Amsterdam dengan memorial Baruch Spinoza (2019). |
Pada 1981, ketika pindah sekolah ke SMA Katolik Sint Albertus Malang, saya beruntung ia punya perpustakaan bermutu. Mereka praktis punya semua coffee table book dari Time. Saya baca banyak buku soal Perang Vietnam yang berakhir enam tahun sebelumnya dengan kekalahan Amerika Serikat di Hanoi. Saya juga mulai membaca buku dalam bahasa Inggris: Albert Camus, Baruch Spinoza, Immanuel Kant, John Stuart Mill.
Saya kadang heran dengan kepala sekolah Emanuel Siswanto (1929-2002). Dia seorang pastor Katolik. Namun di perpustakaan banyak buku yang kritis terhadap agama dan spiritualisme. Romo Sis memang seorang guru yang berpikir terbuka (ketika meninggal, bunga di makamnya datang terus selama 40 hari). Dia sering beli buku –sekaligus beberapa eksemplar—dan dibagikan ke guru dan temannya. Dia minta mereka baca dan bikin ringkasan. Saya sering lihat dia bawa buku, yang sedang dibacanya, ketika menjaga ujian kelas. Dia sibuk membaca ketika murid-muridnya mengerjakan ujian.
Suatu hari, Romo Sis tiba-tiba bicara lewat loudspeaker sekolah bahwa dia akan mengumumkan nama murid setiap bulan yang meminjam buku paling banyak.
Dia bilang bulan sebelumnya, murid paling banyak pinjam buku, ”Andreas Harsono dari kelas 3A2.”
Saya terkejut. Saya dapat hadiah kecil. Ketika bertemu dengan Romo Sis –kantornya penuh dengan kaktus dan buku-- dia tanya sedang baca apa?
Kalau ingatan saya tak khianati saya, saya jawab, “Potret Seorang Penjair Muda Sebagai Si Malin Kundang” karya Goenawan Mohamad.
Tapi saya ingat saya beritahu Romo Sis bahwa juga suka musik. Saya kagum dengan lirik lagu “Roxanne” karya The Police. Saya kagum dengan band Queen dengan vokalis Freddie Mercury. Atau Peter Gabriel dari Genesis. Cyndi Lauper juga peka kemanusiaanya.
Dia tanya sesudah lulus mau sekolah dimana.
Saya malu menjawab, “Berklee College of Music di Boston.”
Sayang, cita-cita tersebut tak kesampaian. Papa keberatan saya jadi seniman. Saya sebenarnya sudah mulai menulis beberapa lagu lengkap dengan not balok dan lirik.
Chik Rini dari Aceh datang bertamu. |
Mereka membuat saya lebih mendalami dunia pemikiran dan aktivisme. Arief Budiman atau Soe Hok Djien adalah abang dari Soe Hok Gie, demonstran anti Presiden Soekarno yang meninggal keracunan gas di Gunung Semeru pada 1969. Arief memperkenalkan saya pada Marxisme. Bacaannya banyak sekali. Arief membuat saya baca The Second Sex karya Simone de Beauvoir soal feminisme.
George Aditjondro membuat saya baca berbagai teori pembangunan berkesinambungan, dari Frantz Fanon sampai Rachel Carson. George banyak terlibat kampanye lingkungan hidup di Indonesia, dari penggundulan hutan di Merauke sampai pencemaran Danau Toba. Saya bantu para sais dokar melawan penggusuran mereka di Salatiga. Pada 1990an, George sudah rajin kritik kebijakan transportasi di Indonesia dengan motorisasi. Ia akan bikin kemacetan lalu lintas, polusi udara serta memperpendek umum warga kota. George promosi kereta api, sepeda kaki dan trotoar.
Lulus kuliah saya jadi wartawan, pindah ke Jakarta, juga ikut jadi pembangkang, bikin macam-macam demonstrasi anti Presiden Soeharto, belakangan ikut mendirikan organisasi, antara lain, Persatuan Sais Dokar (Salatiga), Aliansi Jurnalis Independen (Jakarta), Institut Studi Arus Informasi (Jakarta), South East Asia Press Alliance (Bangkok), International Consortium of Investigative Journalists (Washington DC) dan Yayasan Pantau (Jakarta).
Saya memang tak beruntung bisa kuliah di Berklee namun, sesudah Soeharto mundur pada Mei 1998, saya dapat beasiswa dari Universitas Harvard, tetangga satu kota Berklee.
Ini kampus bermutu dengan reputasi global. Harvard memiliki 43 alumni dan profesor yang mendapatkan Penghargaan Nobel. Saya ikut beberapa kelas mereka. Bill Kovach, guru jurnalisme, menjadikan saya murid pribadi, setiap minggu diskusi soal buku yang ditugaskannya minggu lalu. Saya jadi kenal Cornel West, David Halberstam, Henry Louis Gates dan sebagainya. Kali ini saya bukan hanya baca buku mereka, tapi juga diajak makan siang atau diskusi dengan para penulis tersebut.
Di Harvard, saya belajar banyak soal jurnalisme, nasionalisme, studi militer serta hak asasi manusia. Namun saya juga ikut kuliah Thomas Forrest Kelly dan belajar musik klasik, dari Ludwig van Beethoven sampai Igor Stravinsky. Secara khusus, saya belajar genre “jurnalisme sastrawi” atau “narative reporting.” Kelak pengalaman di Harvard ini membantu saya menulis buku juga.
Kalau ditanya buku dan penulis yang paling berpengaruh dalam pemikiran saya, mungkin bisa dilihat dari seberapa sering saya mengutip mereka dalam karya-karya saya. Saya kira ada dua cendekiawan.
Pertama, Benedict Anderson (1936-2015) dari Universitas Cornell, ahli Asia Tenggara, yang menulis buku soal Indonesia, Thailand dan Filipina. Anderson menguasai belasan bahasa termasuk bahasa Indonesia, Tagalog dan Thai. Karyanya yang paling dikenal adalah Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Anderson salah satu ahli Indonesia dengan keberanian moral dan analisis paling tajam.
Kedua, Bill Kovach dari Universitas Harvard, mantan redaktur The New York Times, yang menulis tiga buku soal jurnalisme bersama Tom Rosenstiel. Karya mereka yang paling dikenal adalah The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect. Mereka menjelaskan dengan gamblang peranan jurnalisme. Yayasan Pantau membantu terjemahkan dua buku mereka ke Bahasa Indonesia. Saya belajar teori jurnalisme dari Kovach.
Saya punya sikap kritis terhadap karya fiksi. Ini mungkin dipengaruhi dengan disiplin saya dalam jurnalisme, yang ketat menjaga fakta. Kalau ditanya siapa novelis yang saya kagumi, saya jawab J.R.R. Tolkien (1892-1973) dari Universitas Oxford, yang menulis novel serial The Lord of the Rings. Ia dijadikan film Hollywood. Saya suka Tolkien karena dia tak mau campur aduk antara fakta dan fantasi. Ini kebiasaan buruk novelis kebanyakan. Tolkien menulis fantasi soal manusia, elf, hobbit, dwarf, ahli sihir, raksasa maupun orc guna bicara soal perjuangan kebaikan dan kejahatan.
Andreas Harsono menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Kini dia bekerja untuk Human Rights Watch, sebuah organisasi hak asasi manusia, di New York.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.