Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Hatta menulis, “… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas… Kalau Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.”
Pada 18 Agustus pagi hari, Hatta mengajak beberapa tokoh Islam untuk membicarakan masalah tersebut. Dia menyatakan, "Supaya kita jangan terpecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa."
Ketiga orang itu adalah Piet Mamahit, Moeljo Hastrodipoero dan Tan Tjeng Bok. Saya kira mereka dipilih oleh kelompok mahasiswa Prapatan 10 karena ketiga mahasiswa itu termasuk yang bertanggungjawab untuk urusan politik dan keamanan.
Pada 14 Agustus 1945, di asrama Prapatan 10 --nama resminya Ika Daigaku-- diadakan rapat mahasiswa. Mereka menunjuk Eri Soedewo sebagai komandan. Soejono Martosewojo sebagai pemimpin markas. Tujuannya, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sesudah takluknya Jepang kepada Sekutu.
Ketua bagian politik adalah Teuku Tadjoeoedin, pemuda Aceh, dengan dua anggota Moeljo dan Mamahit. Moeljo orang Jawa, Mamahit orang Minahasa. Bagian keamanan ada dua orang: Soeparman dan Tan Tjeng Bok. Oscar Eduard Engelen masuk bagian propaganda. Mereka kebanyakan mahasiswa kedokteran.
Pada rapat 17 Agustus, mereka bicara dengan rombongan dari Indonesia Timur pimpinan Sam Ratulangi, yang datang ke Prapatan 10, dimana rombongan ini bicara serius soal kekeliruan memakai unsur syariah Islam.
Mahasiswa lantas menelepon Moh. Hatta. Hatta bersedia menemui mereka pukul 17:00. Mahasiswa ini mengutus ketiga orang itu menemui Hatta pada pukul 17:00. Pertemuannya berlangsung cukup singkat. Intinya, mereka menyampaikan keberatan Indonesia Timur terhadap tujuh kata itu serta syarat presiden harus beragama Islam. Bila ia tetap dimasukkan, kemungkinan Indonesia Timur tak mau bergabung dengan Republik Indonesia.
Hatta setuju dan janji akan bicara. Kita tahu sisanya adalah sejarah.
Hatta setuju dan janji akan bicara. Kita tahu sisanya adalah sejarah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.