Lokasi makam Sunda Wiwitan ©2020 Andreas Harsono/Human Rights Watch
Minoritas terancam pasal penodaan agama, intimidasi, dan pengabaian negara Indonesia.
ANDREAS HARSONO
September lalu, saya naik mobil selama empat jam dari Jakarta ke Kuningan, sebuah kota kecil di Jawa Barat, istirahat semalam di sebuah hotel bergaya Jawa di kaki gunung Ciremai. Saat tiba di Cisantana, saya jalan kaki, menyusuri jalan batu, menuju Gua Maria Sawer Rahmat. Situs ini dilengkapi Jalan Salib—rute yang dipercaya banyak orang Kristen, ditempuh Yesus sambil memikul salib dari Yerusalem ke Bukit Golgota. Penerangannya, dukung jaringan listrik dari sebuah pesantren. Ini kejutan yang menyenangkan.
Gua Maria ini berada di Jawa Barat, salah satu provinsi Muslim konservatif di Indonesia, di mana serangan-serangan terhadap orang Kristen, Ahmadiyah, dan agama-agama minoritas lain sering jadi berita nasional. Tak jarang pula terjadi serangan terhadap hak-hak perempuan, pesta-pesta komunitas gay, dan kerumunan transpuan.
Saya berjalan melewati kebun alpukat, pohon pisang, ladang jagung, dan akhirnya tiba di sebuah tanah terbuka. Beberapa lelaki dan perempuan Sunda sedang kerja membangun sebuah makam.
Mereka ramah sekali. “Sepi mah hari ini,” kata seorang lelaki tua. Mereka sedang beristirahat dan mengajak saya duduk dan makan dalam pondok bambu. Ada tungku tanah serta ubi rebus, jagung rebus, dan air panas.
Seorang perempuan memperlihatkan video di teleponnya kepada saya: lebih dari 100 relawan, mereka mengangkut dan mengangkat batu-batu raksasa dari sebuah sungai dekat situ ke tanah lapang dengan galah-galah kayu dan bambu. Hanya ada jalan setapak. Mereka menyebut makam itu “Batu Satangtung” atau “Batu Setinggi Orang” --tempat peristirahatan terakhir bagi sesepuh mereka dan istrinya.
Saya membayangkan, satu atau dua ribu tahun lalu, orang-orang di Inggris mungkin membuat Stonehenge dengan cara serupa.
Orang Sunda berasal dari Jawa Barat, sebuah provinsi berpenduduk sekitar 40 juta jiwa. Mereka adalah suku terbesar kedua di Indonesia, setelah etnis Jawa. Para relawan tersebut orang Sunda, juga memeluk agama Sunda Wiwitan. Artinya, “Sunda tua” atau “Sunda asli.” Para pemeluknya meyakini, Sunda Wiwitan jadi jalan hidup warga Sunda sebelum kedatangan Hindu dan Islam.
Kenapa mereka membangun makam di tanah lapang ini?
Ela Romlah, perempuan yang menunjukkan video, bilang bahwa pada 1937-38 Gunung Ciremai diperkirakan akan meletus. Tokoh Sunda Wiwitan waktu itu, Pangeran Madrais, beserta para pengikutnya mendaki gunung, membawa seperangkat gamelan dan main musik berbulan-bulan. Mereka percaya musik dan doa akan membatalkan letusan gunung.
“Rama Madrais sudah sangat sepuh … ditandu secara bergantian ke Ciremai. Di kaki gunung jadi tempat istirahat, ya di sini, di Curug Goong,” kata Ela.
Pangeran Madrais pemuka yang kharismatik. Dia mengaji ajaran Sunda dan Jawa Kuno. Dia mendirikan komunitas Sunda Wiwitan pada 1925 dengan nama resmi “Agama Djawa Sunda.”
Pejabat-pejabat Hindia Belanda, bisa dibayangkan, tak suka dengan kegiatan independen mereka. Beberapa pejabat berupaya desak mereka turun gunung. Namun Gunung Ciremai tak jadi meletus. Mereka pun diam saja ketika rombongan Sunda Wiwitan tersebut membeli tanah di Curug Goong dan membangun sebuah pondok peristirahatan.
Pada Agustus 1945, saat Perang Dunia II berakhir, Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia mendukung Soekarno dan Mohamad Hatta menyatakan kemerdekaan. BPUPKI menyusun Undang-Undang Dasar 1945 yang berjanji melindungi segenap rakyat Indonesia dengan setara, bebas beribadah dan memeluk agama serta iman masing-masing. Namun mereka juga bikin kompromi politik, antara Soekarno dan Hatta serta beberapa politisi Muslim, termasuk Wahid Hasjim, ketua Nahdlatul Ulama. Kesepakatannya, kurang lebih tak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam namun juga bukan negara sekuler. Mereka sepakat membentuk Kementerian Agama sebagai “jembatan antara umat Islam dan negara Indonesia.” Pembukaan UUD 1945 diisi dengan apa yang disebut sebagai Pancasila.
Di Garut, sekitar empat jam perjalanan bermobil dari Curug Goong, sebuah milisi Islamis tak puas dengan perjanjian antara Indonesia dan Belanda maupun kesepakatan Pancasila. Mereka memproklamasikan Darul Islam pada Agustus 1949, dengan ikrar menerapkan “syariat Islam” di Indonesia. Dalam rentang 1950 hingga 1958, Darul Islam menggelar sebuah kampanye gerilya, yang gagal tapi didukung sebagian rakyat Jawa Barat. Sasaran mereka bukan hanya tentara Indonesia, tapi juga kelompok-kelompok agama minoritas.
Di Jakarta, Menteri Agama Wahid Hasjim menerbitkan Peraturan Menteri Agama pada 1952 untuk memisahkan antara “kepercayaan” dan “agama.” Secara resmi, dalam kosa kata bahasa Indonesia, berbagai agama minoritas dan gerakan spiritual disebut sebagai “aliran kepercayaan.”
Wahid menyatakan kepercayaan adalah “suatu paham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa.”
Agama diartikan berdasarkan pemahaman monoteistik atau “Ketuhanan yang Maha Esa.” Apabila sebuah komunitas hendak dikategorikan sebagai agama, ia harus “menganut akidah monoteistik yang diakui secara internasional” serta “diajarkan oleh seorang nabi melalui kitab suci.” Prinsip monoteistik tersebut artinya tak menganggap agama-agama politeistik termasuk Hindu maupun agama-agama lain termasuk Buddha, Konghucu, Baha’i, Zoroaster, dan ratusan agama lokal serta gerakan spiritual di Indonesia.
Di Jawa Barat, Sunda Wiwitan menghadapi dua ancaman serius: Darul Islam, yang berulang kali mengintimidasi dan menyerang mereka, serta Kementerian Agama, yang berupaya mendorong “agama-agama terbelakang” seperti ke haribaan monoteisme.
Pada 1954, gerombolan Darul Islam menyerang pusat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan. “Paseban pernah dibakar (rumah ibadah) mujur berhasil padam bagian belakang,” kata Dewi Kanti, cicit Madrais. “Warga laki-laki sering diintimidasi, sweeping untuk dikhitan … dirampok sekitar 1955.”
Menurut Ela Romlah, yang belajar dari mertuanya, ada seorang lelaki Sunda Wiwitan, bernama Suanta Alka, ketemu Darul Islam di lembah dan disuruh bawa kerbau ke gunung. Dia ditemukan meninggal dengan luka tembak di leher. Ada juga Amsor diculik tidak diketahui rimbanya. Ada lagi namanya Mastara ditawan dan disuruh ambil beras kemudian dibunuh. Astra Asminah sekeluarga jadi korban.
Intimidasi dan kekerasan serupa juga terjadi di kabupaten-kabupaten tetangga: Tasikmalaya, Banjar, dan Garut. Kakek Dewi, Pangeran Tedja Buwana, penerus Madrais, sempat mengungsi dari Kuningan ke Bandung.
Darul Islam juga mengirimkan sejumlah militan ke Jakarta. Pada 30 November 1957, seorang militan Darul Islam melempar granat dalam sebuah acara sekolah yang dihadiri Presiden Soekarno. Enam murid sekolah tewas tapi Soekarno selamat.
Ketika secara militer terdesak, pada 14 Mei 1962, delapan militan Darul Islam menyelinap di antara jemaah salat Idul Adha di halaman Istana Negara untuk menembak Soekarno. Peluru meleset dan mengenai seorang pengawal presiden dan seorang politikus.
Kalangan Muslim kolot terus bergiat memojokkan agama lokal dan gerakan spiritual. Untuk menenangkan mereka, Soekarno melarang komunitas Freemason Indonesia (Vrijmetselaren-Loge) beserta organisasi yang berinduk padanya termasuk Yayasan Raden Saleh, serta enam kelompok lain: organisasi Baha’i Indonesia, Divine Life Society, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Order Rosae Crucis, Rotary Club, dan Liga Demokrasi –sebuah organisasi sosial yang dianggap kritis terhadap Soekarno. Rotary Club dituduh sebagai kelompok Zionis. Semuanya, teori konspirasi.
Pada Juni 1964, pemerintah Kuningan menyatakan pernikahan Sunda Wiwitan tidak sah. Kantor Kejaksaan Kuningan menahan sembilan penganut Sunda Wiwitan —seorang agamawan dan delapan pengantin muda— selama beberapa bulan.
Suasana makin genting. Tedja Buwana, yang telah kembali dari Bandung, memutuskan masuk Katolik dan mengubah paseban menjadi gereja. Ada 5.000 orang Sunda Wiwitan mengikuti langkahnya, menurut Cornelius Iman Sukmana dalam buku tentang Sunda Wiwitan dan Gereja Katolik.
“Itu keputusan penting. Kakek saya menyelamatkan ribuan anggota kami dari tuduhan ateisme,” kata Dewi Kanti, merujuk pembantaian besar-besaran terhadap orang komunis pada 1965-1969. “Entah apa yang akan terjadi seandainya tidak dilakukan.”
Beberapa dekade kemudian, setelah suasana lebih tenang, banyak di antara mereka, termasuk Dewi Kanti, secara terbuka, walau tak resmi, kembali ke Sunda Wiwitan. Namun banyak juga yang tetap ikut misa Minggu dan mengenakan kalung salib. Beberapa dari mereka juga mengantongi liontin Sunda Wiwitan (berbentuk gunung dengan seekor garuda dan dua naga).
“Di Kuningan, wajar saja ada beberapa agama dalam satu keluarga,” kata seorang pedagang dekat Gua Maria Sawer Rahmat.
Ketika meninggalkan Batu Satangtung, saya berpikir perpindahan agama dan perpindahan lagi ini membuktikan bahwa identitas keagamaan bukan zero sum game. Artinya, seseorang yang meninggalkan suatu kepercayaan dan masuk ke agama atau kepercayaan lain tak berarti bahwa agama pertama menjadi nol. Identitas sering dibayangkan sebagai sebuah wadah dengan volume tetap; seolah-olah orang hanya bisa memilih satu dari sekian identitas. Warga Sunda Wiwitan menunjukkan bahwa wadah itu dapat diperbesar dan orang bisa memiliki berbagai identitas. Saya seharusnya tak perlu heran menemukan Jalan Salib dan pesantren berdekatan dengan makam sesepuh Sunda Wiwitan.
Pasal Penodaan Agama 1965
Di Kuningan, saya mendatangi kawasan paseban, melihat aula kayu yang molek sembari minum teh herbal dengan racikan beragam dari lemon dan jahe sambil berbincang dengan Okky Satrio Djati. Dia orang Jawa, pemeluk Katolik, pasangan dari Dewi Kanti, menikah hampir dua dekade silam.
Okky Satrio Djati dan saya pernah bekerja bersama dalam sebuah organisasi media zaman Soeharto, menjalakan kantor berita alternatif dan memakai server mobile. Djati pergi ke Kuningan pada 1998, ketika Presiden Soeharto menghadapi unjuk rasa besar-besaran saat krisis ekonomi Asia. Dia turut menyembunyikan sejumlah aktivis politik yang dicari aparat keamanan. Di sana dia bertemu Dewi Kanti.
Djati sekarang pemeluk Sunda Wiwitan, berbicara dalam bahasa Sunda, menyalakan dupa dan kadang-kadang semedi tengah malam di gunung terdekat.
“Dia lebih Sunda daripada saya,” ujar Kanti, tertawa.
Djati mendukung istrinya menghadapi diskriminasi yang kerap dialami anggota-anggota Sunda Wiwitan. “Suami saya memilih Katolik sebagai agama resminya,” kata Kanti. “Tapi dia beribadah Kejawen. Kalau kami bersikeras untuk menikah sesuai agama-agama (asli) kami, anak-anak kami tidak bakal mendapat akta kelahiran, atau setidaknya, mendapat akta tanpa nama suami saya.”
Dalam sistem hukum Indonesia, penganut agama etnis tak dapat mencantumkan “kepercayaan” mereka pada kolom “agama” di KTP. Kalau ingin menikah secara legal, mereka harus memilih salah satu dari enam agama yang dilindungi negara. Mereka bisa saja mengosongkan kolom “agama” di KTP namun kalau menikah dan punya anak, Kantor Catatan Sipil takkan mengakui pernikahan mereka, thus akte kelahiran si anak, tak terdapat nama si ayah.
Paseban Sunda Wiwitan di Kuningan, dulu juga digunakan sebagai gereja Katolik © 2020 Andreas Harsono/Human Rights Watch
Persoalan kelompok minoritas agama di Indonesia mendapatkan diskriminasi lagi pada Januari 1965 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah penetapan yang melarang siapa pun mengeluarkan perasaan atau melakukan “perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.” Maksudnya, menurut Soekarno, siapa pun akan dihukum maksimal lima tahun penjara bila membuat “orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Soekarno menyebut enam agama yang dilindungi dengan penetapan tersebut: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Penetapan tersebut juga dijadikan pasal 156(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dampak dari penetapan ini mengerikan.
Setelah menggeser Soekarno, pemerintahan Soeharto menerapkan peraturan Menteri Agama 1952, yang mensyaratkan “agama” untuk memiliki kitab suci. Ujung-ujungnya banyak kisah ajaib soal agama-agama non-monoteistik menyesuaikan diri.
Di Kalimantan, tetua Dayak menciptakan Panaturan –sekumpulan ajaran leluhur Dayak– dalam bentuk “sebuah kitab suci.” Dibilang perlu ada rohaniwan maka tetua Dayak bikin berbagai pelatihan buat pisur atau badewa. Ritual yang sebelumnya digelar di hutan atau rumah dipindahkan ke rumah ibadah yang disebut Balai Basarah. Terpenting, para pemuka agama Kaharingan terpaksa menyesuaikan agama mereka dengan salah satu dari enam agama resmi. Mereka memilih Hindu, dan terciptalah “Hindu Kaharingan.” Tapi jangan coba-coba tanya mereka soal Ganesha atau karma.
Presiden Soeharto bicara soal Kejawen dan Islam yang dianutnya dalam biografi terbitan 1989. Soeharto menjelaskan masyarakat Jawa terbiasa dengan sinkretisme. Dia merayakan hari raya Islam dan semedi di tempat suci saat hendak mengambil keputusan penting.
Pada 7 September 1974, tiga bulan sebelum Indonesia menyerbu Timor Timur, Perdana Menteri Australia Gough Whitlam menemui Soeharto di sebuah villa di kaki Gunung Dieng, dekat Gua Semar di mana Soeharto bersemadi. Semar adalah karakter perwayangan Jawa yang dikagumi Soeharto. Sampai sekarang Gua Semar dianggap keramat.
Pada 2019, saya sempat mendatangi Gua Semar (terkunci) dan villa (jadi museum) yang memajang gambar-gambar pertemuan Soeharto dengan Whitlam. Soeharto punya sikap terbuka terhadap agama-agama etnis.
Pada 1978, Soeharto membentuk direktorat baru dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengurusi agama-agama suku atau kepercayaan.
Dia menjelaskan keputusan tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat, “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan dengan agama. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kenyataan budaya yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa kita.”
Villa pertemuan Soeharto-Whitlam kini jadi museum ©2020 Andreas Harsono/Human Rights Watch
Keputusan bahwa “kepercayaan” diletakkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan –bukan Kementerian Agama– menunjukkan bahwa organisasi-organisasi Islam menentang agama-agama lokal buat dianggap sebagai agama. Mereka keberatan “kepercayaan” masuk dalam ranah Kementerian Agama. Salah satu alasan Majelis Ulama Indonesia menentang “kepercayaan” adalah kemungkinan data kependudukan akan bergeser, persentase “umat Islam” yang mayoritas (88%) bisa merosot, setidaknya di beberapa daerah.
Di Kuningan, suasana yang relatif stabil sesudah pidato Soeharto mendorong warga Sunda Wiwitan kembali terbuka soal agama asli mereka. Sebagian dari mereka, secara resmi meninggalkan Gereja Katolik. Sebagian lagi menjalankan dua agama, hidup dengan pusparagam identitas. Pada 1982, pemeluk Sunda Wiwitan mendaftarkan agama mereka ke direktorat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, agar anggota-anggota mereka bisa dapat pelayanan negara.
Sepanjang akhir pekan saya bicara dengan Ela Romlah, Dewi Kanti, Okky Djati, dan para pemeluk Sunda Wiwitan, muda maupun tua, perempuan maupun laki-laki, saya merekam diskriminasi yang mereka alami, juga dampak intoleransi terhadap orang-orang yang penuh toleransi seperti mereka, selama lima dekade.
Alangkah menakjubkan melihat sebuah agama kecil sanggup bertahan terhadap kekuasaan negara yang kuat dan diskriminatif. Soeharto mengambil langkah penting untuk melindungi kebebasan beragama dari agama-agama etnis, namun lebih baik lagi seandainya Soeharto memiliki keberanian moral untuk membatalkan pasal penodaan agama serta mencabut kriteria aneh dan berbahaya tentang agama sejak era Soekarno. Sayangnya, Soeharto maupun para penggantinya, kecuali Abdurrahman Wahid, tak punya komitmen politik yang penting ini.
Diskriminasi Pasca Soeharto
Jarwan adalah satu-satunya lelaki yang jaga malam di Curug Goong. Dia ada sepeda motor dan ditemani beberapa anjing.
“Harus ada yang jaga,” katanya.
“Saya yang paling muda di antara para sesepuh.”
Pada Juli 2020, Pemerintah Kabupaten Kuningan menyegel makam itu dengan alasan warga Sunda Wiwitan tak punya surat izin bikin “monumen.” Belasan warga Islam Sunni menyertai petugas-petugas pemerintah untuk menyegel makam. Mereka mengatakan “monumen” itu musyrik.
Warga Sunda Wiwitan menjelaskan bahwa mereka tidak membangun “monumen,” melainkan makam untuk dua sesepuh mereka, tepatnya orang tua Dewi Kanti, Pangeran Djati Kusumah dan Emalia Wigarningsih.
“Ini tanah mereka. Tidak ada aturan yang melarang orang bikin kuburan di tanahnya sendiri,” kata Djati.
Itu bukan peristiwa aneh di banyak provinsi mayoritas Muslim di Indonesia. Organisasi-organisasi hak asasi manusia mencatat bahwa ratusan peristiwa setiap tahun yang melibatkan kelompok-kelompok Islam Sunni, yang sering main hakim sendiri dan makin lama makin agresif menyerang atau mengusik rumah-rumah ibadah minoritas. Sasarannya termasuk Muslim Ahmadiyah dan Muslim Syiah maupun Kristen. Sebuah contoh: Pada 13-14 Mei 2018, sejumlah Islamis melakukan pengeboman bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, membunuh sekurangnya 12 orang dan melukai lebih dari 50 orang lain. Tiga belas pelaku, termasuk anak-anak mereka, tewas dalam bom bunuh diri.
Pada 2006, pemerintah Indonesia memperkenalkan peraturan pendirian rumah ibadah yang segera disusul tuntutan penutupan “gereja-gereja tanpa izin” oleh kalangan Islam garis keras. Ratusan gereja ditutup. Sejumlah perkumpulan jemaat Kristen memenangkan tuntutan di pengadilan dan diizinkan membangun gereja, tapi pemerintah setempat mengabaikan putusan pengadilan. Gereja Kristen Indonesia di Taman Yasmin Bogor ditutup pada 2008. Jemaat GKI Yasmin gugat ke pengadilan dan memenangkan gugatan di Mahkamah Agung dua tahun kemudian. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pemerintah Bogor membuka kembali gereja tersebut, api pemerintah daearah menolak, tanpa konsekuensi apapun.
Sebaliknya, pada 2010 Kementerian Agama mencatat ada 243.199 masjid di seluruh Indonesia, sekitar 78% dari keseluruhan rumah ibadah. Sensus pemerintah tahun 2020, yang menggunakan drone dan fotografi, mencatat sekurangnya 554.152 masjid. Artinya, jumlah masjid di Indonesia bertambah lebih dari dua kali lipat dalam satu dekade.
Pada 10 November, ulama Sunni garis keras Rizieq Shihab kembali dari pengasingan di Arab Saudi. Dia segera bertemu dengan ribuan pengikutnya dan menyerukan. “Yang menghina nabi, menghina Islam, menghina ulama, proses, betul? Kalau tidak diproses jangan salahkan umat Islam kalau besok kepalanya ditemukan di jalanan.” Pada 27 November, sekelompok Islamis menyerang sebuah dusun di Sigi, Sulawesi Tengah, memenggal kepala seorang sesepuh Gereja Bala Keselamatan dan tiga kerabatnya. Militan Islam Sunni ini juga membakar gereja Bala Keselamatan dan enam rumah warga Kristen di sana. Polisi belakangan menangkap Shihab dengan alasan melanggar protokol COVID-19, bukan menghasut kekerasan.
Banyak hasutan dan ancaman yang memicu kekerasan dimungkinkan oleh berbagai peraturan di Indonesia yang diskriminatif. Berbagai aturan menyediakan posisi tawar jauh lebih tinggi bagi siapa pun yang mengatasnamakan mayoritas daripada minoritas. Institusi-institusi seperti Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Bakor Pakem) di bawah Kejaksaan Agung, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Majelis Ulama Indonesia, lembaga setengah resmi, menerbitkan berbagai aturan dan fatwa yang merugikan agama-agama minoritas, serta sering kali mendorong tuntutan hukum terhadap siapa pun yang dituding “menodai agama.”
Pasal penodaan agama pada 2016 dipakai menjerat tiga tokoh komunitas Gerakan Fajar Nusantara. Mereka diadili setelah lebih dari 7.000 anggota Gafatar diusir dengan kekerasan dari lahan pertanian mereka di Kalimantan. Sasaran lain, yang lebih terkenal, adalah mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Dia dihukum penjara dua tahun atas tuduhan “penodaan agama” saat pemilihan gubernur 2019. Sekutunya, Presiden Joko Widodo, hanya diam dan tak berbuat banyak terhadap politisasi agama dari kalangan Islam radikal.
Kekerasan terhadap warga minoritas dan kegagalan pemerintah Indonesia untuk bertindak tegas bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama di dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta hukum internasional, termasuk konvensi-konvensi internasional yang sudah diratifikasi Indonesia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi parlemen Indonesia pada 2005, mengatur, “Orang-orang yang tergolong minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.”
Tentu saja, ada perbaikan sederhana. Rotary Club beroperasi kembali pada 1970 setelah kematian Soekarno. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, putra tertua Wahid Hasjim, membatalkan ketetapan Presiden Soekarno pada 1962 yang melarang Freemason dan organisasi-organisasi lain. Setelah belasan anggotanya dipenjara karena dianggap melanggar ketetapan tersebut, komunitas Baha’i menghidupkan kembali jaringan mereka; namun tetap dilarang membangun rumah ibadah hingga harus beribadah di rumah-rumah pribadi.
Perubahan lain terjadi pada 2006 ketika Presiden Yudhoyono meneken Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, yang tak lagi menuntut para penganut “kepercayaan” untuk berpindah ke “agama” yang untuk diakui dalam KTP. Namun banyak pegawai negeri belum menyadari atau malah mengabaikan undang-undang tersebut, sehingga pemeluk agama minoritas tetap kesulitan kalau menolak memilih satu dari enam agama. “Mereka cuma bilang, ‘Anda tidak bertuhan kalau kolom agama dikosongkan,’” ujar Kanti, yang pada KTP-nya kosong pada kolom “agama.”
Di Kuningan, Ombudsman Republik Indonesia akhirnya menengahi sengketa antara komunitas Sunda Wiwitan dan pemerintah setempat, mendorong pejabat daerah untuk mencabut segel dari lahan keluarga Dewi Kanti serta mengizinkan Sunda Wiwitan meneruskan pembangunan makam.
Kantor Ombudsman juga membantu komunitas Dayak Kaharingan dengan mendesak sejumlah pemerintah daerah untuk mencabut diskriminasi yang berlaku puluhan tahun. Ahmad Suaedy dari Ombudsman mengatakan dalam sebuah webinar, “Perkara utamanya adalah para penganut agama-agama lokal ini harus bisa mengakses layanan publik. Mereka harus memberanikan diri untuk melaporkan kesulitan yang mereka hadapi.”
Pada 2017, empat warga negara Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, menuntut hak pencantuman agama mereka di KTP. Keempatnya mewakili agama-agama lokal Marapu (Sumba), Sapto Darmo (Jawa), serta Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak (Sumatra). Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mereka.
Namun Majelis Ulama Indonesia menentang keputusan itu. Kementerian Dalam Negeri, yang menerbitkan dan mengelola KTP, hingga kini tak kunjung menerapkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurut MUI, keputusan itu telah “melukai perasaan umat Islam,” tapi tak jelas apa landasan hukum Kementerian Dalam Negeri untuk melalaikan tugasnya.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menolak tiga uji materi yang menuntut pencabutan pasal penodaan agama dalam rentang tahun 2009 hingga 2018, serta menyatakan bahwa kebebasan beragama harus mengikuti batasan tertentu dalam rangka memelihara ketertiban umum (mantan Presiden Abdurrahman Wahid turut menggugat pada 2009). Berbagai batasan itu, ujar hakim dalam putusannya pada 2010, ditentukan oleh “para ulama,” atau dengan kata lain: negara menyerahkan hak-hak kaum minoritas ke tangan segelintir penganut agama mayoritas yang bahkan tak pernah mereka pilih.
Ada lebih dari 180 komunitas agama etnis yang tersebar dari Sumatra hingga pulau-pulau kecil di Indonesia Timur. Agama-agama ini diperkirakan memayungi sekitar 10 hingga 12 juta orang, sekalipun sensus 2010 mencatat hanya 299.617 orang atau 0,13% populasi Indonesia mengatakan secara eksklusif memeluk agama etnis. Masih sulit, bahkan kadang berbahaya, untuk menyatakan keyakinan pribadi secara terbuka di Indonesia.
Memang, pertarungan melawan para pejabat pemerintah dan ulama Sunni sangat meletihkan. Para politikus yang pengecut, birokrat yang tak cakap, dan ulama Sunni yang berpikiran sempit adalah onak berduri bagi kemajuan demokrasi dan hak-hak asasi manusia di Indonesia.
Jarwan di Curug Goong, tahu persis bahwa dia tak bisa mengandalkan pemerintah atau siapapun untuk melindungi makam yang dijaganya. “Kami mengalami penganiayaan dan intimidasi selama berpuluh-puluh tahun. Kami harus menjaga tempat suci kami sendiri.”
Andreas Harsono adalah peneliti di Human Rights Watch. Pada 1994, dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta serta Yayasan Pantau pada 2003. Buku terbarunya, Race Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.
No comments:
Post a Comment