Febriana Firdaus ketika meliput kebakaran hutan Oktober 2015 dari Palangka Raya. |
“Febriana Firdaus meliput tragedi 1965, sesuatu yang sulit sekali, sampai diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang banyak tak dimengerti wartawan. Dia haus pengetahuan dan berani. Dia punya kualitas wartawan bermutu,” kata Imam Shofwan, ketua Yayasan Pantau, yang menyerahkan plakat penghargaan dari kayu dan logam buat Febriana.
Penghargaan Oktovianus Pogau dimulai pertama kali hari ini –persis setahun sesudah meninggalnya Oktovianus Pogau, wartawan asal Papua Barat, yang mendirikan portal Suara Papua di Jayapura pada 10 Desember 2011.
“Orang Papua bangga pada Okto Pogau. Dia pemuda berani, kritis dan punya prinsip kuat. Di Suara Papua, kami menyuarakan apa yang terjadi di Papua dari kacamata orang Papua. Ini niat besar Pogau untuk ubah cara berpikir orang di luar sana. Penting untuk mengabadikan karya, keberanian, prinsip dan daya kritis tajam yang dimiiki Okto Pogau,” kata Arnold Belau, pemimpin redaksi Suara Papua, di Jayapura.
Febriana Firdaus kelahiran Kalisat di Kabupaten Jember pada 1983. Pada 2007, Febriana lulus dari Universitas Airlangga, Surabaya, dan bekerja buat harian Jawa Pos, lantas lima tahun bekerja buat Tempo di Jakarta sampai 2014 termasuk ikut bagian investigasi Tempo.
Febriana Firdaus 2016 di Ngruki |
Yayasan Pantau organisasi yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Ia didirikan pada 1999, mulanya berupa majalah Pantau hingga 2003, lantas lebih banyak bikin pelatihan jurnalisme, riset media dan penerbitan buku soal jurnalisme.
Penghargaan Oktovianus Pogau tak diberikan uang maupun acara agar Yayasan Pantau bisa melulu diskusi soal seleksi penerima tanpa dibebani pendanaan.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru) dan Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura).
“Kami memilih hari ini, persis setahun sesudah kepergian sahabat kami, Oktovianus Pogau, guna memulai penghargaan di bidang jurnalisme dan keberanian. Febriana Firdaus mencerminkan keberanian yang juga diperlihatkan Oktovianus Pogau. Ini upaya kecil memajukan jurnalisme dan menyemangati wartawan-wartawan muda untuk setia pada jurnalisme bermutu,” kata Imam Shofwan.
Penghargaan Oktovianus Pogau
Oktovianus Pogau dan Andreas Harsono di Kunstkring Paleis, Jakarta pada Agustus 2015. |
Pada Oktober 2011, dia melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua ketika mereka bikin Kongres Papua III di Jayapura buat Jakarta Globe.
Menurut Imam Shofwan, Pogau adalah wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. “Dia menelepon saya dan terdengar deru truk dan tembakan,” kata Shofwan.
Pogau juga berani mengambil foto ketika militer dan polisi Indonesia menggunakan kekuatan secara berlebihan. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.
Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. Dia tak pernah jadi sekadar jurnalis namun memakai pengetahuan dan jaringan perkenalannya buat mendorong advokasi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial serta budaya orang Papua.
Pilihan ini sering membuat Pogau menghadapi masalah. Dia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat penguasaan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia pernah menjadi anggota organisasi ini –ketika kuliah di Universitas Kristen Indonesia di Jakarta-- namun sadar bahwa dia harus menjaga independensi. Dia dianiaya polisi ketika meliput demonstrasi KNPB di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.
Oktovianus Pogau dengan kawan di Jakarta pada Desember 2013. |
Pada 4 November 2016, Kementerian Informasi dan Komunikasi blokir web Suara Papua, media yang didirikan Pogau, tanpa alasan jelas. Ini memperlihatkan ketakutan pemerintah Indonesia akan diungkapkannya berbagai kekeliruan kebijakan yang diterapkan di Papua Barat. Blokir dibuka pada 20 Desember 2016 sesudah protes Suara Papua dan bantuan dari LBH Pers.
Coen Husain Pontoh, yang mengusulkan pemakaian nama Oktovianus Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas. Lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”
Keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia.
No comments:
Post a Comment