SAYA usul setiap kali Anda menulis istilah "tes keperawanan," selalu ketik di antara tanda petik. Ini mendasar karena kegiatan memegang vagina serta memeriksa hymen, yang merendahkan perempuan tsb, sebenarnya hanya ilusi.
Praktek tsb tidak ada dasar keilmuannya. Menurut World Health Organisation, tak ada metode yang bisa membuktikan seorang perempuan, maupun lelaki, pernah berhubungan seks atau tidak. Ia menerangkan, "... the appearance of a hymen is not a reliable indication of intercourse and there is no known examination that can prove a history of vaginal intercourse."
Istilah hymen sebaiknya juga ditulis himen dalam Bahasa Indonesia --bukan "selaput dara."
Kenapa?
Kata "dara" (perawan) bisa dikonotasikan dengan "darah" yang keluar dari vagina bila perempuan berhubungan seks pertama kali. Ini juga ilusi. Saya dulu juga percaya ini sampai saya belajar dan membaca, sejak 2014 ditugaskan Human Rights Watch, untuk meneliti praktek ini di Indonesia.
Namun ilusi tsb dipercaya banyak orang di Indonesia --termasuk para lelaki (senior) yang mengambil keputusan soal praktek ini-- dan dijalankan oleh berbagai dokter, suka atau tidak suka, dengan berbagai traumanya pada perempuan korban. Saya seringkali mendengar berbagai pembelaan para lelaki yang membela praktek ini, dari yang bisa diterima akal (jujur bilang ini keputusan organisasi) sampai yang muter-muter, banyak bohong, bikin perut mules.
Praktek ini merendahkan perempuan, bikin trauma, dan diskriminatif. Ia harus dihentikan. Human Rights Watch, berkat riset dan masukan dari dua peneliti, Aruna Kashyap dan Nisha Varia, mewajibkan pengetikan "virginity test" dengan tanda petik.
Laporan Human Rights Watch
Pada tahun 2014, Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang praktik tersebut di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia dengan wawancara korban di beberapa provinsi termasuk polwan yang mengalaminya pada 1965.
Pada Januari 2015, Human Rights Watch bersama Nihayatul Wafiroh (jilbab kuning), politikus Partai Kebangkitan Bangsa asal Banyuwangi, bertemu dengan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia guna membicarakan praktek tersebut. Wafiroh mengangkat persoalan ini dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada tahun 2015, Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang praktik di lingkungan militer Indonesia – angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara – di mana ia minta perhatian 16 angkatan bersenjata dari 16 negara sahabat untuk angkat bicara. Mereka hadir dalam sebuah pertemuan International Committee of Military Medicine di Bali. Ada 23 korban yang buka suara dalam wawancara dengan Human Rights Watch dari ketiga angkatan.
Pada tahun 2018, Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang bagaimana Ikatan Dokter Indonesia serta Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia tetap diam, tak mengeluarkan sikap soal praktek yang merendahkan perempuan dan tanpa dasar keilmuan tersebut.
Pada Mei 2018, Human Rights Watch beserta Brigadir Jenderal Sri Rumiati (batik merah putih), seorang pensiunan polwan yang tanpa lelah protes soal praktek ini sejak 2006, bertemu dengan pengurus Ikatan Dokter Indonesia di Jakarta. Individu dokter sering beri informasi kepada kami namun organisasi-organisasi mereka bungkam.
Daniel Tjen bilang organisasi militer adalah organisasi top down. Para dokter militer, yang sadar bahwa praktek ini tak ada dasar keilmuannya, tak bisa memutuskan praktek ini dihentikan. Dia berharap semua pihak bekerja sama untuk advokasi persoalan ini.
Komnas Perempuan memainkan peran sangat penting dalam advokasi terhadap dihentikannya praktek ini. Beberapa tokoh perempuan juga datang termasuk Julia Suryakusuma, kolumnis Jakarta Post, yang besoknya berulang tahun.
Pada Juli 2021, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa memerintahkan agar semua praktek ini dihentikan. Perkasa mengatakan para pelamar pekerjaan dalam Angkatan Darat seharusnya hanya boleh dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk ambil bagian dalam latihan fisik. Dia menambahkan bahwa permohonan yang diajukan anggota Angkatan Darat laki-laki untuk menikah hanya mencakup “urusan administrasi” tanpa memerlukan pemeriksaan medis atas calon mempelainya.
Sebenarnya, secara lebih diam-diam, Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian Indonesia sudah hentikan praktek ini masing-masing pada 2014 dan 2015 sesudah muncul laporan Human Rights Watch. Namun keputusan tersebut tak begitu banyak diliput media.
Andika Perkasa lantas diangkat sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia. Perkasa memerintahkan agar keputusan tersebut dijalankan juga buat Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pada April 2022, semua matra dalam militer Indonesia sudah resmi hentikan praktek "tes keperawanan" yang langgar hak perempuan dan tidak ilmiah ini.