Gomar Gultom dan kawan-kawan berkunjung ke penjara Medan. |
Pada Oktober 2018 Gomar Gultom mengunjungi Meliana, seorang perempuan Tanjung Balai, yang dipenjara di Medan karena protes suara masjid terlalu keras. Meliana resmi dihukum karena “menodai agama Islam.”
Gultom datang bersama Musdah Mulia, seorang ulama Nahdlatul Ulama, serta Rosnida Sari, seorang dosen Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry di Banda Aceh. Saya terharu ketika Meliana memeluk Musdah dan menangis. Meliana tahu bahwa Musdah termasuk orang yang pernah gugat pasal penodaan agama agar dicabut dari hukum Indonesia. Ia tak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi Indonesia.
Meliana cerita bahwa sejak intimidasi dan diskriminasi, yang dialaminya, dia takut bila lihat lelaki berjenggot, bercelana cingkrang atau perempuan pakai jilbab besar. Meliana punya ingatan buruk terhadap orang-orang yang membuatnya dipenjara, kebetulan dengan dandanan begitu.
Musdah dan Rosnida, yang berjilbab besar, mendoakan Meliana. Mereka berharap Meliana sabar hadapi ketidakadilan ini. Sebuah perjumpaan yang menyentuh.
Meliana juga cerita dia kehilangan pekerjaan sebagai penjual ikan asin dan kehilangan rumah. Suami dan anak-anaknya meninggalkan Tanjung Balai. Mereka kini indekost di Medan. Setiap hari bawa makanan ke penjara. Meliana takut bila anak bungsu mereka tak bisa selesai sekolah. Musdah, Gultom dan lainnya tanya Meliana bagaimana bila mereka bantu menggalang dana buat keperluannya. Meliana setuju.
Namun Meliana tak punya rekening bank. Kesulitan klasik perempuan di Indonesia. Gultom cekatan. Dia hubungi seorang kenalan di sebuah bank di Medan agar kirim account officer ke penjara. Singkat kata, Meliana bisa punya rekening bank. Bantuan kecil buat keluarga ini mulai berdatangan.
Memiliki rekening bank, buat seorang perempuan, adalah langkah penting dalam pemberdayaannya.
Di Medan, saya belajar bahwa Gomar Gultom bukan saja menunjukkan diri sebagai seorang pendeta, yang bersedia melayani umat Kristen, namun juga seorang pejuang hak asasi manusia, yang bersedia melayani manusia tanpa pandang agamanya, yang tahu betapa penting buat seorang perempuan punya rekening bank.
Meliana, secara legal, beragama Buddha, namun sehari-hari ikut ibadah Kristen. Papanya, seorang Tionghoa beragama Buddha. Mamanya, perempuan Batak beragama Kristen. Bukan sesuatu yang aneh di Indonesia. Saya tak tahu apakah Gultom tahu bahwa Meliana biasa ke gereja.
Bagi saya, seorang Kristen yang membela hak orang Kristen, adalah solidaritas yang baik, namun tidak janggal. Seorang pendeta Batak protes terhadap ketidakadilan peraturan negara Indonesia tentang rumah ibadah, yang diskriminatif terhadap agama-agama minoritas termasuk Kristen, tentu saja, juga bukan hal yang janggal. Ini sama dengan seorang Muslim protes terhadap ketidakadilan yang dialami bangsa Palestina dalam pendudukan Israel. Ini sama dengan demonstrasi menuntut keadilan terhadap warga Rohingya di Myanmar –setidaknya 600,000 diusir dari negara bagian Rakhine.
Namun seorang pejuang hak asasi manusia dituntut membela manusia tanpa pandang agama, tanpa pandang ras, gender, pandangan politik atau orientasi seksual.
Gomar Gultom memenuhi syarat tersebut. Gultom membela warga Ahmadiyah, Bahai, Syiah maupun agama-agama lokal, yang alami diskriminasi. Gultom bahkan ikut mengeluarkan sikap yang kritis terhadap pandangan gereja yang out-of-date soal orientasi seksual.
Pada Mei 2016, Gomar Gultom bersama ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Heinrette Lebang, mengeluarkan “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT.” Mereka menulis bahwa Alkitab bicara soal LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender) namun Alkitab tak memberikan penilaian moral-etik terhadap keberadaan individu LGBT. Alkitab tidak kritik orientasi seksual seseorang.
“Apa yang Alkitab kritisi adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap ‘normal’,” ujar seruan tersebut.
Mereka mengingatkan umat Kristen di Indonesia untuk menyimak hasil penelitian mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri --World Health Organization antaranya-- bahwa orientasi seksual LGBT bukan penyakit, bukan penyimpangan mental. Lebang dan Gultom minta gereja-gereja di Indonesia mempersiapkan bimbingan pastoral kepada keluarga Kristen, agar mereka menerima, merangkul serta mencintai anggota keluarga yang gay, lesbian, transgender, queer dan seterusnya.
Surat pastoral tersebut bukan saja menunjukkan keberanian moral Lebang dan Gultom namun juga menunjukkan kesetiaan mereka buat membela hak asasi manusia. Mereka menempatkan ilmu pengetahuan buat melayani warga Kristen –heteroseksual maupun homoseksual. Saya tak heran ketika surat pastoral tersebut mendapat kecaman dari berbagai macam pendeta.
Ia bukan sesuatu yang mengagetkan. Namun surat pastoral tersebut akan menjadi sejarah penting Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Gomar Gultom sekali lagi menunjukkan bahwa dia seorang pembela hak asasi manusia.
Keberadaan Gomar Gultom memperkaya sejarah gereja Indonesia dan ikut membawa kekristenan di Indonesia menuju peradaban yang lebih maju.
-- Andreas Harsono