SAYA menemani Maningsih, kerabat isteri saya dari Pontianak, hendak menikah dgn pemuda Palestina, Alaa Eidin Abdil Karim dari Gaza kini bekerja di Kuala Lumpur. Mereka memerlukan surat keterangan Kedutaan Besar Republik Arab Palestina.
Dutabesar Fariz Mehdawi menemui kami serta bertanya kepada Alaa soal keseriusan teken nikah dgn warga Indonesia. Mehdawi menekankan bahwa pernikahan adalah "kontrak" antara dua individu dengan melibatkan negara sebagai badan yang melindungi kontrak tersebut serta menyelesaikannya bila ia tak berakhir sesuai perjanjian: salah satu pihak meninggal dunia. Senang juga lihat wejangan dan pertanyaannya.
Alaa Eidin dan Maningsih dgn bendera Palestina dan Indonesia. |
Mereka berkenalan April 2012 ketika Maningsih dan sahabatnya, Astuti Dewi, berlibur di Kuala Lumpur. Alaa bekerja sebagai tour guide khusus turis berbahasa Arab di Kuala Lumpur. Ia dilanjutkan dengan komunikasi jarak jauh sampai Alaa, tampaknya serius, datang ke rumah Maningsih di Pontianak.
Persoalannya, secara hukum dan budaya, mereka tentu punya perbedaan. Alaa sendiri kelahiran Jeddah, Saudi Arabia, pada 1982 dgn status pengungsi. Keluarganya mengungsi ke Jeddah pada 1960an namun banyak kerabat di Gaza. Alaa kuliah di International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur. Paspornya Palestina, tentu saja, dengan status bangsa yang "diduduki" Israel. Ia sulit juga buat bepergian, keluar dan masuk Gaza, lewat Israel maupun Mesir.
Maningsih etnik Madura bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Pontianak. Statusnya pegawai negeri karena dia bekerja di sekolah negeri. Macam kebanyakan orang Madura, mereka berasal dari Nahdlatul Ulama. Keluarganya ada yang tak setuju dengan hubungan mereka.
Mamaknya kuatir bila mereka cerai. Bagaimana dengan anak? Repot sekali bukan? Abangnya kuatir takut bila adiknya dipukul suami. Siapa abang yang tak kuatir adik perempuannya dipukul suami?
Saya kuatir Maningsih tak bisa bekerja bila pindah ke Kuala Lumpur. Alaa bukan warga Malaysia. Dia memegang kartu pengungsi dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang hanya berlaku enam bulan. Setiap enam bulan harus diperbarui.
Saya tahu keluarga Maningsih adalah orang yang bekerja keras. Saya kira Maningsih pasti ingin punya hak bekerja.
Dua kali Alaa datang ke Pontianak.
Lebaran kali ini, saya yang kebetulan berada di Pontianak, ikut tahu kesulitan yang mereka hadapi.
Omong sana dan omong sini.
Maningsih dan keluarga cerita macam-macam. Saya juga tanggapi santai saja. Namanya juga keluarga. Perbedaan terjadi dimana-mana. Tak harus hanya antar kebangsaan. Tapi perbedaan bisa diatasi dengan mencoba mengerti kebudayaan pasangan kita. Persoalan hukum lebih serius karena ia menuntut biaya: bayar visa, urus kartu UNHCR dan seterusnya.
Pada 19 Agustus, lewat telepon, Maningsih beritahu rencana kedatangan Alaa dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Maningsih minta tolong isteri saya menemani mereka ke Kedutaan. Isteri saya merasa saya lebih kenal dengan orang Kedutaan dan lebih bisa bicara.
Malamnya, Maningsih tiba di Jakarta. Ini pertama kali dia datang ke Jakarta.
KEESOKAN hari, kami berkunjung ke kedutaan. Dutabesar Fariz Mehdawi minta agar disediakan surat persetujuan menikah dari orang tua Maningsih yang disaksikan oleh ketua rukun tangga dan rukun warga. Idealnya, bila orang tua Maningsih bisa datang sendiri ke kedutaan. Saya tawarkan via telepon karena agak sulit buat mereka jalan sendiri ke Jakarta. Maningsih mengatakan bapaknya, seorang petani, bisa tersesat bila jalan sendiri ke Jakarta.
Singkat kata, surat dibuat di Pontianak dan pada 21 Agustus pihak kedutaan mengeluarkan surat buat pasangan ini. Surat tersebut akan dibawa ke penghulu di Pontianak. Mereka akan menikah di Pontianak. Resepsi pernikahan akan dbikin pada 31 Agustus.
Mehdawi seorang yang suka baca buku. Dia baru selesai baca buku karya Reza Aslan. Judulnya, Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth. Dia kenal Human Rights Watch serta mengucapkan terima kasih terhadap tempat saya bekerja.
Alaa cerita macam-macam soal Gaza, Saudi Arabia maupun Kuala Lumpur. Dia tak suka dengan negara Israel namun dia juga kritis terhadap negara-negara Arab. Dia juga kasih tahu saya berbagai jenis makanan asal Timur Tengah, dari hummus (biji-bijian dihaluskan, direbus dan didinginkan) sampai tabbouleh (salad).
Saya iba melihat pengalaman hidupnya. Saya harap mereka bisa mengatasi berbagai kesulitan ini. Tak mudah buat Maningsih punya suami seorang pengungi ... sejak lahir sudah jadi pengungsi.
Semoga mereka menjadi suami-isteri yang setia dalam senang dan susah, naik dan turun. Semoga mereka bahagia hingga kematian memisahkan mereka.
Persoalannya, secara hukum dan budaya, mereka tentu punya perbedaan. Alaa sendiri kelahiran Jeddah, Saudi Arabia, pada 1982 dgn status pengungsi. Keluarganya mengungsi ke Jeddah pada 1960an namun banyak kerabat di Gaza. Alaa kuliah di International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur. Paspornya Palestina, tentu saja, dengan status bangsa yang "diduduki" Israel. Ia sulit juga buat bepergian, keluar dan masuk Gaza, lewat Israel maupun Mesir.
Keluarga Maningsih, Pontianak. |
Mamaknya kuatir bila mereka cerai. Bagaimana dengan anak? Repot sekali bukan? Abangnya kuatir takut bila adiknya dipukul suami. Siapa abang yang tak kuatir adik perempuannya dipukul suami?
Saya kuatir Maningsih tak bisa bekerja bila pindah ke Kuala Lumpur. Alaa bukan warga Malaysia. Dia memegang kartu pengungsi dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang hanya berlaku enam bulan. Setiap enam bulan harus diperbarui.
Saya tahu keluarga Maningsih adalah orang yang bekerja keras. Saya kira Maningsih pasti ingin punya hak bekerja.
Dua kali Alaa datang ke Pontianak.
Lebaran kali ini, saya yang kebetulan berada di Pontianak, ikut tahu kesulitan yang mereka hadapi.
Omong sana dan omong sini.
Maningsih dan keluarga cerita macam-macam. Saya juga tanggapi santai saja. Namanya juga keluarga. Perbedaan terjadi dimana-mana. Tak harus hanya antar kebangsaan. Tapi perbedaan bisa diatasi dengan mencoba mengerti kebudayaan pasangan kita. Persoalan hukum lebih serius karena ia menuntut biaya: bayar visa, urus kartu UNHCR dan seterusnya.
Pada 19 Agustus, lewat telepon, Maningsih beritahu rencana kedatangan Alaa dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Maningsih minta tolong isteri saya menemani mereka ke Kedutaan. Isteri saya merasa saya lebih kenal dengan orang Kedutaan dan lebih bisa bicara.
Malamnya, Maningsih tiba di Jakarta. Ini pertama kali dia datang ke Jakarta.
Dutabesar Mehdawi |
Singkat kata, surat dibuat di Pontianak dan pada 21 Agustus pihak kedutaan mengeluarkan surat buat pasangan ini. Surat tersebut akan dibawa ke penghulu di Pontianak. Mereka akan menikah di Pontianak. Resepsi pernikahan akan dbikin pada 31 Agustus.
Mehdawi seorang yang suka baca buku. Dia baru selesai baca buku karya Reza Aslan. Judulnya, Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth. Dia kenal Human Rights Watch serta mengucapkan terima kasih terhadap tempat saya bekerja.
Alaa cerita macam-macam soal Gaza, Saudi Arabia maupun Kuala Lumpur. Dia tak suka dengan negara Israel namun dia juga kritis terhadap negara-negara Arab. Dia juga kasih tahu saya berbagai jenis makanan asal Timur Tengah, dari hummus (biji-bijian dihaluskan, direbus dan didinginkan) sampai tabbouleh (salad).
Saya iba melihat pengalaman hidupnya. Saya harap mereka bisa mengatasi berbagai kesulitan ini. Tak mudah buat Maningsih punya suami seorang pengungi ... sejak lahir sudah jadi pengungsi.
Semoga mereka menjadi suami-isteri yang setia dalam senang dan susah, naik dan turun. Semoga mereka bahagia hingga kematian memisahkan mereka.