Kami lewat makam penyanyi rock Nike Ardila (1975-1995) di Ciamis. Maka kami pun mampir. Ini perjalanan santai, tak diburu waktu, jadi setiap kali Google Map memberitahu tempat menarik, kami akan diskusi.
Nike Ardila terkenal dengan laku "Bintang Kehidupan." Dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Bandung, mobilnya menabrak tembok. Umurnya tak sampai 21 tahun. Ini pemakaman keluarga. Makam Nike Ardila paling menonjol dalam area ini.
Saya senang lihat makam seorang perempuan diletakkan di tempat paling penting di kalangan keluarganya. Makam Nike Ardila mengingatkan saya pada makam RA Kartini Djojo Adhiningrat (1879-1904) di Mantingan, dekat Rembang.
Di Pangandaran, kami tinggal di sebuah hotel kecil dengan hanya enam kamar. Namanya Java Lagoon. Ini hotel yang menyenangkan. Kamar bersih dan rapi.
Bahan makanannya segar. Sederhana tapi enak. Nasi gorengnya enak. Steak tuna mereka yummy. Cumi goreng tepung juga enak. Bagian yang terbaik dari hotel ini adalah pemandangannya. Itu terletak sebelah laguna. Suasana tenang, hanya mendengarkan ombak.
Kami juga menginap di Hotel Menara Laut daerah downtown. Internet lelet. Sinyal telepon juga hanya satu strip dalam kamar kami. Isteri dan anak saya, yang memerlukan sambungan internet buat bekerja, terpaksa mencari-cari kedai kopi buat dapat sambungan stabil. Ini habiskan waktu serta menambah biaya.
Ada seekor anjing muda yang sering mengikuti keluarga saya. Ia suka berlarian di laguna ketika air surut pada pagi hari. Suasana enak buat bermain air.
Pantai timur Pangandaran adalah daerah nelayan. Ini tempat enak buat memilih makanan seafood. Ada banyak rumah makan dengan pilihan menu dari udang sampai ikan, dari cumi sampai kepiting.
Kami juga menelusuri sungai Cijulang di Pangandaran. Arus deras. Pakai jaket penyelamat. Anak-anak paling suka dengan acara ini. Ada dua jam kami menelusuri sungai dalam jarak hanya 4 km.
Ini campuran antara jalan kaki, berenang, merambat, mendaki, maupun pakai perahu pada bagian terakhir. Saya sempat hanyut dan menabrak batu. Ada luka goresan di tangan kanan, dengkul kanan biru-biru.
Norman dan Diana paling lincah. Sapariah Saturi juga kuatir. Saya hanyut karena kuatir Sapariah tak bisa menjangkau sebuah batu besar.
Kami naik mobil lihat pasar pelelangan ikan, serta ratusan kapal, di daerah Cikidang. Namun kecewa melihat pusat pendidikan soal hutan mangrove --tertera di Google Maps-- sudah habis, jadi jalan menuju Politeknik Kelautan dan Perikanan Pangandaran.
Cilacap dan Nusa Kambangan
Dari Pangandaran kami pindah ke Cilacap, langsung ke kampung nelayan, naik perahu ke sebelah timur Pulau Nusa Kambangan. Anggun Purnawati, seorang tour guide dari Kebumen, menemani kami di Cilacap dan Kebumen.
Sejak 1905, Pulau Nusa Kambangan jadi pulau penjara, namun orang jarang tahu bahwa ada beberapa benteng buatan Belanda buatan abad 19. Kami pergi melihat dua benteng. Mereka sudah tinggal reruntahan. Pohon-pohon raksasa tumbuh dari bangunan benteng. Saya jadi kembali lagi kelak dan lebih lama memotret dan melihat benteng-benteng ini.
Benteng-benteng Nusa Kambangan tampaknya dibuat untuk mempertahankan Pulau Jawa dari kemungkinan serangan lewat pantai selatan. Ada belasan benteng di pantai selatan Jawa.
Bila ingat pelajaran sejarah, pada 1942, Jepang hanya perlu sembilan hari buat menyerang Pulau Jawa dan mengambil kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda.
Benteng-benteng ini tak cukup buat pertahanan memadai terhadap Pulau Jawa. Militer Jepang sendiri banyak bikin bunker guna pertahanan Jawa dari pantai selatan.
Ini merupakan bukti bahwa Pulau Jawa adalah pulau terpenting di kepulauan Nusantara. Militer Jepang bersiap tempur lawan Sekutu yang diperkirakan akan menyerbu dari pantai selatan.
Namun pertahanan ala Jepang tak pernah bisa jadi bukti bila cara mereka lebih kuat dari Belanda. Di Tokyo, Kaisar Hirohito menyerah tanpa syarat kepada Sekutu sesudah Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir pada kota Hiroshima dan Nagasaki 7-9 Agustus 1945.
Pulau Nusa Kambangan sebelah timur adalah kawasan cagar alam. Masih ada macan tutul dan macan kumbang di kawasan ini. Sayangnya, Kementerian Hukum dan HAM memberikan izin penambangan kartz di pulau ini. Ada cerita orang disergap macan tutul karena daerah mereka dijadikan tambang.
Mbah Salio, seorang Kejawen, mengantar saya untuk masuk ke petapaan. Dia membakar kemenyan serta berdoa. Presiden Soeharto dulu pernah ziarah ke pertapaan kuno ini. Saya baca buku David Jenkins berjudul Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945 guna tahu perjalanan spiritual Soeharto dari desa Kemusuk di Yogyakarta (kelahiran 1921) hingga jadi presiden di Jakarta.
Petapaan ini terletak sebelah vihara Buddha, yang kosong tanpa penjaga (mungkin sedang pergi) kecuali beberapa anjing. Di Jambe Lima, kami dapat kunci untuk masuk ke kamar dalam dimana ada lukisan Ratu Roro Kidul serta Petruk, Gareng dan Bagong. Atau mungkin Semar?
Mbah Salio juga mengajak saya pergi ke Gunung Srandil dekat Jambe Lima. Dia berdoa di sana dalam bahasa Jawa. Dia sebut nama saya dalam doanya. Sesudah berdoa, dia tanya apa yang hendak saya mintakan.
Saya ingin prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan dihormati di Indonesia. Saya harap pasal penodaan agama dihapus. Saya harap peraturan rumah ibadah ditinjau ulang dan dibuat tanpa veto mayoritas terhadap minoritas.
Dia terdiam ... lantas bakar kemenyan.
Acara terakhir, minum teh dengan daun tanaman sendiri.