Remotivi
Papua kembali berdarah. 8 Desember 2014 yang lalu di Kabupaten Paniai, aparat keamanan menembaki warga sipil yang menewaskan 5 orang dan puluhan lainnya luka-luka. Empat di antara korban yang tewas adalah pelajar sekolah menengah.
Informasi yang mengemuka beberapa saat setelah penembakan masih simpang-siur dan saling bertolak-belakang. Selain sedikit memberikan ruang, media-media, terutama media arus utama Jakarta, terlihat berhati-hati. Pernyataan-pernyataan yang dikutip berasal dari sumber resmi, baik pemerintah maupun militer. Narasi yang merebak pun cenderung satu sisi dan bias.
Komnas HAM bahkan meminta TNI berhenti memberitakan kabar bohong tentang penembakan.
Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Paniai dan bagaimana media-media memberitakan peristiwa ini,
Remotivi mewawancarai Andreas Harsono melalui surat elektronik. Andreas adalah peneliti di
Human Rights Watch yang juga merupakan pendiri Yayasan Pantau dan secara intensif mengikuti perkembangan isu di Papua.
Sebagai catatan, di tengah simpang-siur informasi, sampai artikel ini kami unggah, Presiden Jokowi belum mengeluarkan pernyataan tentang penembakan warga sipil di Paniai ini. Komitmen pemerintahan Jokowi yang pernah berjanji akan menyelesaikan konflik di Papua sedang diuji.
|
Areki Wanimbo bersama isteri dan anaknya di penjara Wamena. Pada 6 Agustus 2014, Wanimbo ditangkap polisi karena jadi nara sumber buat dua wartawan Perancis, yang hendak meliput ke daerah Lanny Jaya. ©Asrida Elisabeth |
Sejauh apa dan dalam kapasitas apa Anda mengikuti kasus kekerasan yang sering terjadi di Papua termasuk penembakan di Paniai kemarin?
Salah satu kekhususan saya adalah Papua. Sebagai wartawan, saya pertama meliput Papua pada 1996. Saya juga beberapa kali mengajar kelas jurnalisme di Jayapura, Manokwari, Nabire, Merauke, Timika, dan Wamena. Sejak 2008 saya bekerja untuk Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia, yang bekerja secara global.
Saya punya murid, kenalan, narasumber di berbagai tempat di Papua, baik orang Papua maupun non-Papua, sipil maupun militer. Saya juga kenal berbagai macam organisasi di kota-kota Papua. Setiap minggu saya praktis menerima laporan, gambar, dan sebagainya. Bila ada kejadian meletus, tentu saja, saya bisa cepat mengetahui.
Sejauh informasi yang Anda dapat, apa yang sebenarnya terjadi di Paniai kemarin? Benarkah Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlibat?
Dalam 24 jam pertama sesudah peristiwa, kami mewawancarai dua saksi mata, wartawan dan seorang aktivis hak asasi manusia di kota-kota terdekat dengan Enarotali, Kabupaten Paniai. Mereka melaporkan bahwa aparat keamanan
menembakkan peluru tajam ke arah sekitar 800 demonstran, termasuk perempuan dan anak-anak, di lapangan Karel Gobay di Enarotali. Lima demonstran – Simon Degei, 18; Otianus Gobai, 18; Alfius Youw, 17; Yulian Yeimo, 17; dan Abia Gobay (usia tidak diketahui) – meninggal akibat luka tembak. Empat dari mereka adalah siswa sekolah menengah. Mereka meninggal dengan seragam celana abu-abu dan kemeja putih. Setidaknya 17 orang lainnya termasuk lima anak SD, terluka dan dirawat di rumah sakit. Kami tidak mendengar ada informasi gerilyawan OPM bekerja di Enarotali.
|
Simon Degei, siswa dari SMU Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili, umur 18 tahun, mati ditembak masih dalam pakaian seragam sekolah. ©Gereja Kingmi |
Sejauh yang Anda tahu, apa yang menyebabkan simpang siurnya informasi mengenai insiden ini?
Memang tak mengherankan bila informasi simpang siur di Papua. Di Enarotali hanya ada dua wartawan, masing-masing dari Selangkah dan Suara Papua. Mereka bekerja dalam suasana menakutkan. Ada informasi dari mereka keliru, misalnya, kronologi terbalik. Di Nabire, ada seorang aktivis yang terlalu cepat mengirim email sehingga nama-nama keempat korban keliru. Namun dia sudah lakukan koreksi.
Masalah paling besar yang menyebabkan kesimpangsiuran ini adalah ketiadaan jurnalisme yang independen di Papua, baik media lokal, nasional, maupun internasional. Wartawan lokal banyak yang takut buat verifikasi. Wartawan media nasional, kalau tidak takut, banyak yang terkooptasi. Bahkan ada yang bekerja sebagai informan atau mata-mata (agen). Wartawan internasional dibatasi masuk ke Papua sejak 1960an. Mereka harus dapat persetujuan 18 instansi dalam
clearing house di Kementerian Luar Negeri bila hendak meliput Papua, termasuk dari Badan Intelijen Negara maupun Badan Intelijen Strategis.
Kami tentu mau percaya pada proses verifikasi yang kami kerjakan sendiri. Saya berusaha bekerja maksimal dalam verifikasi. Saya baru tidur pukul 03.00 pagi sesudah kejadian karena harus terus-menerus menjawab berbagai pertanyaan dari editor dan pengacara kami di New York.
Media-media Jakarta terlihat berhati-hati menulis kasus penembakan kemarin. Ini terlihat dari seringnya penggunaan narasumber resmi, baik pemerintah maupun militer. Menurut Anda apa yang menyebabkan kehati-hatian tersebut?
Saya tak tahu persis mengapa mereka tak mau mengambil sumber dari Dewan Adat maupun berbagai sumber dari masyarakat di Enarotali, Nabire maupun Jayapura. Sebaiknya kalian wawancarai berbagai media Jakarta, termasuk Kompas, Metro TV, RCTI, Tempo, TVOne dan lain-lain.
Adakah peran negara dan perangkatnya dalam menciptakan disinformasi insiden Papua? Seperti apa?
Saya kira besar sekali. Ada seorang kawan saya, orang Ambon kelahiran Jayapura bekerja buat sebuah lembaga Australia di Jakarta. Dia juga harus minta izin bila hendak ke Papua dari clearing house di Kementerian Luar Negeri. Suatu hari, dia sedang ada acara keluarga di Papua. Dia tentu terbang begitu saja ke Papua. Itu tempat kelahiran dia. Di bandara, dia ditegur seorang intel karena dia tak ada izin masuk Papua.
Ini gila bukan? Mau kembali ke kota sendiri harus minta izin!
Pada 2011,
sekitar 500 halaman dokumen militer, termasuk dari Kodam Cenderawasih maupun Kopassus, bocor. Ia berisi laporan harian, penyadapan telepon, pemantauan turis internasional maupun rekrutmen wartawan-wartawan di Jayapura, Wamena, dan lainnya buat bekerja mata-mata untuk Kopassus. Kegiatan mereka adalah kasih informasi soal para aktivis, pemuda, tokoh gereja, dan lainnya. Memata-matai warga sendiri memang bukan kegiatan melanggar hukum, tapi hal itu merusak kepercayaan masyarakat terhadap media.
Macam-macam organisasi, termasuk Dewan Pers, juga Human Rights Watch, minta agar pembatasan terhadap jurnalisme yang independen dihentikan di Papua. Tanpa jurnalisme yang independen, maka tak ada cara buat warga memantau kekuasaan para pejabat.
Kepala Pusat Penerangan TNI sempat menyatakan bahwa penembakan ini dipicu oleh OPM. Menurut Anda, mengapa alasan itu sering digunakan oleh pihak militer dalam setiap insiden kekerasan di Papua?
Saya tidak tahu alasan di balik keterangan itu. Dari saksi mata – belakangan kami wawancara tiga orang lagi – tak ada indikasi OPM. Semua kesaksian menyatakan bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh
Tim Khusus dari Batalyon 753 asal Nabire yang terlibat sengketa dengan anak-anak kecil di lingkungan Ipakiye, Enarotali. Serdadu tersebut membalas teriakan sekelompok anak, termasuk remaja Yulianus Yeimo, yang minta sebuah mobil milik Tim Khusus 753 agar menyalakan lampu kendaraan saat lewat gubuk mereka. Mobil Toyota milik Tim Khusus 753 tersebut berhenti dan kejar anak-anak, menangkap dan memukul Yeimo. Kondisi Yeimo tak diketahui.
Ketika insiden terjadi,
ada jenderal berandai-andai tembakan datang dari bukit dekat lapangan. Namun jaraknya minimal 5 kilometer. Saya ragu gerilyawan OPM punya senapan dengan kekuatan tembak sampai 5 kilometer. Mungkin saja jenderal tersebut punya informasi lain.
Sebenarnya bagaimana kondisi wartawan yang meliput di Papua? Apakah memiliki kebebasan dalam meliput atau justru kerap mendapatkan intimidasi dan teror?
Luar biasa berat buat bekerja sebagai wartawan di Papua. Bayangkan bila seorang kontributor hanya dapat honor Rp 70 ribu buat satu berita. Padahal harga seliter bensin bisa tiga kali lipat dari harga di Jawa. Sogokan besar sekali. Ancaman kekerasan juga nyata.
Pada Maret 2011, seorang wartawan meliput soal kekerasan seksual di tahanan polisi Jayapura. Seorang tahanan perempuan diminta
oral sex tiga orang polisi. Banjir Ambarita adalah jurnalis yang gencar mengungkap pelanggaran tersebut. Buntutnya, suatu malam dia
ditusuk di dada dan perut oleh dua orang dengan sepeda motor.
Beberapa saat lalu dua wartawan Perancis yang meliput di Papua ditangkap dan dijadikan tersangka. Mengapa pemerintah sampai saat ini masih menutup akses terhadap kehadiran wartawan asing di Papua?
Saya tak tahu mengapa Papua masih dibatasi. Ia berbeda dengan provinsi-provinsi lain. Padahal mandat dari UU Pers tahun 1999 tak boleh ada daerah yang dibedakan dalam hal akses kepada wartawan. Pembatasan hanya diperbolehkan bila daerah tersebut berada dalam keadaan bahaya serta dilakukan dalam waktu singkat. Ini juga sesuai dengan
Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information (1995) yang secara khusus bicara soal pembatasan ke daerah tertentu.
Pembatasan wartawan asing meliput Papua, dalam periode sudah sekitar 50 tahun, tentu saja, melanggar standar internasional. Koresponden Australian Associated Press melamar 12 kali dalam dua tahun dan tak juga dapat visa sampai dia mengancam bahwa dia akan datang ke Papua tanpa visa. Dia tak takut ditangkap. Kementerian Luar Negeri segera kasih dia izin. Si wartawan jengkel karena semua sumbernya ditanyai intel dan ketakutan.
Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, dua wartawan Perancis dari TV Arte, mengambil langkah dengan tak mencari visa wartawan. Mereka datang dengan visa turis karena melamar visa wartawan sulit sekali.
Al Jazeera perlu enam tahun buat dapat visa ke Papua.
Pada Desember 2013, Human Rights Watch bersama tiga organisasi lain – Asia Justice and Rights, Kontras serta Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum – menulis
surat kepada Wakil Presiden Boediono dan minta penjelasan mengapa pembatasan masih dijalankan. Boediono tak menjawab. Seorang asistennya mengatakan pada saya bahwa Boediono membaca surat tersebut dan setuju isinya. Tapi entah kenapa dia tak menjawab.
Menariknya, kedua kandidat presiden,
Prabowo Subianto dan
Joko Widodo, sama-sama berjanji saat kampanye 2014 bahwa mereka akan akhiri pembatasan ke Papua tersebut bila terpilih sebagai presiden. Kita tahu Jokowi menang pemilihan. Kita tunggu apakah Jokowi akan memenuhi janjinya.
|
Mahasiswa dan aktivis Indonesia aksi depan Istana Merdeka dengan hashtag #PapuaItuKita ketika Jokowi belum juga buka suara soal penembakan Enarotali. ©Andreas Harsono |
Bagaimana Anda menilai istilah-istilah yang dipakai media untuk memberitakan kasus-kasus yang ada, seperti “disintegrasi”, “separatis”, “bentrok”, dan lainnya?
Saya kira sulit kasih komentar secara umum. Saya harus melihat berita demi berita bila bikin analisis soal jurnalisme. Kadang penggunaan kata-kata yang terkesan sembrono sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kadang juga memang sembrono. Ini pelajaran dari guru saya, Bill Kovach dari Universitas Harvard, soal analisis berita.
Apa dampak dari model-model pemberitaan diskriminatif macam demikian terhadap rakyat Papua dan konflik itu sendiri?
Secara umum, orang Papua merasa mendapatkan diskriminasi dari negara. Mereka merasa tidak aman berada dalam keadaan begini di mana diskriminasi terjadi, kekerasan rutin muncul dan pelaku tak dihukum dengan pantas. Celakanya, media juga melanggengkan rasialisme terhadap orang kulit hitam dan rambut keriting.
Contohnya, film
Lost In Papua karya Irham Acho Bachtiar soal sebuah suku dengan anggota hanya perempuan, di pedalaman Papua. Ada pekerja tambang tersesat dan ditahan suku tersebut. Mereka dijadikan “bibit unggul” dengan pesan seakan-akan lelaki Papua tak seunggul lelaki dari Jawa. Aktor
Fauzi Baadilah kepada Okezone mengatakan, "Jadi waktu itu ceritanya gue tersesat di daerah Papua. Tiba-tiba gue ketemu suku yang semuanya cewek. Jadi mereka kalau melihat pria hasratnya langsung deh. Cukup kacau juga deh, 16 orang secara bergantian perkosa gue.”
Saya jijik dengan rasialisme dalam film tersebut. Ia bukan satu-satunya. Ada rasa ketidakadilan yang besar sekali di Papua. Kepercayaan mereka terhadap media Indonesia, saya khawatir, tidak tinggi.
Contohnya, Filep Karma, seorang tahanan politik di penjara Abepura. Dia ditahan sejak 2004 dengan dakwaan makar, namun dia gugat ke pengadilan internasional. Indonesia kalah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa minta Karma dibebaskan pada November 2011. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menolak mengikuti rekomendasi PBB.
Karma baru saja menerbitkan biografi,
Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, yang menceritakan bagaimana militer dan polisi Indonesia melanggar hak asasi manusia lewat berbagai operasi. Pelakunya kebal hukum. Bahkan mereka yang terlibat dalam
pembantaian Biak pada 6 Juli 1998, ketika ratusan orang Papua ditangkap, dipukul, dan mayat mereka dibuang ke laut. Karma juga cerita soal anak-anak yang lahir dari pemerkosaan oleh serdadu Indonesia.
Karma berpendapat warga Papua, sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sampai hari ini dengan sistem noken—dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi—masih tidak diberi hak
one man one vote. Dia juga jengkel ketika dia kuliah di Solo pada 1990an, dia sering disebut sebagai
“monyet” atau “koyo ketek”. Orang juga sering tutup hidung ketika berdekatan dengan orang Papua. Ini bukan saja di Jawa tapi juga di Papua yang dilakukan oleh para pendatang yang tinggal di sana. Karma berpendapat orang Papua yang hitam, rambut keriting, dianggap “setengah binatang.”
Apa yang seharusnya media Jakarta lakukan dalam peliputan insiden semacam ini?
Sederhana sekali. Mereka harus kirim wartawan ke Enarotali. Mereka harus perlakukan Papua seperti mereka meliput persoalan di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan seterusnya. Jangan hanya parachuting journalist, yang datang beberapa hari lalu pergi, tapi juga koresponden yang handal. Mereka juga harus menaruh wartawan-wartawan yang profesional di Papua.
Bila ada kabar tak sedap soal koresponden di Papua, sebaiknya segera dipindah dari Papua. Saya tentu mengikuti jejak banyak wartawan di Papua. Rekam jejak mereka banyak yang buruk. Kalau tidak buruk ya penakut. Kasihan bukan, bila sudah ketakutan masih ditaruh di Papua?