancarai tahanan politik. Di sana saya dengan jelas melihat Karma merupakan pemimpin yang dilihat sesama penghuni penjara sebagai model. Ia menjelaskan prinsip-prinsipnya dengan jernih soal hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri rakyat Papua.
Saya rutin mengunjungi berbagai penjara di Papua, termasuk Jayapura, dan kami menjadi teman, berdiskusi dan berdebat, tentang situasi hak asasi manusia di Papua.
Karma dilahirkan tahun 1959 di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Dia beberapa kali cerita bahwa bapanya, Andreas Karma, mendidiknya tentang perlakuan buruk terhadap orang asli Papua di bawah pemerintahan Indonesia.
Pada 1998, Karma mengorganisir sebuah aksi protes di Pulau Biak, menyerukan kemerdekaan Papua sambil mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan yang dilarang oleh pemerintah Indonesia. Militer Indonesia membubarkan aksi protes itu dengan keras. Ratusan orang meninggal. Karma dipenjara, dan pada 1999. Pada 2004, ia kembali mengorganisir protes Bintang Kejora menyusul pembunuhan terhadap Theys Eluai, pemimpin pro-kemerdekaan lainnya. Polisi, jaksa dan hakim-hakim Indonesia mendakwa, mengadili dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi Filep dengan pasal “makar.”
Pada 2010, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan tentang tahanan politik di Papua dan Kepulauan Maluku, serta bantu meluncurkan kampanye global untuk membebaskan para tahanan. Pada 2011, mamanya Karma, yakni Eklefina Noriwari, mengajukan petisi kepada United Nations Working Group on Arbitrary Detention di New York agar anaknya dibebaskan. Kelompok kerja tersebut memutuskan bahwa penahanan Filep Karma melanggar hukum internasional, dan menyerukan agar pemerintah Indonesia membebaskannya tanpa syarat dan segera. Pemerintah Indonesia baru melepaskan Filep Karma pada 2015.
Setelah dibebaskan, Karma merangkul agenda aktivisme politik yang lebih luas. Ia bicara tentang hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan. Ia kampanye untuk hak-hak minoritas di Indonesia. Ia juga upayakan bantuan untuk keluarga tahanan politik.
Humor, integritas, dan keberanian moral pada diri Filep Karma menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kematiannya merupakan kehilangan besar, tidak hanya bagi orang Papua, tapi juga bagi banyak orang di seluruh Indonesia yang telah kehilangan pahlawan hak asasi manusia.