Bukan sekali atau dua, saya ditanya kapan terjemahan buku Race, Islam and Power (2019) ke bahasa Indonesia, akan dikerjakan? Bahkan ada orang yang menawarkan diri buat menterjemahkan.
Jawabnya, saya tak punya dana buat usaha ini. Usaha ini perlu uang buat membayar penterjemah, memeriksa semua kutipan awal dalam bahasa Indonesia, serta merapikannya lewat seorang editor. Ada juga yang usul bikin podcast. Ia juga tak sederhana, perlu editor, perlu sound bytes --tak bisa cukup monolog atau dialog.
Menariknya, ada organisasi yang tanya bila mereka bisa mengupayakan dana, penterjemahan, maupun penerbitan buku tersebut. Saya bilang silahkan namun perlu bicara dengan penerbit Monash University Publishing di Melbourne. Buku ini diterbitkan dari Melbourne. Dan Monash University Publishing punya sejumlah syarat buat penterjemahan --maupun pembuatan menjadi film dokumenter.
Mengapa saya menulis buku tersebut dalam bahasa Inggris?
Jawabannya sederhana.
Buku tersebut ditulis dengan banyak bahan dari liputan saya buat media internasional, tentu saja, dalam bahasa Inggris. Saya terutama banyak dapat bahan dari Human Rights Watch di New York, tempat saya bekerja sejak 2008.
Bandingkan dengan dua buku saya sebelumnya, Jurnalisme Sastrawi (2005 dengan co-editor Budi Setiyono) dan "Agama" Saya Adalah Jurnalisme (2011), yang saya tulis dalam bahasa Indonesia. Bahan-bahan kedua buku tersebut banyak saya dapatkan ketika saya bekerja buat Yayasan Pantau, antara lain bersama Setiyono, di Jakarta, antara 2000 sampai 2008.
Namun ada hampir satu bab dari buku Race, Islam and Power sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Aceh. Ia pernah dimuat di majalah Pantau soal perjalanan saya dari Pulau Sabang. Ia hanya sebagian saja dari bab Sumatra.
Ada seorang kawan mengatakan bahwa saya menulis buku ini dalam bahasa Inggris karena isinya keras. Saya kira tidak. Ini soal bahan-bahan saja.
Saya terbiasa menulis dalam dua bahasa tersebut lebih karena persoalan audiens --pembacanya siapa serta dimana ia akan dimuat.
Ketika mahasiswa di Salatiga (1984-1991), saya menulis dalam bahasa Indonesia, terutama buat harian Suara Merdeka di Semarang. Saya lantas bekerja buat harian The Jakarta Post (1993-1994) serta The Nation (1995-1999) di Bangkok, maka bahasa Inggris dipakai.
Selalu polanya begini. Tergantung media dimana saya menulis. Sampai sekarang, saya masih terbiasa menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Buku Race, Islam and Power saya tulis karena pesanan awal dari harian The Star di Kuala Lumpur pada 2003.
Liputan berupa perjalanan, yang dilengkapi dengan riset dan studi literatur, ternyata menarik perhatian The Star. Perdana Menteri Mahathir Mohamad memuji liputan tersebut, menurut Ng Poh Tip, orang nomor satu The Star. Ia juga diterbitkan lagi oleh Kyoto Review, sebuah penerbitan milik Center for Southeast Asian Studies dari Universitas Kyoto, Jepang.
Ia lantas berlanjut karena banyak riset saya buat Human Rights Watch, juga dalam bahasa Inggris. Saya memutuskan menulis buku tersebut dalam bahasa Inggris.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.