Kurniawati Hong dari Rumah Alam Bahagia, Jakarta, mendidik saya soal kopi hari ini. Hong seorang Q Grader –penguji kopi dengan sertifikat internasional dari Coffee Quality Institute, California.
Mulai dari penanaman, pengolahan sampai penyeduhan, Hong bilang produk kopi sekitar 60 persen tergantung dari pekerjaan di hulu, 30 persen dari sanggrai (roasting), dan 10 persen dari penyeduhan. Konsumen kebanyakan lihat proses penyeduhan di kedai kopi. Pertanian dan pengolahan jauh lebih besar pengaruhnya.
Agar kesegaran kopi terjaga, kedai kopi biasanya beli green bean (kacang hijau) serta disanggrai dan digiling di kedai. Kopi bubuk membuat aroma berkurang.
Di Indonesia, penggemar kopi usia muda lebih suka aroma buah-buahan yang tak disanggrai gelap (dark roasting).
Saya datang ke tempatnya untuk bawa contoh bubuk kopi dari petani dari Bener Meriah, Aceh. Kopi Gayo tentu. Hong menyeduhnya. Hong juga kasih contoh dua kopi lain. Semua disajikan kopi murni, tanpa gula, tanpa susu, tanpa campuran lain.
Total saya minum tiga gelas kecil kopi dari tiga sumber yang berbeda termasuk kopi kiriman dari Gayo. Dua kopi lain dari perkebunan kopi yang dibantu Rumah Alam Bahagia. Salah satunya aroma fruity ... macam nangka. Hong bilang penting untuk bisa menikmati kopi tanpa terganggu dengan rasa pahit karena sanggrai terlalu hangus.
Saya sendiri dikenalkan dengan Kurniawati oleh Tosca Santoso dari perkebunan kopi Sarongge. Santoso dulu wartawan majalah Forum Keadilan dan ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994. Dia mendirikan Kantor Berita Radio, juga ikut bikin Partai Amanat Nasional, lantas pensiun dan mendampingi para petani di Sarongge serta menulis novel "Sarongge."
Senang juga belajar soal kopi. Rumah Alam Bahagia sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan etika serta pelestarian lingkungan hidup. Mereka promosi makanan nabati saja atau vegetarian.