Abhipraya bersama penerima Penghargaan Suardi Tasrif di Hotel Sari Pan Pacific. Penghargaan diberikan kepada dua organisasi: Forum LGBTIQ dan International People's Tribunal 1965. |
Assalamualaikum wr. wb.
Nama saya, Abhipraya Ardiansyah Muchtar, biasa dipanggil Abhi. Saya mewakili Forum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer Indonesia (Forum LGBTIQ Indonesia) guna menerima Penghargaan Suardi Tasrif.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Aliansi Jurnalis Independen ... juga selamat ulang tahun, merayakan Deklarasi Sirnagalih.
Penghargaan ini membuat harapan kami lebih besar. Penghargaan ini menghibur kami ketika minggu-minggu ini, kaum LGBTIQ, dibanjiri informasi, propaganda dan kecurigaan, lewat media sosial maupun media mainstream, yang berisi ketidaktahuan soal seksualitas dari individu-individu macam saya.
Kami berterima kasih kepada rekan-rekan dari LBH Jakarta, organisasi yang senantiasa mendampingi kami, sejak 1973 ketika LBH Jakarta membela Iwan Robbyanto Iskandar untuk mengubah status hukum, dari seorang lelaki menjadi perempuan bernama Vivian Rubianti Iskandar. Bukan kebetulan bahwa almarhum Suardi Tasrif adalah salah seorang pendiri LBH Jakarta.
Kami juga berterima kasih kepada beberapa organisasi lain yang banyak membantu kami: Komnas HAM; Komnas Perempuan; Indonesian Crime Justice Reform; LBH Masyarakat serta Human Rights Watch.
Hadirin sekalian,
Saya ditentukan sebagai perempuan saat lahir. Saya lahir di Jakarta tahun 1991 dalam keluarga Muslim Jawa. Sejak kecil, saya dicekoki dengan aturan-aturan sebagai perempuan Jawa dan Muslim. Sejak kecil, saya dicekoki aturan-aturan tidak tertulis yang mengikat sebagai perempuan Jawa dan Muslim.
Namun saya ingat saat bermain dengan teman-teman, saya kesal karena tidak bisa kencing berdiri. Saya juga kesal karena tidak boleh ke masjid dengan teman-teman saya laki-laki.
Saat usia 5 tahun, adik saya lahir. Orang sering bertanya, ingin dipanggil apa saya nanti. Saya ingat, jawabannya hanya satu, “Mas”.
Namun orang tua minta saya dipanggil “Mbak.”
Ketika mulai sekolah, saya tidak suka harus memakai rok ke sekolah. Perlahan-lahan, pengetahuan saya yang sempit, membuat saya menerima dilabeli sebagai butch (lesbian maskulin).
Ruang gerak saya berubah ketika lulus sekolah menengah. Saya pergi kuliah di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Saya juga jadi wartawan mahasiswa di majalah Equilibrium.
Jadi saya kenal dengan jurnalisme. Saya biasa wawancara, mencari sumber, menulis berita piramida terbalik maupun feature.
Di Yogyakarta, saya potong rambut sampai hampir habis. Saya merasa nyaman dengan rambut pendek.
Namun, hati kecil saya tetap berontak. Ketika usia 21 tahun, saya menemukan istilah yang menjelaskan keadaan saya: transgender. Saya bertemu dengan seorang kawan dengan keadaan sama dengan saya. Tepatnya, seorang transgender, dari perempuan ke lelaki, female to male, atau trans laki-laki.
Setelah lulus kuliah, saya bekerja di Jakarta. Saya bertemu dengan teman-teman yang memberikan informasi tentang psikiater dan androlog yang biasa melayani trans laki-laki. Saya beruntung bertemu dengan kawan-kawan dalam Forum LGBTIQ dan sejak umur 23 tahun saya mulai terapi hormon.
Hadirin sekalian,
Seksualitas adalah sesuatu yang dalam. Ia tampaknya tak cukup dimengerti dengan pendekatan biner: lelaki dan perempuan. Ia juga tak cukup dikatakan sebagai kelainan. Kami sendiri tidak ingin ditempatkan dalam posisi dimana kami harus banyak bertanya.
Pribadi macam saya memilih terapi hormon dan operasi. Namun banyak rekan saya, individu transgender, baik laki-laki maupun perempuan, yang merasa nyaman dengan tubuh mereka, nyaman dengan pakaian mereka.
Ada Menteri Agama Lukman Saifuddin yang baik hati disini.
Saya mau menyampaikan bahwa selama 71 tahun Indonesia merdeka, orang-orang LGBTIQ tidak dilindungi juga tidak dibantu di Indonesia. Namun kami juga tidak dikriminalisasi. Pak Menteri tentu tahu ada anggota kabinet yang gay dalam kabinet Presiden Soeharto.
Kini ada usaha kriminalisasi LGBTIQ lewat mekanisme Mahkamah Konstitusi. Saya berharap pemerintah Indonesia, termasuk Pak Menteri, mau melihat keadaan kami yang serba sulit, sering dipojokkan, dan mendukung pendidikan publik, agar mengerti dan mau menghentikan upaya diskriminasi terhadap kami.
Kami bahagia menerima penghargaan dari organisasi jurnalis ini. Ia memberikan harapan kepada kami –sekaligus tantangan kepada para jurnalis—terhadap jurnalisme yang lebih bermutu dalam liputan minoritas seksualitas di Indonesia.
Penghargaan Suardi Tasrif ini bukan saja penghargaan terhadap kerja kami, Forum LGBTIQ, namun juga penghargaan terhadap citai-cita dan harapan masa depan Indonesia, yang lebih baik dimana kita semua bersama bekerja merawat kemerdekaan dan kebhinekaan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya dan selamat malam.
Wassalamualaikum wr.wb.
No comments:
Post a Comment