Yael Stefany Sinaga
Harus bagaimana aku baru disebut manusia? Melentang, merayap, atau merunduk?
Catatan:
Cerita fiksi ini mulanya dimuat di Suara Universitas Sumatera Utara, sebuah web mahasiswa, di Medan, pada 12 Maret 2019. Namun Rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu tak terima dan minta naskah dicabut. Alasannya, cinta antar individu LGBT "... tidak lagi mencerminkan visi misi USU." Sitepu hentikan web Suara USU dan mengancam akan hentikan selamanya. Blog ini memutuskan memuatnya agar orang bisa menentukan sendiri bagaimana bersikap terhadap cerita fiksi soal LGBT. Blog ini menganggap ia adalah persoalan kebebasan berekspresi.
|
©2019 Surya A.D. Simanjuntak |
“Kau penyakit bagi kami. Kau tak layak hidup. Bahkan di neraka saja orang-orang akan enggan dekat dengamu. Terkutuk lah kau wanita laknat!”
Aku tertunduk di tengah mereka. Bahkan sudah tak tahu berapa banyak ludah dari mulut mereka mendarat di badanku. Kurasakan alirannya lambat. Menetes dari atas ke bawah. Terpikirkan saat itu bahwa akan ada malaikat pelindung baik bersayap dan tidak bersayap menolongku.
“Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percaya lah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”
Begitu lah hujatan tanpa henti yang kurasakan saat itu. Semenjak aku ketahuan memiliki perasaan yang lebih kepada Laras.
Apa yang salah?
Bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau diriku dilahirkan dengan kelamin perempuan.
***
Aku berasal dari keluarga yang sangat hancur. Berkeping-keping tanpa tersisa. Dulu aku mempunyai keluarga idaman banyak orang. Bapak seorang pemilik perusahaan kayu jati terbesar di Sumatera. Ibu seorang wartawan lokal yang bergerak dengan isu hak asasi manusia. Bapak tak mempermasalahkan kesibukan ibu yang melebihi dirinya. Bapak paham begitulah resiko menjadi wartawan.
Sempat ibu ingin mengundurkan diri menjadi wartawan untuk mengurus bapak dan membantu usaha bapak. Namun bapak menolak dengan alasan masyarakat masih membutuhkan ibu untuk memperjuangkan hidup, pendidikan, kesehatan serta tanah yang kini hampir terkikis. Jika dipikirkan bapakku sosok yang romantis namun klasik.
Lima tahun pernikahan bapak dan ibu, akhirnya lahir lah aku. Anak tunggal yang diberi nama Kirana Cantika Putri Dewi. Lahir secara normal. Ibu begitu kuat hingga sekali nafas panjang aku langsung lahir ke dunia ini. Kasihannya bapak yang menunduk akibat genggaman tanggan ibu yang begitu kuat dirambutnya. Kata bapak saat itu demi ibu dan si buah hati.
Ritual dan doa selalu dipanjatkan demi pertumbuhanku. Berharap aku berguna bagi masyarakat setidaknya untuk keluarga sendiri. Namun semua berubah semenjak kejadian itu. Para penguasa-penguasa jabatan dan tanah datang menindas.
Bapak terpaksa menutup usahanya. Dirinya ditipu oleh teman kerjanya. Kala itu menjanjikan keuntungan penjualan kayu ke Singapura sebesar 25 juta U$ dollar. Fantastis pikir bapak. Namun setelah transaksi pengiriman selesai, bapak kehilangan kontak. Mendadak teman kerja bapak tidak bisa dihubungi. Kabar terakhir, teman kerja bapak melarikan diri membawa uangnya ke negara adikuasa. Pilu yang dirasakan bapak saat itu. Karena stress bapak pun terserang stroke berat dan akhirnya meninggal dunia.
Makin parah ketika melihat situasi ibu. Kala itu krisis moneter. Banyak eksploitasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah saat itu. Rakyat banyak kehilangan tanah dan sumber daya alamnya. Ibu yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk HAM terjun tanpa ingat anak dirumah.
Lebih parah lagi. Ketika ibu menjadi buronan pemerintah. Ketika itu ibu menuliskan sebuah tulisan panjang yang berisikan kebohongan pemerintah dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Ibu membuat kritikan tajam yang saat itu sangat membahayakan oknum siapapun. Dua minggu setelah tulisan ibu beredar, dikabarkan ibu hilang tanpa jejak. Ada yang bilang mati ada juga yang bilang melarikan diri. Dan nyatanya ibu tak pernah kembali.
Aku diadopsi oleh kakek dari ayah. Bukannya kasihan kakek malah mengumpatku dengan kata yang memilukan hati. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan menunduk diam.
“Sudah kubilang dulu sama bapakmu. Jangan menikah dengan wartawan. Tidak ada masadepan dan tidak pernah peduli sama suami dan anak. Lihat dirimu dan ayahmu. Ditinggal demi rakyat. Cuihh... pencitraan.”
Bantingan pintu pun mengakhiri pembicaraan. Aku tetap diam. Tidak tahu harus berbuat apa. Sejak itu aku menjadi wanita yang takut akan kehidupan luar.
***
Ada perubahan dalam diriku ketika berjumpa dirinya. Larasati Kesuma Wijaya mahasiswa arsitektur tiga tahun lalu. Senang berteman dengan kertas dan pensil. Rumah keduanya adalah bangku putih dibawah pohon belakang kampus. Anak legislatif. Cuman penampilan merakyat.
Berawal dari menyukai manga Jepang serta isu keberagaman. Kami akhirnya sangat akrab. Padahal aku bersumpah tidak akan berteman dengan siapapun. Karena menurutku manusia semuanya adalah serigala penghisap kebahagiaan. Jika tidak menguntungkan siap-siap saja kau akan dibuang.
Aku beragama kristen sedangkan dia memeluk agama islam. Tak apa. Tidak ada yang berbeda.
Sama-sama mengajarkan untuk saling mengasihi sesama manusia. Bahkan baginya Tuhan, agama dan kepercayaan adalah hal yang berbeda.
“Kalau setiap hari bawa-bawa agama, lama-lama Tuhan bosan juga,” ucap Laras.
Dia mirip ibu. Keras kepala serta ambisius. Tak segan-segan mengutarakan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Tak peduli siapa dan latar belakangnya. Ini pernah terbukti saat dirinya melawan seorang dosen yang selalu menekan mahasiswa dengan nilai.
Keistimewaannya ini lah yang berhasil memunculkan perasaan ini. Perasaan yang kurasakan semakin menjadi. Entah kenapa nyaman sekali berada didekatnya. Merasa bahagia ketika melihat dia dengan penuh semangat melukis diatas kertas. Dia cantik. Bahkan cantik luar biasa. Banyak lelaki menunggu. Termasuk perempuan sepertiku.
Kuberanikan diri untuk mengakui. Lama-lama tak sanggup juga menyimpan perasaan aneh ini. Pertama-tama memberikan tanda terlebih dahulu. Aku sering membelikkannya kopi botolan agar tidak mengantuk dikelas. Lalu cokelat setiap kali dirinya merasa sedih. Memeluknya dan membelai kepalanya ketika menangis. Semua kulakukan karena aku sudah jatuh cinta.
Menggenggam tangannya ketika kami keliling mall untuk membeli sesuatu. Tak jarang bersandar dibahunya hanya untuk melepas lelah. Saat itu terasa sangat indah. Ternyata semua berubah semenjak kejadian itu. Para penguasa mayoritas datang untuk menindas.
Waktu itu dirinya ingin bertunangan dengan Aryo teman sekelasnya semasa SMA. Rupanya Laras dijodohkan dengan orang tuanya. Ibu Aryo adalah teman kecil ayah Laras. Mereka pun berjanji untuk menikahkan anak mereka. Mengetahui kabar ini hatiku hancur untuk kesekian kalinya. Kejadian dua belas tahun yang lalu seakan terjadi lagi.
Namun seakan tidak mau hancur terlalu dalam, aku beranikan diri untuk jujur kepada Laras. Aku datang ke acara pertunangannya. Teriak di kerumunan banyak orang. Semua terdiam dan menatapku heran. Bahkan Laras juga terlihat bingung. Aku berjalan ke atas panggung, mengambil microfon dan mulai berbicara.
“Aku minta maaf. Terimakasih untuk semuanya, Laras. Tapi harus bagaimanakah aku disebut sebagai manusia? Kau mengingatkanku pada ibu. Sejak saat itu aku mulai mencintaimu. Mencintai semua yang ada padamu. Sakit sekali ketika aku harus tahu kau akan berbahagia dengan Aryo bukan denganku. Kau boleh bilang aku gila. Boleh bilang aku wanita tak tahu malu. Tapi izinkan wanita murahan sepertiku untuk menyatakan apa yang kurasakan. Bukankah kau mengajarkan aku untuk berani mengungkapkan perasaan? Kini kubuktikan, Laras. Bahwa aku mampu membuatmu bahagia. Menikahlah denganku.”
Tiba-tiba seseorang menyeretku dengan paksa. Baju yang baru kujahit koyak sebagiannya. Aku didorong ke tengah-tengah tamu yang datang. Sejuta mata memandangku dengan amarah. Hujatan dan ludah yang keluar dari mulut terus datang menghampiri.
Tidak ada satupun yang iba menolong. Bahkan Laras hanya menatapku nanar.
***