SABTU biasa hari buat istirahat dan bersihan. Kali ini giliran bersih-bersih sepatu. Percaya atau tidak, saya suka sekali dengan sepatu dan sandal saya. Saya biasa membersihkan mereka, sesuai dengan jenis kulit, warna dan bahan. Ada semir, ada sikat, ada balm proofer, buat kulit keras maupun kulit lunak (suede).
Saya punya enam sepatu dengan keperluan beda serta dua sandal. Paling tua adalah sepatu boot hitam merk Timberland. Saya beli di kota Cambridge ketika belajar di Universitas Harvard pada 1999.
Boot ini penting buat musim dingin.
"Kalau kena frost bite bisa dipotong jari kamu!" ujar seorang kawan dari Nieman Foundation ketika lihat saya pakai non-boot.
Headline Jakarta Post dan China Daily. |
Kawan saya, Coen Husain Pontoh dari New York, beberapa kali kuatir lihat boot saya. Dia anggap belum cukup buat musim salju di New York.
Saya beli sandal Keen serta sepatu kulit Bostonian di kota Berkeley, dekat San Francisco, pada November 2012 ketika hendak jalan kaki, naik gunung, di Yosemite National Park.
Ceritanya, dari Berkeley, saya diminta pergi ke London, ikut sebuah resepsi Human Rights Watch di sebuah balai pertemuan mewah. Saya diminta tak pakai boot. Saya diminta pakai sepatu hitam, kulit, istilah dress ... lawan dari casual.
Maka saya "terpaksa" keluar uang beli sepatu merk Bostonian. Sandal Keen, ditawarkan oleh penjual sepatu di Berkeley dengan rabat lumayan besar. Saya beli sandal tersebut buat naik gunung Yosemite.
Sepatu Bostonian ini adalah sepatu saya paling mahal. Saya sekarang lupa harganya. Mungkin US$100 lebih. Namun memang dipakai enak sekali di kaki. Bahan ringan. Saya kira ia juga kuat.
“A shoe has so much more to offer than just to walk," kata Christian Louboutin.
Empat dari enam sepatu saya terbuat dari suede. Timberland usul dibersihkan dengan balm proofer. |
BILA saya diminta memilih mana dari enam sepatu ini yang paling saya sukai, jawaban saya adalah boot biru Timberland model chukka, saya beli di Senayan City, Jakarta, awal tahun 2014.
Di luar sandal Keen dan sepatu Bostonian yang saya beli di Berkeley, lainnya saya beli ketika ada rabat. Entah di Jakarta atau Cambridge.
Agak sedih lihat sepatu lari Nike. Sejak tulang belakang saya dinyatakan tergencet pada Agustus 2013, saya praktis, tak pernah lari lagi. Saya biasa lari, sejak masih remaja di Jember, buat jaga kesehatan. Sepatu lari tersebut tipe Air Max yang lumayan menyerap benturan.
Saya beli sepatu kapal (boat shoes) merk Blue Harbor di Jakarta gara-gara sepatu sejenis merk Timberland dicuri orang beberapa tahun sebelumnya. Rasanya jengkel sekali. Harga Timberland lumayan tinggi. Blue Harbor lebih murah. Saya pakai sepatu kapal bila diajak naik kapal. Ia praktis, tak perlu pakai kaos kaki, mudah kering bila kena air. Namun Blue Harbor tampaknya tak setara dengan Timberland. Sol karet Blue Harbor tak seempuk dan sekuat Timberland.
Sepatu, tentu saja, bukan urusan remeh. Sepatu yang nyaman bukan saja melindungi kaki tapi tulang belakang. Ia bikin jalan dan lari lebih terlindungi.
Saya penggemar majalah The New Yorker. Mereka bikin ratusan naskah soal sepatu. Saya suka liputan Lauren Collins tentang Christian Louboutin, disainer sepatu perempuan dari Paris, yang terkenal dengan sol warna merah.
Sandal Crocodile saya pakai bila ada acara dengan tetangga dimana tamu diharapkan lepas sepatu bila masuk rumah. Saya kurang suka pakai sandal kulit. Rasanya licin. Tak bisa dibawa jalan cepat. Namun berkunjung ke tetangga dengan sandal jepit kesannya tak menghargai si tuan rumah.
Lama-lama jadi macam Imelda Marcos ya? Bagaimana dengan Anda?