Made Supriatma
Dari sisi gesture diplomatik, Indonesia sebenarnya ingin menunjukkan penghinaannya kepada negara-negara Pasifik yang mengangkat masalah pelanggaran HAM di Papua di Sidang Umum PBB. Ada tujuh negara Pasifik yang mempersoalkan masalah ini.
Dengan menampilkan Nara Masista Rakhmatia, diplomat sangat, sangat junior (bahkan saya sempat mengira dia adalah intern di PTRI!), Indonesia ingin menunjukkan bahwa persoalan ini tidak serius sehingga tidak perlu dihadapi dengan diplomat senior.
Sementara disisi yang lain, beberapa negara Pasifik yang berbicara adalah kepala pemerintahan: Nauru; Marshall Islands; Vanuatu; Tuvalu; Solomon Islands; Tonga. Penghinaan diplomatik seperti ini tentu akan diingat oleh negara-negara Pasifik dan tidak akan menguntungkan bagi Indonesia.
Negara-negara ini memang negara-negara kecil. Namun mereka adalah negara dengan hak suara di PBB. Republik Rakyat Cina lebih tahu nilai strategis. Mereka memperlakukan negara-negara ini dengan hormat. Mereka memberikan bantuan ekonomi dan tidak pernah sedikitpun melecehkan negara-negara kecil ini.
Mereka berhak diperlakukan dengan segala hormat. Mengapa bukan Menlu sendiri -- yang saya tahu hadir di New York -- yang memberikan jawaban?
Saya tidak tahu mengapa Indonesia bertingkah seperti ini. Suatu tanda kesombongan luar biasa dari sebuah negara yang bahkan pengaruh internasionalnya tidak lebih besar dari Singapura.
Tanggapan Indonesia juga disusun dengan amat buruk. Dengan mempersoalkan HAM di Papua -- dimana negara-negara ini merasa sebagai bagian dari bangsa Melanesia -- Indonesia menganggap negara-negara Pasifik ini melanggar dan melakukan intervensi atas kedaulatannya?
Para diplomat Indonesia tentu tahu bahwa persoalan HAM itu adalah persoalan yang universal, interdependen, dan tidak terbagi-bagi atas negara-negara. Intervensi? Indonesia menginvasi Timor Leste pada 1975. Itu saja sudah lebih dari intervensi.
Gesture diplomatik seperti ini adalah blunder diplomatik. Saya merasa kasihan pada diplomat yang amat junior ini -- yang kepintaran dan bakatnya tidak sedikit pun saya ragukan -- diperalat untuk berbicara masalah yang sama sekali tidak dia kuasai.
Perlakukanlah negara-negara lain sebagaimana layaknya negara berdaulat. Karena, seperti Indonesia, mereka adalah negara yang berdaulat!
Tuesday, September 27, 2016
Bagaimana Anies Baswedan jadi calon gubernur Jakarta?
Bonar Tigor Naipospos
Setara Institute
Seorang teman mempertanyakan kok Gerindra akhirnya mau mendukung Anies? Bukankan Gerindra masih geram terhadap Anies akibat pilpres lalu.
Entah kebetulan atau tidak, pertanyaan itu sedikit terjawab ketika bertemu dgn salah satu Ketua DPP Gerindra, dia menjelaskan sebelum nama Anies muncul, Gerindra sudah condong pada Yusril Ihsa Mahendra-Sandiaga Uno.
Nama Anies muncul diusung oleh PKS. Menurutnya ini krn faktor kedekatan personal Anies dgn Ketua PKS, M. Sohibul Iman, keduanya sama-sama pernah menjadi Rektor Univ Paramadina. PKS menyadari kader mereka spt Mardani Ali Sera dan Muhammad Idrus tidak terlalu menjual utk Jakarta.
PKS membutuhkan kapital politik tambahan yg bisa menambah pangsa pendukung mereka yg eksklusif. Sudah lama PKS berusaha utk menampilkan imej sebagai partai terbuka. Figur Anies berpotensi memperkuat imej itu. Karena itu PKS lah yang keras meyakinkan Prabowo akan Anies.
Pada awalnya keinginan PKS mendapat penolakan dari lingkaran terdekat Prabowo. Tetapi ketika mengetahui bahwa Cikeas menyodorkan nama Agus Yudhoyono, peta mulai berubah. Prabowo memendam kecewa pada SBY yang menyodorkan besannya pada pilpres lalu sebagai wakil, tetapi tidak mem-back-up sepenuhnya, termasuk dana kampanye.
Malah setelah diumumkan hasil pilpres, Hatta Rajasa kemudian menjauh dari Prabowo dan tidak antusias mendukung Prabowo dkk yg waktu itu gencar mempertanyakan hasil pilpres. Keinginan Prabowo agar ada koalisi kuat yang permanen di Parlemen juga terganjal karena SBY bermain dgn gagasan koalisi pengimbang. Krn itu ketika tahu bahwa SBY menyodorkan anaknya, Prabowo tidak mau dikelabui lagi. Apalagi kemudian Prabowo menelpon langsung Agus yg saat itu berada di Australia dan menanyakan keinginannya.
Agus menjawab dia sebenarnya tidak berkeinginan tetapi ibunya, Ani Yudhoyono, yang memaksanya. Pembicaraan antar Prabowo dgn Agus didengar langsung oleh beberapa yg hadir krn menggunakan speaker. Prabowo berhitung kalau yg maju adalah Agus-Sandi, posisi dia lemah, krn kendali menjadi di tangan SBY. Dia juga lihat alot bernegosiasi utk mengubah menjadi Sandi-Agus. Dengan waktu yang semakin sedikit, alternatif yg tersedia melirik Anies.
Kalau Ahok sudah pasti tidak, krn Prabowo sangat dendam.
Persoalan yg ada adalah siapa diantara Anies dan Sandi yang menjadi Gub dan Wagub. Kemudian bagaimana melunakkan lingkaran dalam Prabowo, terutama mereka yg disebut sebagai anak-anak Prabowo. Anak-anak muda yg jebolan akademi militer dan yang disekolahkan Prabowo. Dan terakhir jaminan penuh dari PKS akan Anies. Pembicaraan untuk itu cukup alot, tapi Sandi Uno sejak awal sudah menegaskan bagi dia tidak ada masalah apakah menjadi Gub atau Wagub. Dia juga sudah berkomunikasi dgn Anies. Untuk melunakkan penolakan dari lingkaran dalam Prabowo, tercapailah kesepakatan Anies menulis surat permintaan maaf kepada Prabowo, terutama sikapnya pada masa pilpres lalu. PKS sendiri menjamin bahwa akan mengerahkan all out organ partai dan turut menyumbang dana kampanye.
Bahkan, ini menurut kawan yg salah satu Ketua DPP Gerindra, dan sulit saya percayai dan sukar diverifikasi, PKS menjamin kepada Prabowo bahwa Anies sudah dibaiat menjadi anggota PKS. Tapi terlepas dari itu semua ini semakin menunjukkan krisis inertia partai politik. Figur-figur kuat dan senior masih mengenggam penuh kuasa partai. Masih perlu waktu bagi generasi politik paska orde baru tampil penuh. Apalagi klik dan nepotisme di tubuh partai menjangkiti.
Wednesday, September 07, 2016
Bagaimana Menulis Opini
Sebuah kelas menulis di Yayasan Pantau. Ini adalah alasan saya mengumpulkan berbagai macam opini agar siapa pun yang mau belajar bisa dapat bahan yang mudah buat dibaca. |
Menulis opini adalah sesuatu yang lazim dilakukan wartawan atau siapa pun yang hendak menulis buat keperluan masyarakat. Biasanya, opini tersebut dikeluarkan guna memperjuangkan keadilan dalam masyarakat.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism menekankan pentingnya menunjukkan opini dengan jernih. Menulis opini, tentu saja, bagian dari jurnalisme. Namun menulis opini memerlukan lebih dari sekedar pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam jurnalisme.
Ia memerlukan keberanian moral. Ia memerlukan keberanian buat bersikap sesudah verifikasi berbagai fakta dan analisis. Ia tentu tak dibuat dengan tergesa-gesa. Ia memerlukan pengendapan, memerlukan waktu.
Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima platform verifikasi:
- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah transparan dan jujur tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan liputan;
- Bersandarlah pada liputan sendiri;
- Bersikap rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel menekankan bahwa menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, siapa pun yang menulis buat keperluan publik harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka tulis. Menulis opini pun memerlukan independensi. Ia memerlukan keberanian moral.
Saya mengumpulkan belasan kolom yang saya anggap berguna buat belajar menulis opini. Saya membaca banyak opini dari berbagai cendekiawan di Indonesia, dari Soekarno sampai Hasan di Tiro, dari Sutan Sjahrir sampai Y.B.Mangunwijaya. Sebagai mahasiswa 1980an, saya tentu membaca Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mahbub Djunaidi, Goenawan Mohamad dan lainnya.
Saya taruh berbagai kolom pilihan saya dalam blog saya. Saya sengaja terbitkan dalam bahasa maupun ejaan orisinal ketika mereka diterbitkan. Pramoedya Ananta Toer, seorang novelis (fiksi), menulis kolom The Book That Kills Colonialism buat The New York Times dalam bahasa Inggris. Menurut John McGlynn dari Yayasan Lontar, naskah tersebut ditulis Pramoedya dalam bahasa Indonesia dan McGlynn menterjemahkan ke bahasa Inggris buat diberikan ke Times. Sayang, naskah awal tersebut tak disimpan Pramoedya maupun McGlynn. Namun saya menganggap naskah tersebut orisinal memang dalam bahasa Inggris karena memang ia pertama terbit dalam bahasa Inggris.
Saya juga menerbitkan versi Inggris karya Julia Suryakusuma berjudul ‘Zinaphobia’, homophobia and the ‘bukan-bukan’ state karena Suryakusuma, seorang kolumnis The Jakarta Post, harian berbahasa Inggris.
‘Zinaphobia’, homophobia and the ‘bukan-bukan’ state (2016)
Julia Suryakusuma
Darino-Dumani: Kisah Cinta Yang Dibunuh (2015)
Made Supriatma
Obor Rakyat dan Kebangsaan (2014)
Atmakusumah Astraatmadja
Selamat Pagi, Sondang (2012)
Lilik Hs
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (2002)
Ulil Abshar-Abdalla
The Book That Killed Colonialism (1999)
Pramoedya Ananta Toer
The Death of Sukardal (1986)
Goenawan Mohamad
Tuhan Tidak Perlu Dibela (1982)
Abdurrahman Wahid
‘Zinaphobia’, homophobia and the ‘bukan-bukan’ state
The Jakarta Post
Xenophobia is the fear or contempt of anything foreign, right? It’s something that lately Indonesia has displayed plenty of, despite the fact that so much of our cultural, political and religious identity is not indigenous to the archipelago. Yes, including Islam, which came in the 13th century through Sufi traders from Gujarat, India.
Well, on top of xenophobia, now we also have zina-phobia. Zina? Is that a girl’s name? Nope, you are thinking of Xena, the warrior princess. This is zina (or zinah in Indonesian), which is Arabic for adultery or fornication, whether it be extramarital sex, premarital sex, casual sex and naturally, same-sex sex.
Islam — like any other religion — bans marriage between a man and a man, and a woman and a woman. Automatically, zinaphobia includes homophobia. In Islam, zina is considered haram, i.e. a criminal act, according to religious law.
So how does religious law creep into the Constitutional Court (MK)? Many of the justices want to have casual sex — any sex outside of marriage — outlawed. According to Patrialis Akbar, one of the court’s nine justices for the 2013 to 2018 term: “Our freedom is limited by moralistic values as well as religious values. This is what the declaration of human rights doesn’t have. It’s totally different [from our concept of human rights] because we’re not a secular country; this country acknowledges religion,” he said.
Oh yeah? There are 95 other countries in the world that do acknowledge religion, but still consider themselves secular, for example the US, France and Turkey — before Turkish President Recep Tayyip Erdogan turned first president Mustafa Kemal Ataturk’s staunch secularism into an Islamist authoritarian regime, that is.
According to Ahmet T. Kuru from Diego State University, there are four types of states: religious states (e.g. Iran, Saudi Arabia, the Vatican), states with one official religion (e.g. England, Greece, Denmark), secular states and antireligion states (e.g. China, North Korea, Cuba). Kuru places Indonesia firmly in the secular category, which aligns with the decision made by our founding fathers to protect Indonesia’s Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity).
Among secular states, there are two kinds of secularism: passive secularism, like in the US, which allows public visibility of religious symbols, and active secularism, like in France (and previously Turkey), which prohibits religious symbols, hence the controversy over the burkini ban.
Indonesia actually adopts passive secularism, like the US. But as many of our politicians and leaders are so fond of saying, Indonesia is not secular, nor is it religious.
This prompted the late Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Indonesia’s fourth president, to say Indonesia is a negara bukan-bukan (neither-this-nor-that state).
In Indonesian, bukan means “not”, but bukan-bukan means “absurd”! Hey, maybe it’s better to have an absurd state than an Islamist authoritarian regime that the likes of Patrialis seem to want to impose, stripping people of their rights.
Incidentally, Patrialis, the Universal Declaration of Human Rights is precisely about moral principles or norms that describe universal, common standards of human behavior and safeguard them by law. You’d know that, if you just Googled it.
And you call yourself a lawyer? What a disgrace!
To think he was law and human rights minister from 2009 to 2011. His performance as minister was deemed poor and, in 2013, as a result of a lawsuit by legal activists, the Jakarta State Administrative Court (PTUN) stripped Patrialis of his position in the Constitutional Court. His appointment was considered to be lacking an accountable and transparent selection process.
However, in 2014 then president Susilo Bambang Yudhoyono nominated him again via the House of Representatives, as Patrialis is from the National Mandate Party (PAN) and the then chair was Hatta Rajasa, Yudhoyono’s in-law. Nepotistic politics as ever.
Why are conservatives so hung up about sex anyway? Patrialis thinks adultery is the root of society’s evils. Well yeah, adultery involves rooting, but I could think of so many greater evils: violence, greed, hypocrisy and corruption, which incidentally, Akil Mochtar, the former head of the Constitutional Court, was indicted for, as was Suryadarma Ali, former religious affairs minister.
So much for Indonesia being a negara hukum (rule-of-law state). Maybe so, but it does not prevent legal institutions from being incompetent and corrupt. In fact, the reason they resort to moralistic exhortations is to cover up their gross failings. Talk about overcompensation.
Let’s look at what the law and the Constitution are supposed to do: protect citizens. All citizens, including minorities. The lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) community is a minority group whose rights are unprotected. If the law banning casual sex is passed, they would be criminalized just by the mere fact that they exist.
As in many other countries, the LGBT community in Indonesia is under constant siege. Sexuality has become a battleground for the confrontation between advocates of democracy and human rights on the one hand, and antidemocracy forces, which include conservative religious groups.
The most ferocious adherents of zinaphobia that have emerged recently come from the so-called Family Love Alliance (AILA), who appear to be more mainstream but are just as dangerous as the Islam Defenders Front (FPI), who use violence in their “moral crusade”.
Upholding LGBT rights means upholding democratic principles. Increasingly, the LGBT community has made successful alliances with other progressive forces, championing their cause as part of a wider struggle for human rights, freedom and dignity. This is happening worldwide, even in the conservative Middle East.
Fine, but it’s against Islam! Not really. Apparently there are no clear-cut verses in the Quran that unambiguously condemn homosexuality. Some even doubt the authenticity of hadith that denounce LGBT people. Currently the Rumah Kita Bersama (KitaB) Foundation, established in 2010, an Islamic think tank supported by activists from 30 pesantren (Islamic boarding schools) across Indonesia, is conducting a study of classical Quranic texts on the theme of LGBT. They plan to publish the results in a book in the middle of next year. Should be interesting — not to mention controversial!
The vision of the Rumah KitaB is “the realization of independent, intelligent, civilized and dignified social order that upholds justice and humanity, equality and […] diversity”. Sounds like a democratic vision to me, because in fact, democracy and Islam are totally in sync.
This means Patrialis, AILA and their ilk are not only undemocratic, but also un-Islamic!
The writer is the author of Julia’s Jihad.
Subscribe to:
Posts (Atom)