Saya bersama Yayasan Ate Keleng selama empat hari di Sibolangit, sekitar dua jam dari Medan, mengajar kelas menulis, juga diskusi macam-macam, dari etnik Batak Karo sampai hak asasi manusia.
Yusuf Tarigan, direktur eksekutif Yayasan Ate Keleng, berharap kelas ini bisa mendorong peserta buat "suka membaca dan menulis." Ada belasan peserta ikutan.
Pengalaman tiga hari ini menyenangkan namun juga menyadarkan bahwa tantangannya besar sekali. Ia beda dengan kelas dengan pers mahasiswa, yang tentu sudah punya banyak anggota dengan pengalaman menulis jurnalistik. Ini juga beda dengan pengalaman saya mengajar di Pulau Jawa atau Pulau Sulawesi. Menariknya, makin hari makin banyak yang ikut di Sibolangit.
Yayasan Ate Keleng --dalam bahasa Karo artinya "kasih sayang"-- terletak dalam area "Taman Jubileum 100 Tahun Gereja Batak Karo Protestan." Ini gereja suku, yang menganggap dirinya dimulai pada 1890, di Tanah Karo.
Luas Taman Jubileum sekitar 50 hektar. Ada banyak penginapan buat retreat, panti sosial, rumah buat warga senior, bengkel perkayuan, tapi juga musium serta pepohonan yang tinggi. Suasana adem. Enak buat olahraga.
Yayasan Ate Keleng milik Gereja Batak Karo Prostestan. Ia bergerak di bidang credit union dengan anggota sekitar 50,000 orang, namun soal advokasi di bidang sosial dan politik, terutama di Sumatra Utara. Orang bisa jadi anggota credit union, dari macam-macam latar belakang, tak harus anggota gereja. Kinerja di bidang perekonomian akar rumput sudah terbukti kuat buat organisasi ini.
Gereja juga memiliki Bank Perkreditan Rakyat. Namanya, PT BPR Pijer Podi Kekelengen.
Saya perhatikan mereka suka pakai bahasa Karo. Keputusan yang baik tentu walau bahasa Karo penuturnya sedikit. Bahasa Karo juga punya aksara Karo. Ia memiliki kesamaan dengan aksara Sumatra lain termasuk Pakpak, Simalungun, Mandailing, Batak Toba, Kerinci dan Lampung.
Tulisan Karo terdiri dari 21 huruf. Namun beberapa orang bilang makin sedikit orang Karo yang bisa membaca, apalagi menulis, dalam aksara Karo.
Di Jakarta, kata Karo yang saya kenal adalah istilah BPK.
Babi Panggang Karo.
Papan nama BPK bersebaran dari Sibolangit sampai Medan. Orang Karo sering bergurau bahwa banyak juga penjual Babi Panggang Karo dari Batak Toba.
Saya diberitahu bahwa makanan khas Batak Toba adalah saksang. Ia masakan rebusan, yang gurih dan pedas, terbuat dari daging cincang babi atau anjing. Babi disingkat B2 (kata "babi" dengan dua huruf b) maka saksang, dalam bahasa Toba, disingkat B1 (kata anjing adalah biang, satu huruf b).
"Di Karo kita sebut lomok-lomok," kata Yuni Sartika Ginting dari Yayasan Ate Keleng.
Yusuf Tarigan mengatakan mereka hendak masuk ke era digital dengan website, media sosial dst. Ini memerlukan ketrampilan menulis thus juga bikin video dan audio.
Ini juga kesempatan saya baca buku, lihat kain tenun, pisau serta pedang, rumah adat serta lesung buat menumbuk biji-bijian. Ada musium Batak Karo dalam areal ini.
Di Sibolangit, saya berkali-kali diberitahu bahwa suku Karo punya lima marga utama, disebut Merga Silima: Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin-angin. Mereka masing-masing terdapat sub-sub merga. Dari kurator musium sampai sopir, dari penjual kopi sampai petani. Semuanya bisa cerita soal Merga Silima.
Rosfinelly Tarigan dari musium juga mengajak saya lihat rumah adat. Cantik sekali. Kini saya jadi mengerti bukan saja kelima marga utama tapi turunan dari masing-masing marga serta fungsi dari disain rumah adat.
Saya merasa berbesar hati melihat begitu banyak perempuan ikutan acara ini termasuk Ruth Sembiring Pandia, pendeta Batak Karo, yang dicalonkan menggantikan Tarigan pada 2024. Yuni Sartika Ginting setia dari awal sampai akhir, ibu seorang anak, bekerja keras buat Yayasan Ati Keleng.
Diskusinya, tentu saja, banyak soal hak perempuan, dari pendidikan buat anak dan perempuan, sampai kekerasan seksual terhadap perempuan. Saya menekankan kelas ini pada dua struktur penulisan; piramida terbalik dan feature.
Namun saya juga dengar cerita-cerita soal begu --"hantu" dalam bahasa Karo. Dari cerita Tarigan yang mendoakan exorcism orang agar dikeluarkan dari "roh jahat" sampai Priska Tarigan yang cerita kakeknya, seorang pejuang 1945, "bisa menghilang" dan dia sendiri bisa lihat "bayangan hitam."
Tiga malam saya tinggal disini, pagi jalan kaki, lantas ngopi dan diskusi. Selalu menekankan bahwa esensi jurnalisme adalah verifikasi. Sangat berkesan.