Julia Suryakusuma (duduk) dalam acara Yayasan Pantau, Jakarta, 17 Oktober 2018. |
Julia Suryakusuma
Seorang ibu hamil perlu melakukan kunjungan pranatal secara teratur. Bagaimana melakukannya dengan PSBB (pengaturan sosial berskala besar)? Sebenarnya, ada tele-konsultasi, untuk menggantikan kunjungan langsung, tetapi hal ini masih langka di Indonesia.
Perempuan hamil di Hong Kong dengan poster masker, Maret 2020. (AFP/Anthony Wallace) |
Kehamilan adalah salah satu topik yang dibahas pada webinar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) kedua, tentang Perempuan dan COVID-19 yang diadakan April 24, dipresentasikan Zumrotin K. Susilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan, pembicara pertama.
Pembicara kedua adalah Nani Zulminarni, pendiri dan direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Dia berbicara tentang nasib anggota PEKKA. Banyak dari mereka adalah pekerja harian yang tidak dapat memperoleh penghasilan karena PSBB: petani dan buruh tani (37 persen), pedagang pasar (15 persen), produsen kerajinan dan makanan (9 persen), jasa (9 persen), pekerja pabrik (6 persen), guru (2 persen), pekerja kantor (1 persen), perempuan nelayan (1 persen), pegawai negeri, polisi, militer, pensiunan (1 persen) dan penganggur (19 persen).
Hanya sekitar 4 persen berpenghasilan Rp 2 juta per bulan, lebih dari 10 persen berpenghasilan antara Rp 500.000 dan Rp 1 juta, lebih dari 45 persen berpenghasilan di bawah Rp 500.000 dan 19 persen tidak memiliki penghasilan sama sekali. Banyak yang sudah berada di dalam siklus kemiskinan, tetapi tanpa bantuan luar, COVID-19 benar-benar menempatkan mereka pada jalan buntu. Dan dengan rumah tangga yang dikepalai perempuan yang merupakan 17 hingga 25 persen seluruh rumah tangga di Indonesia, kita berbicara mengenai jumlah yang besar.
Nur Iman “Boni” Subono, pembicara ketiga, anggota dewan redaksi Jurnal Perempuan sejak awal 1995, mengangkat isu mereka yang berada di garis depan pertempuran melawan virus korona: perawat.
Pertama, rasio pekerja medis di Indonesia (termasuk perawat) dengan populasi umum adalah 1:100.000.
Jadi pandemi atau tidak, sebaiknya jangan sakit ya? Apalagi jika Anda miskin.
Per 2019, perawat di Indonesia berjumlah 345.508, dengan hampir setengahnya di Jawa dan sisanya tersebar tipis di wilayah lain.
Di saat-saat normal pun, perawat rentan terhadap kekerasan di tempat kerja, tetapi dalam suasana ketakutan, frustrasi, dan stres pandemi saat ini, mereka menjadi sasaran pelampiasan di semua bidang kehidupan mereka. Di tempat kerja, mereka diperlakukan dengan kasar, diancam, dihina, diludahi, bahkan diperkosa. Dalam perjalanan ke tempat kerja, mereka menghadapi intimidasi, pelecehan seksual dan bahkan lebih buruk lagi.
Lega dong ya kalau pulang?
Oh, tidak! Terutama jika sang suami tidak dapat pergi bekerja karena PSBB. Ia merasa “dikebiri” karena harus tinggal di rumah sementara istrinya, seorang perawat, harus pergi keluar untuk pergi bekerja. Coba tebak apa yang terjadi? Kekerasan dalam rumah tangga, yang pada umumnya terus meningkat di tengah pandemi ini.
Dengan peran gender tradisional yang berlaku, perempuan masih harus melakukan sebagian besar pekerjaan rumah dan berurusan dengan anak-anak yang tiba-tiba harus bersekolah di rumah. Itu kalau mereka bisa pulang.
Dengan melimpahnya pasien akibat COVID-19, sering para perawat harus tinggal selama berminggu-minggu di klinik atau rumah sakit.
Bayangkan stres dan rasa takut akan kemungkinan terinfeksi dan meninggal, yang memang terjadi, terutama karena perawat tidak selalu dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai. Tidak ada pakaian hazmat? Hei, tidak masalah, jas hujan plastik pun jadi!
Seperti yang ditulis Clare Wright, ahli sejarah Universitas La Trobe, Melbourne, dalam The Guardian: "Pandemi bukanlah perang, tetapi petugas kesehatan kita adalah pahlawan."
Namun, alih-alih diperlakukan seperti itu, Boni menemukan dalam penelitiannya bahwa perawat distigmatisasi dan diperlakukan seperti paria ketika mereka kembali ke komunitas mereka, karena ketakutan terinfeksi.
Jelas bahwa anak-anak mereka menderita. Aku melihat foto menyedihkan dalam presentasi Boni dari seorang bocah lelaki dengan ekspresi pilu di wajahnya sambil memegang poster bertuliskan: “Ibuku perawat. Ia menjauhkan diri dariku sehingga ia dapat membantu Anda." Duh!
Apa yang dialami perawat di Indonesia juga terjadi pada perawat di banyak negara lain. Meski apa yang mereka alami ekstrem, perawat sebenarnya melambangkan kehidupan banyak perempuan di seluruh dunia.
Tapi tunggu, ada kabar baik!
"Keenam negara dengan respons terbaik terhadap COVID-19 memiliki satu kesamaan: Pemimpin perempuan."
Ini adalah judul salah satu dari sekian banyak artikel yang kubaca dengan pengamatan yang sama. Negara-negara itu adalah Selandia Baru, Norwegia, Islandia, Jerman, Belgia dan Taiwan.
Di sisi lain, "COVID-19 dapat membawa perempuan mundur satu dekade dalam kesetaraan gender" adalah judul satu artikel dari sekian artikel lainnya dengan isi serupa.
Mengapa terjadi kesenjangan ini? Karena ini hanya enam negara dari 195 di dunia! Lagi pula, memiliki pemimpin perempuan saja tidak cukup; perspektif feminis atau gender harus diterapkan ke dalam setiap kebijakan nasional dan internasional!
Dalam dunia yang misoginis, hal ini merupakan perjuangan berat, tetapi dalam memerangi COVID-19, keenam pemimpin perempuan telah membuktikan bahwa mereka bisa lebih baik daripada rekan-rekan pria mereka yang overdosis hormon macho testosteron, jadi mungkin pemimpin perempuan bisa melakukan lebih baik dalam bidang lainnya juga!
Julia Suryakusuma adalah penulis buku Negara, Seks, dan Kekuasaan.
* Tulisan ini adalah terjemahan kolom berjudul “Virtuous women, virtual sex and COVID-19”, yang diterbitkan di The Jakarta Post, 29 April 2020. Ia diterbitkan di sini dengan seizin Julia Suryakusuma.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.