Citra Maudy dan Thovan Sugandi dari Balairung Press menunjukkan keberanian
JAKARTA — Citra Maudy dan Thovan Sugandi
dari Balairung Press, media milik kampus
Universitas Gadjah Mada, meraih penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam
jurnalisme dari Yayasan Pantau.
“Citra dan Thovan berani lakukan liputan yang sulit serta
peka tentang kekerasan seksual di kampus. Harapannya, liputan ini akan mendorong
usaha serupa di kalangan media, umum maupun mahasiswa, guna membela para korban
kekerasan seksual dan mencari keadilan,” kata Andreas Harsono, ketua dewan juri
penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau.
Pada 5 November 2018, Balairung menerbitkan laporan berjudul, “Nalar Pincang UGM atas Kasus
Perkosaan” soal seorang
mahasiswa --nama samaran “Agni”-- yang “diperkosa” oleh teman setingkatnya,
pada Juni 2018, ketika mengikuti kuliah kerja di Pulau Seram, Maluku.
Citra Maudy |
Citra Maudy, reporter laporan
tersebut, menulis bahwa pelaku “menyingkap baju, menyentuh serta mencium dada
Agni.” Pelaku juga menyentuh dan memasukkan jarinya pada vagina. Agni merasakan
sakit, memberanikan diri bangun dan mendorong pelaku.
Dalam laporan “Malang
Melintang Penanganan Pelecehan Seksual di Kampus,” Balairung menyatakan bahwa pelecehan seksual terjadi
di banyak lingkup kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Kasus “Agni”
ibarat puncak gunung es.
Laporan tersebut mendapat perhatian masyarakat luas.
Media lokal maupun nasional menerbitkan berita-berita lanjutan. Dukungan juga datang lewat sebuah petisi mencari keadilan bagi “Agni” yang ditandatangani
252.895 orang. Beberapa media juga
menerbitkan cerita tentang dugaan
kekerasan seksual di kampus-kampus lain, di Bali,
Bandung, Depok, Jakarta, Yogyakarta dan sebagainya. Jarang kasus pelecehan
seksual terhadap mahasiswa dapat perhatian dan liputan mendalam di media.
Universitas Gadjah Mada membentuk sebuah komite etik buat
memeriksa kasus ini. Arif Nurcahyo, kepala keamanan kampus Universitas Gadjah
Mada, melaporkan kasus ini kepada Kepolisian Yogyakarta.
Ini membuat polisi memeriksa “Agni” maupun terduga pelaku,
Hardika Saputra –namanya disebutkan oleh pengacaranya
Tommy Susanto yang berargumentasi kejadian tersebut berdasarkan “suka
sama suka.” Polisi juga meminta keterangan dari Citra dan Thovan pada
Desember 2018 maupun saksi-saksi lain.
Polisi belum menetapkan Hardika Saputra sebagai
tersangka. Polisi, menurut Citra dan Thovan, juga memeriksa mereka dengan
pertanyaan-pertanyaan bagaimana mereka bertemu korban, kenapa isu ini diliput,
bagaimana kondisi psikologis korban.
Andreas Harsono mengatakan, “Yayasan Pantau menghormati
pemeriksaan yang dilakukan polisi maupun Universitas Gadjah Mada namun kami
juga percaya pelecehan seksual adalah gejala yang menguatirkan di berbagai
kampus di Indonesia. Kami menghargai keberanian Citra dan Thovan terlepas hasil
dari pemeriksaan terhadap kasus ini.”
Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan sudah
dua dekade melakukan kampanye anti-kekerasan seksual. Komnas Perempuan
mendukung perubahan dalam sistem hukum Indonesia dimana pemerkosaan seksual
dibikin lebih luas kategorinya –bukan sekedar terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina—serta mendorong Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual mengingat ketersediaan perangkat hukum yang ada belum
memadai. Laporan Balairung juga mempertimbangkan keterbatasan tersebut.
“Salah satu hambatan menghukum pelaku kekerasan seksual
adalah kekurangan hukum. Balairung membuat kekurangan tersebut jadi
terang-benderang. Yayasan Pantau mendukung Komnas Perempuan guna melawan
kekerasan seksual, mencari keadilan buat para korban serta bikin hukum yang
memadai,” kata Andreas Harsono.
Citra Maudy dan Thovan Sugandi
Citra Maudy adalah mahasiswa sosiologi Universitas Gadjah
Mada, kelahiran Sidoarjo 1998. Ia bergabung dengan Balairung sejak 2016 sebagai
reporter, jadi redaktur pelaksana sejak 2017. Ia biasa menulis menulis feature, laporan
utama dan hard news.
Thovan Sugandi |
Thovan Sugandi adalah mahasiswa filsafat Universitas
Gadjah Mada. Ia kelahiran Jombang 1996. Thovan bergabung
dengan Balairung sejak 2015. Pada 2018, ia ditunjuk sebagai redaktur serta
menyunting laporan Citra. Thovan juga anggota Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia dan pernah menjadi redaktur Jurnal Tradisi PMII periode 2016-2018.
Balairung sendiri sebagai majalah terbit sejak 1985. Kini ia sebuah unit kegiatan mahasiswa. Namanya, Badan
Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung. Sejak 1997 Balairung menerbitkan website,
beberapa kali ganti domain, namun sejak 2017 mereka memakai www.balairungpress.com.
Yayasan Pantau memandang apa yang dilakukan Balairung lewat karya Citra
dan Thovan sejalan dengan visi Oktovianus Pogau, merawat keberanian dalam jurnalisme.
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang jurnalis
Papua, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada
31 Januari 2016 di Jayapura.
Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang
menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya.
Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan
terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang
meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar.
Dia dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di
Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung, Aliansi
Jurnalis Independen, menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang
melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.
Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan
internasional meliput di Papua Barat. Dia juga memprotes pembatasan pada
wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan
mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015
meminta birokrasi Indonesia menghentikan pembatasan wartawan asing meliput
Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering
(Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh
(Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo
(Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono. Yuliana Lantipo mengundurkan diri awal
Januari 2019 sesudah resmi jadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Papua. Yayasan Pantau belum menentukan pengganti buat Lantipo.
Coen Husain Pontoh, yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”
Yayasan Pantau
Penghargaan Oktovianus Pogau 2018: Citra Dyah Prastuti
Penghargaan Oktovianus Pogau 2017: Febriana Firdaus
Yayasan Pantau
Penghargaan Oktovianus Pogau 2018: Citra Dyah Prastuti
Penghargaan Oktovianus Pogau 2017: Febriana Firdaus
No comments:
Post a Comment