Rebeka Harsono, adik saya, kini menjalani pengobatan gangguan jiwa. Selama bertahun-tahun dia menolak usul keluarga agar memeriksakan kesehatan jiwa. Dia bersedia pergi ke psikiater tahun ini. Diagnosa seorang psikiater mengatakan Rebeka memiliki schizophrenia paranoid. Dua psikiater lain setuju dengan paranoid namun belum pasti soal schizophrenia. Seorang dari mereka mengatakan bipolar.
Saudara kembarnya, Susanna Harsono, menjalani pengobatan schizophrenia paranoid sejak 1991 sesudah tak selesai kuliah di tiga perguruan tinggi di Malang, Manila dan Solo.
Rebeka sendiri lulusan sarjana ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) pada 1993 dan master Monash University (Melbourne) pada 2000. Dia sempat bekerja dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat, membantu komunitas Cina Benteng di Tangerang.
Saya perkenalkan Rebeka dengan kenalan saya, Basilius Triharyanto dari Yayasan Pantau, guna menyelesaikan buku Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia: Kisah Tujuh Perempuan Tionghoa Korban Diskriminasi. Basilius bersedia bantu Rebeka. Dia bekerja dengan kesabaran. Buku tersebut terbit pada 2008. Ia menolong Rebeka namun tak membuatnya stabil.
Pada 4 Juni 2011, Rebeka mendadak menyebarkan undangan pernikahan dengan seseorang yang disebutnya "Mark Housego" dari London. Dia belum pernah bertemu dengan orang tersebut. Hanya kenalan lewat internet.
Saya curiga penipuan. Rebeka menuduh saya menghalangi dia menikah.
Seseorang yang klaim sebagai pengacara Housego memakai alamat 221B Baker Street, London. Cukup lewat Google bisa diketahui ia adalah alamat dari Museum Sherlock Holmes --detektif dalam serial karya Arthur Conan Doyle.
Menjelang hari pernikahan, "Mark Housego" kirim email ke Rebeka dan minta dikirimi US$3,000 karena dompetnya dicopet di Beijing dalam perjalanan ke Jakarta. Saya menolak meminjamkan uang kepada Rebeka.
Rebeka lantas batalkan "pernikahan" dengan alasan "... pihak keluargaku tetap tdk setuju menikah terburu2 -begitu pengantin cowoknya datang."
Makin tahun makin banyak kelakuan error Rebeka. Saya menerima keluhan orang yang dibuat jengkel Rebeka. Mulai dari temannya sampai tetangga, mulai dari orang tua yang anak-anaknya dimaki sampai saleswoman yang dibuatnya jengkel.
Belasan karyawan di lingkungan saya tinggal dan bekerja juga mengeluh soal Rebeka. Entah mereka diomeli atau dibentak. Dia sering menuduh orang tak menghormatinya. Dia berpendapat dia layak "memberi nasehat" dan dihormati sebagai "orang tua."
Ketika menginap di rumah kami, pernah dia mengusir seorang anak muda, tamu isteri saya, dari Ternate. Rebeka berpendapat anak muda ini "terlalu malam" bertamu ke rumah.
Rebeka juga delusional soal dapat pendanaan buat organisasinya. Selalu berkhayal akan ada dana. Dia suka mengirim macam-macam pesan lewat Whatsapp maupun Facebook soal lembaga swadaya masyarakat. Pekerjaannya morat-marit. Sejak 2013, dia sering minta uang kepada keluarga dengan janji akan dibayar "sesudah donor masuk."
Pada Juni 2014, isteri saya, Sapariah Saturi, dan saya mulai minta Rebeka berobat. Rebeka menolak buat pengobatan. Dia marah karena dituduh "gila." Pada 2015, dia dapat warisan dari orang tua kami (Papa meninggal dua tahun sebelumnya pada Juli 2013).
Uang warisan sebagian "dipinjam" kawan dekatnya tanpa kepastian akan dikembalikan. Dia juga beli sedan Toyota, kredit dari bank, tapi dia tak bisa setir ... lalu di-Uber-kan. Sopirnya lari, menjual mobil. Kini jadi urusan polisi. Mobil tampaknya takkan kembali. Tanpa pekerjaan, kehilangan uang warisan, Rebeka makin hari makin kewalahan membayar kredit rumahnya di Cisauk. Kami juga mengetahui bahwa atap rumah bocor dan saluran air buntu.
Juni 2017, Mama kami, Metri Harsono, dan Susanna Harsono, datang dari Jember guna membujuk Rebeka memeriksakan kesehatan jiwanya. Singkatnya, Rebeka menerima tawaran dan bersedia menemui dokter di rumah sakit jiwa Grogol.
Ruth Ogetay, seorang ahli kesehatan masyarakat dan teman keluarga kami, mengantar Rebeka ke rumah sakit. Namun Rebeka tak cukup dengar opini seorang psikiater saja. Dia menemui dua psikiater lagi. Hasilnya sama: schizoprenia paranoid. Rebeka kadang menerima, kadang membantah. Dia kadang minum obat, kadang tak minum obat.
Kami sekeluarga menganggap ini cobaan buat kami. Kami berunding apa yang bisa dilakukan buat mengurangi kerusakan yang muncul. Mama berpendapat minimal rumahnya diperbaiki dulu.
Pada September 2017, sesudah Rebeka kembali dari Jember, Mama minta sebuah team tukang buat renovasi rumahnya. Saya kebetulan kenal dengan beberapa tukang. Mereka bersedia membantu renovasi dan menghadapi tingkah-laku Rebeka. Mama lakukan supervisi terhadap renovasi rumah. Kami harap renovasi rumah hingga rapi dan pengobatan bisa mengurangi khayalan maupun kengawuran isi pembicaraannya.
Namun dokter mengusulkan agar Rebeka tak tinggal sendirian. Dia diminta ditemani caregiver --seseorang yang membantu dia minum obat maupun mengingatkan dia bila kumat. Ini cukup pelik karena kami sekeluarga tak ada yang bisa memberikan tumpangan. Rumah saya kecil hanya dua kamar. Adik-adik lain juga berhalangan. Tak ada satu pun dari kami yang bisa tinggal di rumahnya di Cisauk. Rebeka juga tak mau diminta kembali ke kota kelahirannya Jember.
Menariknya, Susanna yang sudah berobat sejak 1991, kini menjadi stabil, jarang mengamuk serta bisa bekerja merajut berbagai tas dan baju. Susanna banyak membantu mama kami bila sakit atau bepergian.
Saya tak bisa membayangkan tekanan dan kesulitan yang dihadapi Mama. Dia sering bilang dalam bahasa Jawa, "Sing waras ngalah." Kesulitan dengan dua anak kembarnya ini membuat saya menaruh perhatian besar pada persoalan kesehatan jiwa di Indonesia. Saya ikut membuat video, "Menangani Kesehatan Jiwa dengan Cara Dipasung."
Kasus ekstrim adalah orang dengan gangguan jiwa dipasung. Keluarga mereka capek dengan anggota keluarga yang punya gangguan jiwa. Kini ada lebih dari 57,000 orang dipasung di Indonesia karena ketiadaan pengobatan dan perawatan. Kami tentu menentang praktek tersebut.
Rebeka juga delusional soal dapat pendanaan buat organisasinya. Selalu berkhayal akan ada dana. Dia suka mengirim macam-macam pesan lewat Whatsapp maupun Facebook soal lembaga swadaya masyarakat. Pekerjaannya morat-marit. Sejak 2013, dia sering minta uang kepada keluarga dengan janji akan dibayar "sesudah donor masuk."
Pada Juni 2014, isteri saya, Sapariah Saturi, dan saya mulai minta Rebeka berobat. Rebeka menolak buat pengobatan. Dia marah karena dituduh "gila." Pada 2015, dia dapat warisan dari orang tua kami (Papa meninggal dua tahun sebelumnya pada Juli 2013).
Rebeka Harsono sesudah rumahnya selesai renovasi di Cisauk, Tangerang. |
Juni 2017, Mama kami, Metri Harsono, dan Susanna Harsono, datang dari Jember guna membujuk Rebeka memeriksakan kesehatan jiwanya. Singkatnya, Rebeka menerima tawaran dan bersedia menemui dokter di rumah sakit jiwa Grogol.
Ruth Ogetay, seorang ahli kesehatan masyarakat dan teman keluarga kami, mengantar Rebeka ke rumah sakit. Namun Rebeka tak cukup dengar opini seorang psikiater saja. Dia menemui dua psikiater lagi. Hasilnya sama: schizoprenia paranoid. Rebeka kadang menerima, kadang membantah. Dia kadang minum obat, kadang tak minum obat.
Kami sekeluarga menganggap ini cobaan buat kami. Kami berunding apa yang bisa dilakukan buat mengurangi kerusakan yang muncul. Mama berpendapat minimal rumahnya diperbaiki dulu.
Pada September 2017, sesudah Rebeka kembali dari Jember, Mama minta sebuah team tukang buat renovasi rumahnya. Saya kebetulan kenal dengan beberapa tukang. Mereka bersedia membantu renovasi dan menghadapi tingkah-laku Rebeka. Mama lakukan supervisi terhadap renovasi rumah. Kami harap renovasi rumah hingga rapi dan pengobatan bisa mengurangi khayalan maupun kengawuran isi pembicaraannya.
Dokter usul Rebeka diberi caregiver. |
Menariknya, Susanna yang sudah berobat sejak 1991, kini menjadi stabil, jarang mengamuk serta bisa bekerja merajut berbagai tas dan baju. Susanna banyak membantu mama kami bila sakit atau bepergian.
Saya tak bisa membayangkan tekanan dan kesulitan yang dihadapi Mama. Dia sering bilang dalam bahasa Jawa, "Sing waras ngalah." Kesulitan dengan dua anak kembarnya ini membuat saya menaruh perhatian besar pada persoalan kesehatan jiwa di Indonesia. Saya ikut membuat video, "Menangani Kesehatan Jiwa dengan Cara Dipasung."
Kasus ekstrim adalah orang dengan gangguan jiwa dipasung. Keluarga mereka capek dengan anggota keluarga yang punya gangguan jiwa. Kini ada lebih dari 57,000 orang dipasung di Indonesia karena ketiadaan pengobatan dan perawatan. Kami tentu menentang praktek tersebut.
Saya harap bila Anda dengar Rebeka bicara ngawur mohon tidak diladeni. Dia sering pelintiran sana dan sini, kadang dicampur dengan masalah agama dan ras, sulit mengukur derajat kepercayaan terhadap omongannya. Dia sering menyebut nama-nama, dari pejabat sampai aktivis, dari dosen sampai anggota keluarga, serta memakai nama-nama tersebut buat keperluannya.
Mudah-mudahan pengobatan ini membantu kesehatan jiwanya. Mudah-mudahan dia mau tertib minum obat. Kami juga mendorong Rebeka buat pergi rawat inap di rumah sakit jiwa agar bisa mendapat pemantauan 24 jam. Bila pengobatan akurat dan tertib, dia bisa kembali "stabil" --walau tetap minum obat seumur hidup-- dan memanfaatkan pendidikan dan pengalamannya buat bekerja teratur.