Oleh Imran Hasibuan
|
Poster Amir Husin Daulay. |
Kemarin malam, aku ikut acara Mengenang AHD (Amir Husin Daulay) di Guntur 49, bersama banyak kawan aktivis. Dari yang paling senior, Hariman Siregar, hingga anak-anak muda yang sudah tak kukenal lagi. Semuanya pasti kenal AHD, paling tidak pernah dengar namanya. Sebagai tuan rumah, Isti Nugroho dan Sri Hidayati (istri AHD).
Lantas apa yang layak dikenang dari AHD? Dalam memori ingatanku, kenangan itu lumayan panjang, merentang masa sekitar 27 tahun (1986-2013). Selama itu tentu ada pasang surut dalam hubungan personal kami, tapi tak pernah putus.
Sayup-sayup masih teringat ketika suatu hari sebagai mahasiswa baru di FISIP Universitas Nasional, aku menjenguk ruang kerja redaksi
Politika. Seminggu sebelumnya, bersama beberapa kawan --diantaranya Nuku Soleiman-- sudah mengikuti pelatihan jurnalistik Politika.
Ruang redaksi itu berada di lantai 4 Gedung B, Kampus Sawo Manila. Ruangannya sempit, menyempil di pojok gedung dan berseberangan dengan toilet. Lokasinya sama sekali tak strategis, tak ada lalu lalang mahasiswa yang melintas. Sepi kalau tak ada aktivitas redaksi. Dan untuk mencapai ruang redaksi itu, harus menaiki tangga berliku.
Di anak tangga terakhir, aku lihat pintu ruangan
Politika terbuka.
"Ada orang," pikirku.
Langsung saja, aku masuk. Tepat di mulut pintu, mata ku bersirobok dengan sosok lumayan sangar: tambun dan berjenggot lebat. "Bah... Siapa orang ini?"
Tak ada orang lain di sana. Aku sapa dia, tapi diam saja, sambil terus membaca berkas-berkas yang terserak di meja kecil. Belum lagi pikiran ku bergerak kemana-mana, orang sangar itu sudah bertanya:
"Siapa nama kau?"
"Imran Hasibuan, tapi biasa dipanggil Ucok."
"Dari mana asal kau?"
"Medan, bang"
Mendengar kata Medan, keningnya langsung berkerenyit. "Medan nya dimana?"
"Glugur Hong, bang"
"Owhh... Kau yang ikut pelatihan minggu lalu ya."
"Iya bang"
"Ya sudah. Kau beres-beresin kantor ini," perintahnya sampai ngeloyor pergi, tanpa memperkenalkan diri sama sekali.
Baru beberapa hari ini kemudian aku bertanya kepada salah seorang senior
Politika tentang orang sangar itu. "Itu Bang Amir. Nanti kau juga tahu siapa dia," jawab senior itu. Menggantung betul informasinya.
Berbilang bulan kemudian, baru aku tahu bahwa AHD-lah yang menghidupkan lagi
Politika, beberapa tahun sebelumnya. Pada 1986, ia sudah memimpin Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Nasional dan menerbitkan koran mahasiswa
Solidaritas.
Pertengahan 1980-an itu pers mahasiswa di kampus Sawo Manila sedang di puncak aktivitasnya. Hampir tiap minggu ada saja kegiatan yang digelar pers mahasiswa di Universitas Nasional: pelatihan jurnalistik, diskusi dengan tema sosial-politik, sampai pembacaan puisi WS Rendra. Kegiatan tahunan yang paling ikonik adalah Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa berskala nasional. Setiap kali digelar pesertanya mencapai 200-300 orang dari berbagai kampus seluruh Indonesia.
Pokoknya, kampus Sawo Manila benar-benar semarak. Bagaikan magnet, Universitas Nasional menarik perhatian para aktivis pers mahasiswa dari seluruh penjuru negeri. Tak hanya itu, hampir setiap bulan masuk kampus para jurnalis terkemuka Indonesia, mantan aktivis mahasiswa, sastrawan, akademisi, dan orang-orang terkemuka dari berbagai profesi. Motor utana semua kegiatan itu adalah AHD. Rupanya, ia berhasil meyakinkan Rektor Universitas Nasional Sutan Takdir Alisjahbana tentang perlunya menyemarakkan kampus Sawo Manila.
Dan aku "terperangkap" di tengah kesemarakan itu. Tak lama kemudian, aku malah "terperangkap" dalam jaring aktivitas di di sekitar AHD.
Begini ceritanya. Setelah aktif sebagai reporter di
Politika, tentu aku terlibat dalam kerja-kerja jurnalistik pers mahasiswa dan kegiatan lainnya. Kala itu, AHD telah membentuk satu markas di luar kampus. Yang disebut markas ini tak lain rumah kontrakannya, di gang kecil di kawasan Jalan Siaga, Pasar Minggu. Tak jauh dari markas itu ada kandang sapi milik tetangga, yang setiap waktu mengirimkan bau kotoran sapi. Karena itu, di kalangan aktivis mahasiswa yang hilir mudik ke sana, rumah itu disebut "Markas Kandang Sapi".
|
Amir Husin Daulay (tengah) bersama aktivis mahasiswa. |
Suatu kali, saat lagi berkumpul di "Markas Kandang Sapi" AHD bilang: "Cok, kau tinggal di sini aja. Itu ada kamar kosong di belakang". Rupanya, penghuni kamar itu telah keluar. Aku mengiyakan.
Seminggu kemudian, aku sudah menempati kamar kecil di sebelah dapur. Kamar utama yang paling luas, tentu saja, ditempati AHD. Dua kamar lainnya, ditempati dua senior lain: Imron Zein Rolas dan Nurdin Fadli. Semuanya "Anak Medan". Sejak itu jadilah aku anak bawang di Markas Kandang Sapi.
Ya betul-betul anak bawang, karena kebagian tugas-tugas yang gak penting: mulai cuci piring sampai disuruh beli rokok. Kalau ada tamu para aktivis dari kampus lain (yang paling sering datang Agus Edy Santoso alias Agus Lennon, sambil bawa selebaran atau pamflet) aku hanya boleh mendengarkan percakapan mereka saja.
"Kau masih anak bawang, belum boleh komentar," kata AHD, juga dua senior lain itu.
Tapi, sebagai anak bawang di "Markas Kandang Sapi" ada juga untungnya. Tentu aku jadi kenal para pentolan aktivis mahasiswa 1980-an dari berbagai kampus. AHD juga sering mengajak kami berkunjung dan berdiskusi dengan aktivis mahasiswa yang lebih senior. Yang paling sering dikunjungi adalah Hariman Siregar di markas Jalan Lautze. Selain diskusi, hal lain yang paling menyenangkan adalah disuguhi gulai kepala ikan kakap dari resto Medan Baru.
Juga para jurnalis terkemuka di masa lalu --seperti Mochtar Lubis dan Aristides Katoppo-- tak lupa disambangi. Yang dibicarakan tak semata soal pengalaman jurnalistik, tapi juga soal-soal politik aktual.
Tapi, yang paling seru, jika di malam hari mengeluarkan sepeda motor Binter Mercy-nya, lantas bilang: "Cok, ikut kau..."
Kalau sudah begini, biasanya yang dikunjungi adalah para narapidana politik atau tokoh-tokoh kiri. Perjalanan naik sepeda motor itu biasanya muter-muter dulu, mungkin untuk mengecoh intel yang mungkin mengikuti.
Pelan tapi pasti, statusku mulai meningkat: dari anak bawang menjadi (salah seorang) asisten AHD. Ketika Yayasan Pijar berdiri, di akhir 1980-an, aktivitas AHD di luar kampus makin intens. Pijar, dimana sosok AHD dominan, segera menjadi salah satu simpul utama jaringan aktivitas mahasiswa masa itu. Selain anak-anak UNAS, di Pijar bergabung juga aktivis dari kampus lain: Rachland Nashidik, Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Eddy Junaidi, Lucky Savor dan lain-lain.
Mau tak mau, aktivitas ku sebagai salah satu asisten AHD makin intens. Selain mengkoordinir pelatihan/kursus jurnalistik dan diskusi di kantor Pijar (yang sudah berpindah ke kawasan Cawang, kemudian di Jalan Penggalang, sekitar Jalan Pramuka), juga terlibat dalam aksi-aksi demo jalanan.
Ketika AHD sibuk mengurus persidangan karibnya, Bonar Tigor Naipospos, yang dituduh rezim Orde Baru mengorganisir distribusi buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang sudah dinyatakan terlarang oleh rezim Orde Baru, aku juga jadi ikut-ikutan sibuk. Pasalnya, begitu Coki --nama panggilan Bonar Tigor-- ditangkap aparat di Jakarta, AHD memutuskan tinggal di Yogyakarta selama persidangan. Nah, untuk membantunya menangani urusan-urusan sepele --membawa buku-buku titipan buku dari Penerbit Sinar Harapan dan Kompas Gramedia, pakaian, dan sebagainya-- terpaksalah aku yang kerap bolak-balik Jakarta-Yogyakarta.
|
Imran Hasibuan |
Aku baru lepas dari "jeratan" AHD dan Pijar, setelah bekerja sebagai wartawan di majalah
Forum Keadilan. Tugasku jadi lebih ringan: mengajar di kursus jurnalistik Pijar (tanpa honor) dan mentraktir ketika gajian. Dan harus siap dipanggil AHD untuk mendengarkan ceramah AHD tentang berbagai gagasannya, kebiasaan di markas Pijar yang masih terus berlanjut. Bedanya kali ini, aku sudah bisa kasih komentar bahkan berdebat. Dan seperti dulu pula, tak semua gagasan AHD sukses dalam pelaksanaannya. Misalnya, lembaga riset dan sejumlah media yang didirikannya bubar di tengah jalan. Bagi AHD, sebuah gagasan yang diyakininya harus diuji dan dikerjakan. Soal sukses atau gagal itu urusan kesekian.
Pikirannya selalu bergerak kesana-kemari, melintas ke berbagai bidang. Ia, misalnya, ikut menggagas pembentukan
Indemo. Juga menginisiasi milis grup penggemar Leo Kristi --yang kemudian menjadi LKers. Lantas menggarap produksi pementasan teater
Mastodon dan Burung Kondor. Dan masih banyak lagi kegiatan dan institusi lainnya.
Bahkan, ketika dia sudah divonis mengidap sirosis hati kronis, AHD masih terus berpikir dan bergerak. Tak heran, ketika kabar wafatnya AHD beredar 6 Juli 2013, ucapan duka cita ramai melintas di media sosial dari berbagai kalangan.
AHD, Bang Amir, kau layak dikenang. Sampai hari ini pun aku yakin kenangan itu bersemayam di hati dan memori ribuan sahabatmu. Jadi, tersenyumlah kau di sisi Allah.