Penghargaan Oktovianus Pogau 2020 untuk keberanian dalam jurnalisme
JAKARTA, 31 Januari 2019 — Yael Sinaga dan Widiya Hastuti,
dua wartawan muda dari Medan, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian
dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.
Sinaga dan Hastuti berani lakukan
gugatan hukum terhadap rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu, yang memberhentikan semua awak redaksi, thus membredel media mahasiswa Suara USU pada Maret 2019. Mereka kalah di
pengadilan tata usaha negara Medan. Namun upaya hukum tersebut sebuah langkah
monumental buat kebebasan pers mahasiswa di Indonesia.
“Menang atau kalah soal biasa tapi perjuangan buat
menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik serta hak individu LGBT adalah
sumbangan yang penting buat masyarakat Medan,” kata Andreas Harsono, ketua
dewan juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau.
Widiya Hastuti dan Yael Sinaga, dengan seragam Suara USU, lakukan gugatan hukum. |
Mulanya, Sinaga menulis sebuah cerita fiksi soal
perempuan lesbian jatuh cinta, “Semua Menolak
Kehadiran Diriku di Dekatnya,” yang diterbitkan website Suara USU, tempat mereka bekerja, pada
12 Maret 2019. Suara USU mengangkat cerita tersebut dalam Instagram mereka pada 18 Maret.
Rektor
USU Runtung Sitepu memanggil awak redaksi Suara USU pada 25 Maret. Sitepu
menuduh cerita tersebut mengandung “pornografi” dan “homoseksualitas.” Sitepu
mengatakan dua hal tersebut bertentangan dengan “nilai-nilai” kampus. Dia minta
dihapus dari website Suara USU.
Para wartawan membantah tuduhan Sitepu. Mereka menolak hapus. Sinaga mengatakan pihak universitas lebih khawatir cerita itu
akan memicu diskusi tentang diskriminasi dan intimidasi yang meluas terhadap individu
lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di Indonesia. Hasilnya, Sitepu memecat
semua, total 18 orang, awak redaksi
Suara USU.
Sinaga dan Hastuti menyurati Sitepu namun tak ada
jawaban. Pada 22 Juni 2019, Rektorat Universitas Sumatera Utara membongkar
sekretariat Suara USU dengan alasan renovasi. Pembongkaran dilakukan tanpa
pemberitahuan. Ini membuat petugas keamanan dan pekerja
melempar barang-barang milik redaksi Suara USU.
Pada 22 Juni 2019, ruang redaksi Suara USU dibongkar dengan alasan renovasi. Barang-barang dikeluarkan, dari berbagai cetakan sampai komputer dan dokumen. |
Kepanikan terhadap LGBT muncul sejak akhir 2015 ketika
provinsi Aceh, yang berdekatan dengan Sumatera Utara, mulai jalankan hukum
pidana berdasarkan “syariah Islam” dimana homoseksualitas bisa dihukum cambuk.
Pada 2016, berbagai pernyataan
anti-LGBT
dilontarkan pejabat pemerintah di Jakarta. Ia berkembang menjadi ancaman, kebencian
dan diskriminasi terhadap individu LGBT. Ratusan razia terjadi. Puluhan
individu dihukum.
Sinaga dan Hastuti
melayangkan gugatan pembredelan Suara USU pada 14 Agustus 2019 dengan bantuan Perhimpunan
Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara di PTUN Medan.
Selama sidang
berlangsung, berbagai aksi protes mewarnai gugatan tersebut. Bukan saja di
Medan namun juga di berbagai kota di Pulau Jawa dan Sumatera.
Pada 14 November 2019,
PTUN Medan menolak gugatan mereka. Hakim mengatakan manajemen kampus “… memiliki
tugas dan wewenang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat … dapat melakukan tindakan berupa mengeluarkan
kebijakan dalam terjadinya pro dan kontra terkait cerpen tersebut."
Sinaga dan Hastuti
menerima keputusan pengadilan. Mereka tak banding dengan pertimbangan mereka
masih kuliah. Mereka berpendapat perjuangan dilanjutkan dengan cara-cara baru.
Andreas Harsono mengatakan, “Kami hormat pada pergulatan
serta kesulitan Sinaga dan Hastuti dalam melawan pembredelan media mereka.
Mereka kehilangan Suara USU. Mereka merasa pahit kebebasan pers dan kemerdekaan akademik dibungkam di Medan namun ia
takkan mati.”
Yael Sinaga dan Widiya Hastuti
Yael Sinaga, kelahiran Medan pada Oktober 1997, adalah
mahasiswa USU jurusan antropologi. Sinaga bergabung dengan Suara USU pada 2017.
Saat pembredelan Suara USU, Sinaga adalah pemimpin umumnya.
Widiya Hastuti, kelahiran Takengon,
Aceh, pada Maret 1998, adalah mahasiswa USU jurusan ilmu sejarah. Hastuti
bergabung dengan Suara USU pada 2016. Saat pembredelan Suara USU, Hastuti
adalah pemimpin redaksinya.
Menurut Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia, pada 2017-2019
terjadi 18 kasus pelanggaran terhadap berbagai ruang redaksi mahasiswa di
Indonesia. Paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali termasuk
Runtung Sitepu di Medan.
Pembredelan pers mahasiswa merusak kebebasan pers dan kebebasan akademik kampus Universitas Sumatera Utara di Medan. |
Tabloid Suara USU terbit pertama pada 1995. Pada 2008,
mereka mulai merambah internet dengan domain suarausu.co. Penerbitan tabloid bisa
terbit tiga atau empat kali setahun sejak 2011. Tabloid berhenti cetak pada
2016. Website praktis tutup sejak 2019.
“Demokrasi lahir bersama jurnalisme. Ia juga akan mati
bersama-sama. Salah satu hambatan demokrasi Indonesia adalah terlalu sering
terjadi pembredelan. Jarang ada media, baik media umum maupun kampus, berumur
panjang di Indonesia. Bandingkan dengan Harvard Crimson, sesama pers
mahasiswa dari Universitas Harvard, terbit tanpa putus sejak 1873,” kata
Harsono.
Yayasan Pantau memandang gugatan hukum Sinaga dan Hastuti sejalan dengan
visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin terus merawat keberanian dalam
jurnalisme seiring dengan tujuan Yayasan Pantau guna meningkatkan mutu
jurnalisme di Indonesia.
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang wartawan-cum-aktivis Papua, lahir
di Sugapa, kelahiran 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31
Januari 2016 di Jayapura.
Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan
terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang
meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar.
Oktovianus Pogau bersama Andreas Harsono di sebuah kedai kopi di Jakarta pada Agustus 2015. |
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering
(Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh
(Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo
(Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono.
Made Ali dan Andreas Harsono, ketika mahasiswa, juga
terlibat dengan pers mahasiswa, masing-masing di Bahana Mahasiswa (Universitas
Riau, Pekanbaru) serta Imbas (Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga).
Harsono juga pernah jadi Nieman Fellow untuk Jurnalisme di Harvard.
No comments:
Post a Comment