Thursday, December 01, 2022

Meninggalnya Seorang Pahlawan Hak Asasi Manusia Papua

Filep Karma Menyerukan Papua Merdeka dari Indonesia; Dihukum 11 Tahun Penjara

Andreas Harsono

Filep Karma, seorang aktivis sekaligus mantan tahanan politik terkemuka asal Papua, ditemukan tewas Senin lalu di Pantai Base-G, Jayapura, Papua. Ia sebelumnya berenang bersama adik ipar dan keponakannya, lantas pergi menembak ikan sendirian setelah dua kerabatnya itu pulang. Karma, seorang penyelam dengan pengalaman tiga dekade, ditemukan mengenakan pakaian selam miliknya.

Putrinya Andrefina Karma mengatakan bapanya karena “kecelakaan dan tenggelam.”

Larz Barnabas Waromi selfie bersama bapanya George dan bapa besarnya Filep Karma
pada Minggu, 30 Oktober, di pantai Base G, Jayapura. Ini foto terakhir Filep Karma.
George suami Margaret Karma, adiknnya Filep
.


Saya bertemu Filep Karma pada akhir 2008 ketika mengunjungi penjara Jayapura untuk mewawancarai tahanan politik. Di sana saya dengan jelas melihat Karma merupakan pemimpin yang dilihat sesama penghuni penjara sebagai model. Ia menjelaskan prinsip-prinsipnya dengan jernih soal hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri rakyat Papua. 

Saya rutin mengunjungi berbagai penjara di Papua, termasuk Jayapura, dan kami menjadi teman, berdiskusi dan berdebat, tentang situasi hak asasi manusia di Papua. 

Karma dilahirkan tahun 1959 di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Dia beberapa kali cerita bahwa bapanya, Andreas Karma, mendidiknya tentang perlakuan buruk terhadap orang asli Papua di bawah pemerintahan Indonesia.

Pada 1998, Karma mengorganisir sebuah aksi protes di Pulau Biak, menyerukan kemerdekaan Papua sambil mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan yang dilarang oleh pemerintah Indonesia. Militer Indonesia membubarkan aksi protes itu dengan keras. Ratusan orang meninggal. Karma dipenjara, dan pada 1999. Pada 2004, ia kembali mengorganisir protes Bintang Kejora menyusul pembunuhan terhadap Theys Eluai, pemimpin pro-kemerdekaan lainnya. Polisi, jaksa dan hakim-hakim Indonesia mendakwa, mengadili dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi Filep dengan pasal “makar.”

Pada 2010, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan tentang tahanan politik di Papua dan Kepulauan Maluku, serta bantu meluncurkan kampanye global untuk membebaskan para tahanan. Pada 2011, mamanya Karma, yakni Eklefina Noriwari, mengajukan petisi kepada United Nations Working Group on Arbitrary Detention di New York agar anaknya dibebaskan. Kelompok kerja tersebut memutuskan bahwa penahanan Filep Karma melanggar hukum internasional, dan menyerukan agar pemerintah Indonesia membebaskannya tanpa syarat dan segera. Pemerintah Indonesia baru melepaskan Filep Karma pada 2015.

Jefry Wandikbo, Filep Karma dan saya mengobrol dekat gerbang penjara Abepura di Jayapura.
Ini empat hari sesudah Presiden Joko Widodo membebaskan empat narapidana Papua Barat
pada 11 Mei 2015. Mereka menolak ajukan grasi.








Setelah dibebaskan, Karma merangkul agenda aktivisme politik yang lebih luas. Ia bicara tentang hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan. Ia kampanye untuk hak-hak minoritas di Indonesia. Ia juga upayakan bantuan untuk keluarga tahanan politik.

Humor, integritas, dan keberanian moral pada diri Filep Karma menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kematiannya merupakan kehilangan besar, tidak hanya bagi orang Papua, tapi juga bagi banyak orang di seluruh Indonesia yang telah kehilangan pahlawan hak asasi manusia.

Kehilangan seorang sahabat

HARI ini
persis satu bulan sesudah Filep Karma, aktivis Papua, pensiunan pegawai negeri serta mantan tahanan politik, ditemukan meninggal tenggelam di Pantai Base G, Jayapura. 

Hari ini, 1 Desember 2022, juga persis 18 tahun sesudah dia ditangkap karena pidato menuntut hak menentukan nasib diri sendiri buat warga Papua pada 1 Desember 2004 di Abepura. Istilahnya, dia menuntut "Papua merdeka." 

Hidupnya 11 tahun berada dalam tahanan. Dia membuat penjara sebagai sekolah baginya maupun sesama tahanan. Mereka berkebun, kuliah jarak jauh, membaca buku, menulis, melukis, bikin klub tinju dan seterusnya. Namun dia terus-menerus banding, sampai tingkat Mahkamah Agung di Jakarta, bahkan mahkamah Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. 

Mahkamah internasional menyatakan pengadilan-pengadilan Indonesia "tidak fair" terhadap Karma dan menafsirkan pasal makar dari kitab hukum pidana dengan "tidak proporsional." Dia tak pernah menganjurkan kekerasan bahkan selalu bicara agar tak ada kekerasan. Dia dibebaskan dari penjara pada November 2015. Penjara tak menggerogoti idealisme maupun keramahannya. 

Saya jadi mengenalnya lebih dekat sesudah bebas dari penjara. Dia sering datang ke rumah saya, minum wedang jahe dan makan ubi. 

Minggu lalu, putrinya, Audryn Karma, mengirim foto, barang-barang yang dipakai bapanya ketika pergi menyelam. Ia termasuk sebuah kaos Human Rights Watch. 

"Baju HRW ini sy temukan dlm jok motor bapa dan kemungkinan baju ini hendak bapa pakai sbgi baju ganti jika dia sudah selesai diving. Pasti ini baju dari om ya?" tulisnya. 

"Sy sedang membereskan barang2 bapa dirumah termasuk baju2 kotornya ingin sy cuci dan melihat baju2 terakhir yg dia gunakan jd bikin sy menangis kembali."

Saya ikut sedih lagi. Sudah sebulan saya kehilangan seorang sahabat.