Oktovianus Pogau bersama keluarganya di daerah Sugapa, Papua. Pogau memasang gambar ini sebagai cover Facebook miliknya pada 13 Januari 2016 atau dua minggu sebelum kematiannya. |
Oleh Ruth Ogetay
Suara Papua
Okto Pogau bersama kawan-kawan di rumah Jakarta. |
Setelah diskusi selesai kami pulang tempat tinggal masing–masing. Saya melanjutkan kuliah di Yogyakarta sampai lulus pada 2011. Kami ternyata sama-sama merantau ke Jakarta. Okto kuliah di Universitas Kristen Indonesia. Saya ikut bantu pekerjaan di Yayasan Pantau, mengurus tahanan politik Papua, sejak 2012. Okto sosok baik hati dan mudah bergaul dengan dengan siapa saja.
Kedua kalinya, saya bertemu Pogau di rumah Andreas Harsono di Jakarta, salah seorang pengurus Yayasan Pantau –rumahnya tempat orang-orang diskusi berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia, dari politik sampai hak asasi manusia. Saya orang baru jadi saya memilih diam untuk mendengarkan. Rupanya seru dan menarik.
Saya makin sering bertemu Okto sesudah kami sering bertemu mahasiswa Papua di Monumen Nasional setiap Sabtu malam –main basket, baku cerita, makan, diskusi soal berbagai persoalan di Tanah Papua. Kami tentu sama menonton sepakbola bila Persipura main di Jakarta.
Okto seorang wartawan muda yang pemberani, kritis dan mau bersuara membela rakyat Papua. Saya perhatikan dia selalu yang paling muda dari semua aktivis bila ada pertemuan. Entah pertemuan dengan sesama Papua atau di rumah Kak Andreas.
Okto Pogau dan Suara Papua. |
Kami sering kerja sama ketika Filep Karma, tahanan politik Papua, dirawat di rumah sakit Cikini pada Juli 2013. Saya bantu Bapa Karma di rumah sakit –mulai dari urusan laboratorium darah sampai cari makan buat rombongannya. Pogau, tentu saja, banyak diskusi maupun membantu keperluan kecil Bapa Karma. Pendek kata, antara 2012 sampai 2014, kami sering bertemu. Okto lantas pindah ke Manokwari dan saya pindah ke Jayapura.
Oktovianus Pogau adalah sahabat saya. Dia orang kritis. Dia juga juga pemberani. Saya perhatikan kesehatan Okto mulai menurun pada Maret 2015. Saya dengar dari Andreas Harsono yang mengunjungi Okto di Jayapura. Okto memang punya berbagai penyakit sejak masih kecil.
Mei 2015 sesudah pembebasan lima tapol Papua. Okto Pogau ikut temui di sebuah kantor di Abepura. |
Saya terakhir bertemu Okto di kantor Kontras Papua, Abepura, pada November 2015. Dia sedang mempersiapkan perjalanannya ke Amerika Serikat, ikut program dari State Department. Saya kebetulan juga diundang ikut program sama namun gelombang sesudah Okto. Jadi kami banyak bicara soal persiapan. Maklum musim dingin.
Saya juga mengeluh soal saya dicurigai sebagai mata-mata. Ada saja gosip di Jayapura bahwa saya bekerja sebagai mata-mata. Okto bilang diabaikan saja. Dia bilang orang yang memulai gosip tersebut juga pernah membuat fitnah soal dirinya. Kami bicara soal pakaian apa yang harus dibawa. Dia bilang kesehatannya membaik, terlihat bugar walau agak kurus.
“Kalau kau dengar semua omongan orang, kau trada kerja apapun,” katanya.
Dari Facebook, Desember 2015, saya lihat dia pergi ke Cleveland, St. Louis, San Diego di California maupun Washington DC.
Okto Pogau depan White House pada 1 Desember 2015. |
“Kelakuan polisi di Ferguson hampir sama dengan di Papua, tapi saya kira di Papua lebih parah; su diskriminasi-rasialis, ditambah dengan kekerasan, pemukulan, penangkapan, pemenjaraan dan bahkan orang Papua sudah sering ditembak bak hewan.”
Saya tak bisa bayangkan betapa dingin Amerika Serikat buat Okto Pogau. Dingin bukan saja dari Celsius tapi juga diskriminasi dan rasialisme.
Ketika dia pulang dari Amerika Serikat, saya hendak berangkat ke pada 8 Januari 2016. Kami bicara lewat telepon. Saya sudah di Jakarta. Okto di Jayapura. Dia bilang soal pakaian. Dia tanya dari sepatu, kaos kaki, sarung tangan, model jaket saya. Dia bilang dingin sekali di Amerika Serikat. Dia mengomel sedikit soal saya tak hubungi dia lebih awal.
Pada 31 Januari 2016, saya berada di Salt Lake City, kota penuh salju, dingin sekali tapi indah, dan saya membaca di berbagai Facebook teman-teman saya bahwa Oktovianus Pogau meninggal dunia. Saya kaget sekali. Rasanya baru saja bicara lewat telepon soal jaket dan kaos kaki.
Kami sangat kehilangan Okto. Saya berdoa buat Okto dari Salt Lake City. Dia wartawan yang berani dan cerdas. Namun saya juga sadar lewat tulisan, goresan kata-katanya, Oktovianus Pogau akan hidup selamanya dan selalu dikenang oleh bangsa Papua.
No comments:
Post a Comment