Jakarta, 31 Maret 2020 |
Bagaimana mengenang tahun pandemi 2020?
Sudah 10 bulan kami sekeluarga bekerja dan belajar dari rumah di Jakarta. Diana mulai tak masuk sekolah sejak 12 Maret 2020. Dia naik dari kelas dua ke kelas tiga tanpa pernah bertemu guru-guru secara langsung. Diana secara cepat harus belajar komputer, dari memahami password sampai berbagai program: Google, Minecraft, Outlook, Zoom.
Norman bekerja sebagai reporter The Jakarta Post dari rumah walau terkadang harus turun ke lapangan. Sapariah, selain tetap bekerja sebagai redaktur Mongabay, menemukan kegemaran berkebun, dari menanam cabe, mint, rosella, telang ungu, tomat sampai melakukan perkawinan berbagai tanaman keras (berhasil) serta memelihara ulat (belum berhasil).
Setiap hari kami memakai jasa Grab atau Gojek serta merasakan manfaat pekerja transportasi. Entah bagaimana pandemi ini akan lebih menulari banyak orang tanpa pekerja transportasi. Kami tentu berterima kasih dengan para pekerja substansial macam ini –sektor energi, keamanan, kebersihan, produksi makanan dan sebagainya—yang tetap bekerja karena diperlukan.
Kami menghargai para tenaga kesehatan dan ilmuwan yang berjuang mengatasi pandemi. Saya menelepon beberapa kerabat dan kenalan yang bekerja di sektor kesehatan pada 31 Desember 2020. Saya mengucapkan terima kasih. Setiap kali membaca dokter atau perawat meninggal, saya selalu memikirkan keluarga mereka. Saya bersyukur dengan kecepatan ilmuwan menemukan vaksin coronavirus.
Tahun 2020, seperti banyak orang, saya juga kehilangan kawan yang meninggal dunia, entah karena coronavirus atau berbagai penyakit lain, yang terdampak langsung dari ketegangan dunia kesehatan kita dengan pandemi.
Seorang kawan curhat saat memberhentikan semua karyawan dari bisnis kecilnya. Dia menangis. Bukan karena dia menguras semua tabungan dan jual beberapa barang berharga tapi karena harus berpisah dengan belasan karyawannya.
“Hanya tinggal jual rumah yang belum aku kerjakan,” katanya.
Pandemi ini memang menghantam keras entah berapa ratus juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, setidaknya 29 juta buruh kehilangan seluruh atau sebagian penghasilan mereka, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pada 2020, Dewan Perwakilan Rakyat menghasilkan undang-undang cipta kerja --biasa disebut omnibus law. Ia mendapat tentangan dari berbagai serikat buruh, mahasiswa maupun organisasi adat. Ada puluhan kota menyaksikan demonstrasi anti-omnibus law. Saya berpendapat menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi adalah tujuan penting dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, tapi semua itu seharusnya tidak mengorbankan hak-hak buruh, perempuan dan masyarakat adat.
Saya berharap politisi dan birokrat bekerja lebih keras bantu buruh, masyarakat adat dan minoritas lain lewat berbagai peraturan pemerintah yang sedang dibuat berdasarkan omnibus law.
Pandemi juga mengingatkan saya bahwa banyak hal tak bisa diukur dengan uang. Kesehatan, kejujuran, kemurahan hati, kebersihan air, tanah dan udara, dan banyak hal lain tak bisa diukur dengan uang.
Sue Perkins dari BBC Earth dengan program The Mekong River mengingatkan saya soal bagaimana membangun beberapa dam di sungai mempengaruhi hidup 50 juta orang di Yunnan dan Tibet (Tiongkok) maupun Laos, Kamboja dan Vietnam.
Saya pribadi kehilangan kesempatan berjalan kaki. Ini kebiasaan yang sudah bertahun-tahun saya lakukan. Minimal 10,000 langkah setiap hari. Saya mencoba mengatasi dengan naik turun tangga. Namun ada udara pengap dan debu. Gantinya, saya setiap hari berusaha bekerja di kebun isteri, menyiram tanaman, mengolah kompos, memberi makan ikan lele dst.
Hikmah pandemi adalah udara Jakarta jadi lebih bersih. Sudah beberapa dekade saya jarang melihat langit bersih di Jakarta. Kini setiap hari saya menikmati udara bersih, apalagi sesudah hujan. Hanya polusi suara dan cahaya yang tak berkurang di Jakarta. Artinya, 10 pembangkit listrik tenaga batubara sekitar Jakarta juga tetap bikin polusi.
Pandemi ini seharusnya mendidik kita buat lebih menjaga lingkungan hidup. Bill Gates menulis, "COVID-19 is awful. Climate change could be worse." Kita seharusnya hidup lebih hemat, punya barang dan jasa secukupnya, serta memakai energi tak berlebihan. Istilahnya, carbon footprint semua orang, di seluruh dunia, harus diturunkan demi iklim global agar tak makin panas. Arsitektur, pencahayaan malam hari, produksi energi, transportasi dan seterusnya perlu dibikin ramah lingkungan.
Tahun 2021, saya berharap vaksinasi bisa segera dijalankan seluas mungkin di Indonesia. Kalau memantau penjelasan pemerintah, saya kuatir kekebalan kawanan, sekitar 70-80 persen dari populasi, baru tercapai pada 2022 di Indonesia. Vaksinasi buat kepulauan seluas Indonesia tentu memerlukan tenaga dan waktu lama.
Kita masih perlu memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak sampai 2022. Saya tak berharap bisa bepergian pada 2021 --carbon footprint saya tak naik tentu. Saya hendak memakai waktu panjang ini buat memikirkan dan menulis soal bagaimana bumi bisa dikelola dengan lebih ramah lingkungan.
Selamat tahun baru 2021 dan semoga Anda segera bisa dapat vaksinasi.
Salam dari Palmerah.
Andreas Harsono
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.