Siti Nurrofiqoh
Seperti mentari yang tak pernah ingkar janji. Demikianlah ia memercayai seorang lelaki.
Tubuh jangkung berleher jenjang. Kaki mulusnya terlihat sempurna, di ujung lipatan celana yg memperlihatkan pangkal paha.
Jemarinya gemetar menyibak-nyibak lipatan kertas penuh catatan angka. Kulihat tulang besar di dadanya yg kurus dan ringkih. Kemaskulinannya tertutup nyaris sempurna.
"Aku dipukuli saat menagih hutang padanya. Andai saat itu punya duaratus ribu utk visum..."
Ia menerawang, mendesah. Mengibaskan rambut panjangnya. Dan udarapun mewangi. Aku menangkap aroma cinta, luka, dan kesedihan yg tak terperi.
Pria yg katanya mencintainya selalu meminjam uang. Katanya untuk usaha dan ia akan diberi keuntungan.
Ia memijat-mijat lengannya yg kurus nan mulus, meski otot lelakinya menyembul kuat. Air matanya jatuh dan ia menyekanya sendiri. Ia terlihat begitu anggun.
"Rumahku sdh ditarik bank, sekarang aku tinggal di kontrakan," ia terus bercerita dan aku membiarkan.
"Aku kumpulin duit sedikit-sedikit sejak dua tahun lalu. Tak mudah kan? Hasil aku kerja di warung mami malam hari. Dan kini ludes semuanya."
Kulirik sebuah warung yg berada tak jauh dari tempatku berdiri. Warung malam yg menawarkan hangat canda, kopi dan mie instan, yang dinikmati di bawah cahaya remang-remang.
"Skrg aku jualan telor keliling. Memulai lagi dari nol. Ini sudah mulai terkumpul segini."
Jemari kurusnya memilin lembaran uang pecahan dalam dompetnya.
"Aku selalu makan sama tempe, kadang sama kecap, kadang hanya pakai sambel. Tapi dia selalu makan enak."
Aku tak berkata apapun. Sunyi. Berharap pada udara untuk membasuh lukanya.
"Kasih tahu aku, kalau laki-laki itu datang!"
Aku mengangguk. Ia menarik nafas berat berusaha menyudahi sedu-sedannya, menguatkan hatinya.
Ah, andai aku bisa menyusut kepedihan itu. Kubiarkan ia berlalu. Kubayangkan lelaki yg telah berlaku keji itu. Sungguh biadap!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.