Kenangan ini saya bacakan dalam beach party reuni SMAK Sint Albertus angkatan 1984 --biasa disebut "SMA Dempo"-- di Villa Solong, Banyuwangi, pada 10 Agustus 2019.
Selamat malam,
Nama saya, Andreas Harsono, peneliti buat Human Rights Watch, dulu masuk SMA Dempo pada 1981, mulanya kelas 1-4, lantas kelas 2 dan 3 jurusan ilmu alam, lulus tahun 1984.
Malam saya bahagia bisa sekali bertemu dengan hampir 80 kawan masa remaja saya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para panitia buat
beach party malam ini. Angkat topi buat kerja sukarela dari Charlotte Lawujan, Debora Megawaty, Edy Suryanto, Eka Dyah, Elsa Laksono, Freddy Simon, Augustina “Lies” Quintarsih, Susi Chandra, Veronica Soetikno, dan Uzan Tedjamulia. Tanpa mereka tentu kita tak bisa bertemu di Banyuwangi malam ini.
|
Chris Johan dan Liza Minarti, kawan
dekat sejak bangku SMA Dempo. |
Saya pribadi senang bisa bertemu kawan-kawan sekelas saya, antara lain, Anthony “Gepeng” Cheng, Benny Winata, Christianus Johan, Laurentia “Otti” Dyah Widia, Petrus Prayitno, Rukamto Laksana dan lainnya.
Sobat sekalian, setiap ikutan reuni sekolah, pertanyaan yang sering dikeluarkan adalah, “Buat apa? Cuma ketawa-ketawa?”
“Mengapa ndak bikin tujuan yang lebih? Misalnya,
networking? Solidaritas bila ada musibah?”
Saya tak pernah menolak gugatan itu. Tapi bukankah datang bersama sudah merupakan
networking? Bukankah dengan segala keterbatasan, kita selalu memberi perhatian kepada kawan kita yang sakit atau meninggal dunia?
Pengarang Inggris George Orwell menulis: “
He who controls the past, controls the future; and he who controls the present, controls the past.”
Mereka yang menguasai masa lalu, menguasai masa depan; dan mereka yang menguasai masa kini, menguasai masa lalu.
Kedatangan kita dalam reuni sekolah adalah mempelajari masa lalu. Kita bertemu dengan masa lalu kita. Namun kita bertemu disini demi masa depan kita, mungkin demi masa depan anak dan cucu kita.
Reuni sekolah, dalam film atau novel, sering digambarkan sebagai letusan emosi –mungkin rasa malu, mungkin rasa benci, rasa bersalah, dendam pada
bully, cinta lama bersemi kembali—dari orang-orang yang tiba-tiba berhadapan kembali dengan masa muda mereka. Reuni sering jadi kesempatan buat membereskan ganjalan masa lalu.
Bicara soal ganjalan, Lilie Wijayati, tadi sore cerita bahwa dia duduk sebangku dengan dokter gigi Endang Susiani. Lilie mengaku suka menyontek kertas ulangan.
Endang "lebih
pinter." Endang juga baik dengan memberi kesempatan Lilie menyontek. Malangnya, karena suatu saat Endang menjawab daftar pertanyaan yang salah –tapi benar buat deretan duduk Lilie-- Endang dapat nilai buruk, Endang tak naik kelas. Lilie justru naik kelas.
Lilie merasa tak nyaman. Mereka jarang bertegur sapa hingga suatu saat mereka bertemu di reuni kecil di Jakarta.
Lilie: “Aku nggak enak sama kamu, Ndang. Dulu aku
nyontoh kamu dan aku naik kelas. Kamu ndak naik kelas.”
Endang: “Ndak apa-apa Lie. Nasib orang memang beda-beda. Kalau dulu aku naik kelas, kamu
seng ndak naik kelas, hari ini kamu
seng jadi dokter dan aku jadi penjahit!”
Skor jadi 1:1.
Endang benar bahwa tiap orang punya nasib sendiri.
Kawan sekalian,
Angkatan kita hanya satu dari sekitar 80 angkatan yang lulus dari SMAK Sint Albertus, Malang. Sekolah kita berdiri pada 1936, zaman Hindia Belanda, dengan guru dan pastor Belanda. Tujuannya, sekolah ini buat remaja berbakat tanpa pandang kekayaan, ras, agama, pangkat atau kedudukan. Namun ia hanya buat laki-laki. Anak perempuan awalnya diterima di SMA Dempo.
|
MC dan penyanyi Wiwiek Lewinsky menemani kami selama tiga hari. Dia datang dari Jakarta. Wiwiek bilang Dempo 84 ini menyenangkan karena "tidak jaim." Diminta menari ya menari. Diminta nyanyi ya nyanyi. |
Enam tahun kemudian, pada 1942, sekolah ini ditutup. Gedung sekolah di Jalan Dempo, Malang, dirampas dan dipakai sebagai markas Angkatan Udara Balatentara Jepang. Masa pendudukan Jepang. Ia baru dibuka lagi pada 1946 –sesudah proklamasi kemerdekaan Agustus 1945. Pada 1947, sekolah kita menerima murid perempuan.
Nasib memang berbeda.
Mungkin tanpa pendudukan dan kekalahan Jepang, kemerdekaan Indonesia juga tak terjadi pada Agustus 1945. Mungkin SMA Dempo lebih lama lagi menerima murid perempuan.
Saya percaya pada argumentasi tersebut dari buku
Indonesia dalem Api dan Bara karya
Tjamboek Berdoeri. Buku tersebut menggambarkan keadaan kota Malang dari pada tiga zaman: Hindia Belanda, Jepang dan Indonesia. Ia menggambarkan Malang sebagai kota kebudayaan. Malang memang kota kesenian. Malang meang kota pendidikan. Malang adalah kota multikultural.
Kepala sekolah kita, Emanuel Siswanto, sering bicara beberapa alumni yang membanggakannya: pastor-cum-novelis Y.B. Mangunwijaya, Jenderal Rudini, bankir Rachmat Saleh,
demographer Widjojo Nitisastro, birokrat Ben Mboi, wartawan-cum-aktivis Yosep Adi Prasetyo, pengusaha Tirto Utomo dan sebagainya. Ia takkan terjadi tanpa SMA Dempo, yang memberi kesempatan kepada anak muda berbakat buat belajar.
Kita sendiri beruntung menikmati masa sekolah ketika keadaan kota Malang relatif aman, tanpa gejolak besar. Kita menikmati musik
The Police atau
Flashdance. Kita menikmati perpustakaan sekolah yang kaya. Saya pribadi membaca Albert Camus, Baruch Spinoza, Immanuel Kant, John Stuart Mill dan sebagainya.
Sekarang keadaan mungkin tak senyaman dulu. Indonesia menghadapi meningkatnya intoleransi. Diskriminasi dan kekerasan merebak di Pulau Jawa, Sumatra dan sebagainya. Saya hanya berharap daya tahan sekolah kita cukup buat hadapi suasana ini. SMA Dempo adalah salah satu kekayaan sosial kota Malang.
Akhir kata, saya ingin mengenang kembali beberapa kawan meninggal lima tahun terakhir, antara reuni di Bali (2014) dan di Banyuwangi: Tino Gunawan (meninggal 9 Mei 2016); Kyat Kurniawan (22 Juli 2016); Anturanggi “Oenggi” Tantri (25 Agustus 2017); Hergita Kumala (2 Desember 2017); Chatarina Saptorini (meninggal 3 Mei 2018); Nanik Trisilowati (meninggal 7 Oktober 2018).
Nasib orang kita tak tahu. Hari ini kita reunian, kita bergembira, kita berharap bertemu lima tahun lagi. Umur sudah kepala lima. Kita tentu perlu lebih menjaga makan dan olahraga.
Viva Dempo!