Bab pertama dibuka dengan pentingnya keamanan bagi pewawancara maupun orang yang diwawancara. Wawancara tentu tak perlu membuat reporter maupun korban menderita.
Bab kedua soal “informed consent” atau kesediaan sumber memberikan keterangan dengan akurat serta mendapat informasi yang cukup soal tujuan dan metode wawancara. Reporter tentu tak boleh mencuri informasi. Semua harus transparan. Sumber harus tahu dimana naskah akan terbit. Berapa panjang? Kapan kira-kira terbit?
Consent ini bukan perkara sederhana. Sumber yang bilang bersedia diwawancarai harus benar yakin bahwa dia tahu akan tujuan wawancara. Pewawancara tentu tak berharap ketika kelak ada kontroversi dari hasil wawancara, sumber lantas mengelak dan bilang tidak bilang sesuai apa yang pernah dia sampaikan.
Bab ketiga soal wawancara dalam keadaan khusus termasuk multimedia (kamera video atau biasa), interview jarak jauh, hubungan kelembagaan (baik antara reporter dengan organisasinya maupun sumber dengan organisasi, perusahaan atau komunitasnya), maupun kawasan konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan.
Bab keempat paling tebal. Ini soal wawancara untuk populasi khusus, misalnya, anak-anak, anak dengan disabilitas, warga senior, individu LGBT, pekerja seks, korban kekerasan domestik, penyintas penyiksaan, perempuan korban kekerasan seksual, anak lelaki dan lelaki korban kekerasan seksual maupun persyaratan bila lelaki harus wawancara perempuan korban kekerasan seksual.
Saya sempat tercekat ketika baca bagian soal bagaimana wawancara perempuan yang hamil karena diperkosa. Bagaimana tahap pendekatan? Bagaimana tahap wawancara? Apa beda bila si perempuan masih hamil dan sudah melahirkan? Ada perkara kemungkinan aborsi dalam wawancara?
Ini belum lagi dimensi terjemahan. Lost in translation. Banyak persoalan psikologi dibahas dalam manual ini. Saya kenal Nisha Varia, peneliti hak perempuan yang menulis manual ini, tentu saja, dengan dukungan dari organisasi Human Rights Watch.
Sebagai seorang lelaki heteroseksual serta lelaki dewasa, saya harus sering buka bab ini bila sedang bekerja dengan sumber perempuan, sumber anak, sumber homoseksual, yang merupakan korban kekerasan. Bab ini juga singgung soal sumber yang trauma karena kekerasan (terorisme, perang) atau bencana (kebakaran, banjir, longsor).
Saya dilatih untuk bisa wawancara perempuan korban kekerasan seksual, termasuk apa yang disebut "tes keperawanan" di Indonesia. Ini bukan praktek yang mudah karena memerlukan berbagai macam tahap yang tidak biasa dalam wawancara biasa. Ini juga makan waktu karena setiap tahap memerlukan waktu untuk menunggu.
Bab lain soal stress dan ketahanan (resilience) dari staf Human Rights Watch. Manual ini memang dibikin untuk internal organisasi kami. Mereka sangat hati-hati dengan kesehatan jiwa (dan badan) dari karyawan mereka. Wawancara dengan orang-orang yang mengalami trauma juga bisa sebabkan trauma sekunder.
Kadang saya pikir mengapa persoalan kekerasan terhadap perempuan sering tak bisa diungkap karena banyak orang macam saya --peneliti, polisi, jaksa, wartawan dan seterusnya-- sering tak punya waktu buat menunggu berbagai tahap ini. Para korban mengalami trauma. Mereka takut. Mereka ingin melupakan kekeerasan seksual yang mereka alami.
Ini manual bagus buat siapa pun yang sering bertanya dalam kehidupan mereka.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.