Lulus jadi wartawan, sempat bekerja buat The New York Times pada era 1965, lantas ikut harian sore Sinar Harapan dan tabloid Mutiara, yang bagus sekali, dan ikut memimpin harian tersebut ketika dibredel rezim Soeharto pada 1986.
Ayah mereka Elvianus Katoppo, yang menempati rumah dinas milik Gereja Masehi Injili di Minahasa ini, adalah ahli bahasa Melayu, serta ikut menterjemahkan Bible ke bahasa Melayu.
Aristides lantas bergerak dalam penerbitan buku serta memimpin percetakan PT Sinar Kasih. Dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994 di Puncak, dekat Jakarta. Pada 1995, dia juga ikut bikin Institut Studi Arus Informasi. di Utan Kayu, Jakarta.
Saya sering bertemu Aristides sejak 1988, ketika magang di PT Sinar Kasih bagian cetak, lantas kami duduk dalam beberapa organisasi bersamanya.
Salah seorang kawan bersama kami adalah Goenawan Mohamad, editor majalah mingguan Tempo, yang mengajaknya ikut mendirikan Institut Arus Informasi. Goenawan juga mengajak saya bikin organisasi tersebut. Mereka kawan sebaya, berkenalan sejak 1968 ketika dapat undangan dari pemerintah Amerika Serikat datang ke Chicago guna meliput konvensi Partai Demokrat.
Aristides memiliki sembilan saudara termasuk theolog-cum-feminis Marianne Katoppo dan Pericles Katoppo dari Lembaga Alkitab Indonesia di Jakarta.
Ayah mereka Elvianus Katoppo, yang menempati rumah dinas milik Gereja Masehi Injili di Minahasa ini, adalah ahli bahasa Melayu, serta ikut menterjemahkan Bible ke bahasa Melayu.
Kini rumah ini jadi kantor Bible Translation Center GMIM ke berbagai bahasa Minahasa.
Rumah ini terbuat dari kayu, indah sekali, bisa lihat pegunungan sekitar Minahasa. Saya tak heran bahwa Aristides jadi pecinta #hiking ketika tinggal di Jakarta.
Salah satu sahabatnya adalah Soe Hok Gie (1942-1969), yang ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala UI), dan meninggal di Gunung Semeru dalam usia 27 tahun.
Goenawan menulis, Aristides dan Hok Gie punya watak yang mirip, sama-sama suka naik gunung, "Beda Tides dengan Hok-gie: ia bukan seorang puritan dalam kesenangan hidup. 'Hok-gie tak akan beristirahat untuk makan dan minum sebelum sampai puncak, saya akan lebih suka duduk berteduh dan menikmati bekal.'"
Mudah-mudahan rumah kayu dua tingkat ini tetap terpelihara, maupun ratusan rumah kayu lain di Tomohon. Rumah keluarga Katoppo ini bisa jadi awal gerakan buat memelihara ratusan rumah kayu di Minahasa, dan tentu saja, potensial jadi daya tarik pariwisata.
No comments:
Post a Comment